Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) periode 2002-2010, Yunus Husein. (Dokumentasi Istimewa)

Jakarta, IDN Times - Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, mengaku ragu transaksi yang disampaikan  Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, soal transaksi mencurigakan mencapai Rp349 triliun. Sebab, kata dia metode pemaparan yang digunakan Mahfud untuk menjelaskan ke publik adalah transaksi debit dan rekening atau mutasi.

Sehingga, menurut Yunus, tidak tertutup kemungkinan transaksi itu membengkak karena adanya penghitungan ganda (double counting). Artinya, bisa saja dugaan tindak pidana memang terjadi, namun tidak sebesar seperti yang selama ini disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu. 

"Saya sempat berbicara dengan analis PPATK yang dia orang BI (Bank Indonesia). Jadi, ada (data) yang tercampur antara process of crime dengan yang bukan. Terus, saya tanya (ke analis) apakah mungkin terjadi double counting, dua data itu tercampur. Kalau menurut saya, sepanjang pendekatannya pergerakan dana atau mutasi seperti istilah Pak Mahfud, apapun aplikasi yang dipakai, pasti bisa terjadi double counting," ungkap Yunus ketika berbicara dalam program Ngobrol Seru by IDN Times yang dikutip dari YouTube, Senin (10/4/2023). 

Yunus kemudian memberikan contoh saat masih bekerja di PPATK, ada sebuah bank pemerintah dibobol. Lalu, ada dana Rp2 miliar mengalir ke pasar modal. Pelaku menggunakan dana itu untuk membeli saham Bank Rakyat Indonesia (BRI). 

"Kemudian dia jual lagi, lalu dia beli Surat Utang Negara (SUN) Rp2 miliar. Dia jual lagi dan dananya digunakan untuk membeli Lippo Reksana Dana Mantap Rp2 miliar. Pertanyaannya, berapa nilai yang termasuk process of crime? Cuma Rp2 miliar. Berapa nilai transaksinya? Ya, memang Rp6 miliar. Karena tiga kali transaksi senilai masing-masing Rp2 miliar," tutur dia. 

Menurut Yunus penting untuk diklarifikasi ke Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, sebab, dana yang dapat disita pengadilan hanya yang menyangkut tindak kejahatan. "Sehingga, nantinya yang dapat disita oleh pengadilan paling tidak adalah bentuk akhir dari tindak kejahatan itu sendiri," katanya. 

"Jadi, seandainya ada seorang pejabat publik korupsi senilai Rp1 miliar lalu digunakan untuk membeli rumah atau tanah, maka yang dapat disita oleh negara adalah rumah atau tanahnya. Bukan duit Rp1 miliarnya," ujarnya. 

Maka, lanjut Yunus, penting untuk disadari publik yakni dari transaksi yang disebut mencapai Rp349 triliun, berapa aset-aset yang bisa dikembalikan ke kas negara lewat proses peradilan.

"Jadi, nanti yang dijadikan tolak ukur yakni nilai aset yang bakal dirampas oleh negara ya sekitar segitu (Rp349 triliun), tidak akan jauh dari nilai tersebut. Karena yang dilaporkan sekian," kata dia. 

Lalu, menurut Yunus apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar tudingan transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun tidak menguap begitu saja?

1. Hanya penyidik yang berhak tentukan ada atau tidak indikasi pidana dari laporan PPATK

Ilustrasi Pencucian Uang (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih lanjut, Yunus memberikan contoh kasus terpidana Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan illegal logging, Labora Sitorus. Pemberitaan menyebut mantan personel Polri dengan pangkat Aiptu itu menjadi pemilik rekening gendut senilai Rp1,5 triliun. Namun, menurut pembicaraannya dengan pengacara Labora, Johnson Panjaitan, nilai transaksi mencurigakan kliennya tak mencapai triliunan. 

"Nilainya hanya Rp10 miliar, meski yang muncul ke publik mencapai triliunan," kata pria yang menjabat Kepala PPATK periode 2002 hingga 2011 itu. 

Yunus juga menyebut sikap Ivan yang menyebut nilai transaksi Rp349 triliun sudah pasti pencucian uang, adalah sesuatu yang keliru. Sebab, yang berhak menentukan ada atau tidaknya tindak pidana dari LHA, adalah penyidik. 

"Karena memang sudah tugas dari penyidik untuk melakukan penyelidikan dan mencari bukti permulaan. Kalau ada bukti permulaan minimal dua, ada pelaku, silakan naikan ke penyidikan. Jadi, bukan PPATK yang menentukan ada atau tidak tindak pidana," ujarnya. 

Yunus kemudian mengumpamakan dalam permainan bola, PPATK bertindak sebagai gelandang. Tugas PPATK, kata dia, hanya memberikan umpan kepada penyidik. 

"PPATK sebagai mid fielder gak boleh membuat gol, yang membuat gol adalah penyidik, polisi, KPK, dan Kejaksaan atau penyidik lainnya. Jadi, apakah ada tindak pencucian uang dalam transaksi ini ya kembali ke bukti permulaan," katanya.

2. Menko Polhukam diusulkan agar lakukan rekonsiliasi dan pencocokan data dengan Menkeu

Menko Polhukam, Mahfud MD salam komando dengan Menkeu Sri Mulyani di kantor Kementerian Keuangan pada 11 Maret 2023. (www.instagram.com/@smindrawati)

Selain itu, Yunus juga mengusulkan agar Mahfud, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, duduk bersama dan melakukan rekonsiliasi. Tujuannya, agar dilakukan pencocokan data yang mereka terima dari PPATK. 

"Setelah klop dan ada rekonsiliasi, silakan diberi ke publik sebagai satu data yang sifatnya agregat atau statistik," kata dia. 

Saat ini, kata Yunus, telah terbentuk persepsi publik adanya perbedaan data soal transaksi mencurigakan yang dipaparkan Kemenko Polhukam dan Kemenkeu. Padahal, dua kementerian itu bernaung di Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Salah satu data yang disebut berbeda adalah transaksi yang menyangkut pegawai Kemenkeu langsung. Sri Mulyani menyebut dugaan transaksi mencurigakan yang terkait pegawainya langsung adalah Rp3,3 triliun. Sedangkan, Mahfud menyebut Rp35 triliun. 

Usul lain yang disampaikan Yunus yakni tiap Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) ditindak lanjuti oleh penyidik. "Ada lima penyidik dalam kasus ini. Pertama, kalau tindak pidana di bagian perpajakan, maka penyidiknya di DJP (Direktorat Jenderal Pajak), kedua, kalau tindak pidana kepabeanan dan pencucian uangnya dari situ, maka penyidiknya dari bea cukai. Ketiga, penyidik KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," tutur dia. 

Yunus mengatakan mayoritas laporan PPATK yang diserahkan ke KPK adalah kasus-kasus dengan nominal besar. Hal itu lantaran ada praktik korupsi sebagai tindak pidana asal. 

"Penyidik lainnya adalah kepolisian dan kejaksaan. Dari data yang ada di media, ada LHA yang diserahkan oleh PPATK ke penegak hukum dan tak diberikan ke Kementerian Keuangan. Nah, data itu lah yang harus ditindak lanjuti oleh penegak hukum," katanya. 

Yunus juga menyebut Komisi III DPR turut berhak memantau kinerja penegak hukum dalam menindak lanjuti laporan PPATK. Bila tidak ada pergerakan, maka Komisi III DPR berhak langsung menagih realisasinya ke penegak hukum. 

3. Laporan PPATK yang diserahkan ke penyidik menandakan tindak pidana belum inkracht

Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat. (IDN Times/Santi Dewi)

Sementara, pakar TPPU dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, mengatakan Laporan Hasil Analisis (LHA) periode 2009 hingga 2023 yang diserahkan PPATK kepada penegak hukum, menandakan dugaan tindak pidananya belum rampung atau selesai. Artinya, tidak mungkin tindak kejahatan yang statusnya sudah berkekuatan hukum tetap atau inkracht masih dicatat PPATK. 

"Artinya, tidak mungkin di dalam laporan itu, ikut tercantum kasus yang melibatkan Gayus Tambunan. Tujuan dari LHA kan diserahkan ke penyidik agar mengetahui, mendalami dan menyampaikan bahwa firm ada dugaan TPPU. Silakan penyidik mencari tindak kejahatan asalnya," ungkap Yenti di Jakarta pada 6 April 2023. 

Ia juga menyentil Kementerian Keuangan yang menyebut dugaan penyelundupan emas dikatakan sebagai kasus yang telah berstatus inkracht. Dalam penjelasannya, Kemenkeu mengatakan dugaan penyelundupan emas senilai Rp189 triliun kalah saat diajukan ke proses Peninjauan Kembali (PK). 

"Jadi, gak make sense bila disebut bahwa kasus-kasus itu sudah diselesaikan. Berarti, ada data yang tidak match antara PPATK dengan Menteri Keuangan, bahkan dengan putusan pengadilan. Artinya, LHA yang dirilis oleh PPATK masih butuh tindak lanjut oleh penyidik," tutur dia.

Yenti juga menggarisbawahi pernyataan Kepala PPATK saat ini bahwa dari ratusan ribu LHA ternyata bau 50 persen yang ditindak lanjuti oleh penyidik. Ia mempertanyakan mengapa hal tersebut bisa terjadi. 

"Apakah penyidiknya yang bermasalah, tidak mau, tidak profesional? Atau (LHA) tidak matang. Tetapi, hak masyarakat yang perlu diberikan informasi apakah ada atau tidak potensi kerugian keuangan negara (dari transaksi Rp349 triliun)," katanya.

 

Penasaran dengan isu-isu pemilu dan gonjang ganjing capres cawapres, baca selengkapnya di sini.

Editorial Team