Jakarta, IDN Times - Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein, mengaku ragu transaksi yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, soal transaksi mencurigakan mencapai Rp349 triliun. Sebab, kata dia metode pemaparan yang digunakan Mahfud untuk menjelaskan ke publik adalah transaksi debit dan rekening atau mutasi.
Sehingga, menurut Yunus, tidak tertutup kemungkinan transaksi itu membengkak karena adanya penghitungan ganda (double counting). Artinya, bisa saja dugaan tindak pidana memang terjadi, namun tidak sebesar seperti yang selama ini disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
"Saya sempat berbicara dengan analis PPATK yang dia orang BI (Bank Indonesia). Jadi, ada (data) yang tercampur antara process of crime dengan yang bukan. Terus, saya tanya (ke analis) apakah mungkin terjadi double counting, dua data itu tercampur. Kalau menurut saya, sepanjang pendekatannya pergerakan dana atau mutasi seperti istilah Pak Mahfud, apapun aplikasi yang dipakai, pasti bisa terjadi double counting," ungkap Yunus ketika berbicara dalam program Ngobrol Seru by IDN Times yang dikutip dari YouTube, Senin (10/4/2023).
Yunus kemudian memberikan contoh saat masih bekerja di PPATK, ada sebuah bank pemerintah dibobol. Lalu, ada dana Rp2 miliar mengalir ke pasar modal. Pelaku menggunakan dana itu untuk membeli saham Bank Rakyat Indonesia (BRI).
"Kemudian dia jual lagi, lalu dia beli Surat Utang Negara (SUN) Rp2 miliar. Dia jual lagi dan dananya digunakan untuk membeli Lippo Reksana Dana Mantap Rp2 miliar. Pertanyaannya, berapa nilai yang termasuk process of crime? Cuma Rp2 miliar. Berapa nilai transaksinya? Ya, memang Rp6 miliar. Karena tiga kali transaksi senilai masing-masing Rp2 miliar," tutur dia.
Menurut Yunus penting untuk diklarifikasi ke Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, sebab, dana yang dapat disita pengadilan hanya yang menyangkut tindak kejahatan. "Sehingga, nantinya yang dapat disita oleh pengadilan paling tidak adalah bentuk akhir dari tindak kejahatan itu sendiri," katanya.
"Jadi, seandainya ada seorang pejabat publik korupsi senilai Rp1 miliar lalu digunakan untuk membeli rumah atau tanah, maka yang dapat disita oleh negara adalah rumah atau tanahnya. Bukan duit Rp1 miliarnya," ujarnya.
Maka, lanjut Yunus, penting untuk disadari publik yakni dari transaksi yang disebut mencapai Rp349 triliun, berapa aset-aset yang bisa dikembalikan ke kas negara lewat proses peradilan.
"Jadi, nanti yang dijadikan tolak ukur yakni nilai aset yang bakal dirampas oleh negara ya sekitar segitu (Rp349 triliun), tidak akan jauh dari nilai tersebut. Karena yang dilaporkan sekian," kata dia.
Lalu, menurut Yunus apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar tudingan transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun tidak menguap begitu saja?