Pembahasan RUU PKS Setelah Pemilu 2019, Akankah Terjadi?

Kapankah penantian ini berakhir?

Jakarta, IDN Times – Draf RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) telah masuk ke DPR RI, khususnya Komisi VIII yang membawahi ruang lingkup agama, sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, bencana, juga haji. Panitia kerja (Panja) Komisi VIII sudah dibentuk, pertemuan dan beberapa Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak juga lembaga pun telah dilakukan. Namun demikian, pembahasannya belum juga dimulai.

“Pembahasan harus menunggu antrean RUU lainnya yang masuk lebih awal, seperti RUU Praktik Pekerja Sosial (RUU Peksos),” terang Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Anggota Komisi VIII DPR RI, dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema “Progress RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa 26 Februari 2019 lalu.

Pemilu 2019 memang masih menunggu hasil akhir, namun tak ada salahnya kita bertanya, “Apa kabar RUU PKS di tangan wakil kita?”

Baca Juga: Women's March Surabaya, Aksi Serukan Pengesahan RUU PKS

1. Mengapa RUU PKS mendesak untuk disahkan?

Pembahasan RUU PKS Setelah Pemilu 2019, Akankah Terjadi?IDN Times/Fitria Madia

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam laporannya menyebutkan angka 7.238 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi pada 2018. Sementara, Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan menunjukkan 384.446 laporan kekerasan seksual masuk pada 2017, dengan jumlah laporan langsung ke Komnas Perempuan sebanyak 1.301 laporan.

Tren yang menunjukkan peningkatan ini membuat Draf RUU PKS harus segera dibahas dan disahkan menjadi UU, demi menambal kebijakan berkaitan hal tersebut yang masih bolong di sana-sini.

2. Perjalanan Draf RUU PKS ke Dewan Perwakilan Rakyat

Pembahasan RUU PKS Setelah Pemilu 2019, Akankah Terjadi?IDN Times/Kevin Handoko

Komnas Perempuan menyebut Indonesia darurat kekerasan seksual berdasarkan tingginya angka kekerasan seksual sepanjang 2001-2011. Sehingga setahun setelahnya, 2012, komisi tersebut pun meneliti jenis-jenis kekerasan seksual yang kemudian pada 2013, mengusulkan untuk dibuatkan payung hukum berkenaan dengan hal itu.

Pada pertengahan 2016, perwakilan Komnas Perempuan menyerahkan naskah akademik dan draf RUU PKS untuk pertimbangan dalam rapat Badan Legislasi Nasional. Presiden Jokowi mengeluarkan perintah untuk koordinasi berbagai kementerian terkait mengenai RUU tersebut pada 2017 dan pada awal 2018, DPR menunjuk Komisi VIII sebagai panja.

Namun sampai sekarang, pekerjaan belum terlihat membuahkan hasil. Apa pasal?

3. Poin yang perlu diperhatikan dalam Draf RUU PKS

Pembahasan RUU PKS Setelah Pemilu 2019, Akankah Terjadi?IDN Times/Sukma Shakti

Masyarakat sendiri dapat mengunduh draf tersebut untuk mempelajarinya langsung, di sini: http://dpr.go.id/doksileg/proses2/RJ2-20170201-043128-3029.pdf.

Dikutip dari Draf RUU PKS, definisi dari kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Sementara, penghapusan kekerasan seksual adalah segala upaya untuk mencegah terjadi kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan kekerasan seksual.

RUU PKS juga menjelaskan langkah yang dapat diambil untuk menghapus kekerasan seksual, yaitu melalui tahap pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban, dan penindakan pelaku kekerasan supaya dia tidak lagi mengulangi perbuatannya. Pada bagian pencegahan, dijelaskan pula beberapa bidang yang harus dibenahi demi terciptanya lingkungan bebas dari kekerasan seksual, antara lain pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang, pemerintahan dan tata kelola kelembagaan, ekonomi, sampai sosial budaya.

Pada pasal lain, dijelaskan sembilan bentuk kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual yang setiap poinnya dijabarkan lebih lanjut dalam draf tersebut.

Soal pemidanaan, diusulkan pemidanaan secara bertingkat, yang di dalamnya terdapat pula jenis hukuman rehabilitasi khusus untuk anak di atas 14 tahun. Selain itu, diusulkan restitusi atau ganti rugi untuk memudahkan akses pemulihan korban dalam pascaproses penegakan hukumnya.

Tak ketinggalan, RUU PKS juga menjelaskan hak korban, yaitu hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh korban dengan tujuan mengubah kondisi korban yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif.

4. Yang kontra terhadap rancangan undang-undang ini

Pembahasan RUU PKS Setelah Pemilu 2019, Akankah Terjadi?IDN Times/Yogi Pasha

Perjalanan RUU PKS menuju pengesahan tidaklah mulus. Salah satu partai yang justru mengawal perjalanannya dari awal, menyampaikan poin-poin yang menegaskan penolakan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan isi Draf RUU PKS dinilai berpotensi memberi ruang bagi perilaku seks bebas yang otomatis bertentangan dengan Pancasila dan norma agama.

Fraksi PKS mengajukan empat poin perubahan yang dianggap penting dan mendasar. Poin pertama, usulan pergantian nomenklatur ‘kekerasan seksual’ menjadi ‘kejahatan seksual’ yang dianggap sebagai wujud ketegasan derajat hukum. Istilah kejahatan seksual menggambarkan unsur kesalahan dan derajat tindak pidana yang lebih tegas, sehingga dapat mempermudah dalam perumusan delik dan pemenuhan unsur-unsur pidana dalam pembuktian.

Poin kedua, melakukan perubahan definisi dari kekerasan seksual itu sendiri. Menurut partai, definisi yang dirumuskan masih ambigu, sehingga menimbulkan keraguan, kekaburan, dan ketidakjelasan.

Poin ketiga berkaitan dengan peran pemerintah, yaitu memasukkan klausul langkah-langkah preventif terhadap kejahatan seksual. Langkah-langkah tersebut, antara lain mewajibkan pemerintah memerangi pornografi, peredaran ilegal narkotika, zat psikotropika, serta minuman keras sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencegahan kejahatan seksual.

Poin keempat, penambahan nilai 'Ketuhanan Yang Maha Esa' menjadi asas pertama dalam RUU.

Pembahasan RUU pun semakin ramai setelah seorang warga membuat petisi penolakan secara online yang berjudul 'TOLAK RUU Pro Zina'. Pembuatnya, Maimon Herawati, disinyalir juga membuat petisi online untuk memboikot iklan grup idola perempuan asal Korea Selatan, Blackpink, di Shopee sebelumnya. Maimon kemudian diketahui merupakan dosen Program Studi Jurnalistik di Universitas Padjajaran, Bandung.

Dalam petisi tersebut, Maimon menjelaskan alasan menolak RUU ini. Poin yang disorotnya, antara lain soal pemaksaan hubungan seksual yang bisa dijerat hukum, sementara hubungan seksual suka sama suka di luar pernikahan diperbolehkan. Begitu juga soal aborsi yang bisa dijerat hukum, hanya yang bersifat pemaksaan. Sementara jika sukarela, diperbolehkan.

Lantas, Komisi VIII DPR dan Komnas Perempuan turun tangan memberi klarifikasi. Mereka membantah dan meluruskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak prozina.

Lebih lengkapnya, Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menyampaikan bahwa fokus dari RUU PKS adalah korban. Menurut mereka, terjadi kesalahpahaman dari pihak yang menolak RUU PKS, yaitu tidak memasukkan masalah prostitusi bukan berarti mendukung perzinaan karena prostitusi sendiri sudah diatur dalam KUHP. Hal tersebut seperti diterangkan oleh Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan.

Isu lain yang berkembang, yang menyatakan bahwa RUU PKS mendukung seks bebas dan LGBT, juga dibantah oleh Komnas Perempuan.

“Dari draf awal dari yang diserahkan komnas perempuan ke DPR, LGBT, seks bebas, itu tidak ada. Karena tidak ada dari awal, sekarang tetap tidak ada,” kata Komisioner Komnas Perempuan Azriana di Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Rabu 6 Februari 2019 lalu. Untuk itu, masih menurut Azriana, berita hoaks ini harus segera dihentikan.

5. RUU PKS diharapkan memunculkan paradigma baru dalam pola pikir masyarakat

Pembahasan RUU PKS Setelah Pemilu 2019, Akankah Terjadi?

Ada kontra, ada pro juga. Ratusan aktivis properempuan yang tergabung dalam Gerakan Perempuan dan Masyarakat Sipil turun ke jalan menagih DPR untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang tersebut, Sabtu 8 Desember 2018 lalu, dalam rangkaian acara 16 Hari Antikekerasan Seksual.

Selain itu, Jaringan Kerja Program Legislasi Pro Perempuan (JKP3) juga menyampaikan 5 isu penting dalam RUU PKS yang luput dari diskursus yang berkembang di masyarakat, yakni:
1. RUU PKS mengisi kekosongan hukum terkait bentuk-bentuk kekerasan seksual yang selama ini tidak diakui oleh hukum. Terdapat 9 bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Pasal 11, yakni: a. pelecehan seksual; b. eksploitasi seksual; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan aborsi; e. perkosaan; f. pemaksaan perkawinan; g. pemaksaan pelacuran; h. perbudakan seksual; dan i. penyiksaan seksual.

2. RUU PKS memuat prosedur hukum termasuk sistem pembuktian yang sensitif dan memperhitungkan pengalaman korban.

3. RUU PKS mengatur penanganan hukum yang terpadu dan terintegrasi dengan semua layanan bagi korban.

4. RUU PKS mengakui dan mengedepankan hak-hak korban serta menekankan kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak korban.

5. RUU PKS juga menekankan perubahan kultur masyarakat dalam memandang kekerasan seksual, dengan membangun kesadaran masyarakat untuk mencegah kekerasan seksual.

Tak henti-hentinya, Komnas Perempuan terus mengingatkan publik bahwa RUU PKS bertujuan untuk melindungi korban kekerasan seksual yang mengalami hambatan dalam mengakses pemulihan dan keadilan. Minim, bahkan tidak adanya perlindungan hukum, membuat korban kekerasan seksual sampai keluarga, mengalami penderitaan terus-menerus.

Menurut kamu sendiri, apakah penolakan atas RUU PKS ini merupakan sesuatu yang berlebihan, atau penerimaannya yang terlalu terburu-buru?

 

Baca Juga: Luncurkan Masterplan, Jokowi Yakin Ekonomi Syariah Berperan di Dunia

Topik:

  • Elfida

Berita Terkini Lainnya