Harapan Baru Hukum Pidana Indonesia, Guru Besar FH Undip: KUHP Baru Penting

Sosialisasi penyusunan RUU KUHP sudah dilakukan

Jakarta, IDN Times - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Benny Riyanto, mengungkapkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru penting untuk mengikuti pergeseran paradigma dalam ajaran hukum pidana, yaitu dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban), dan rehabilitatif (bagi keduanya).

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo meminta DPR menunda pengesahan RUU KUHP bersama 3 RUU lainnya, yakni RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Minerba karena menuai penolakan.

Sikap itu disampaikan Jokowi setelah menerima para pemimpin DPR, serta perwakilan fraksi dan komisi DPR di Istana Merdeka pada 23 September 2019.

"Ditunda pengesahannya supaya kami bisa mendapat masukan-masukan, maupun substansi yang lebih baik dan sesuai keinginan masyarakat," kata Jokowi kala itu.

1. Penyusunan RUU KUHP pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi

Harapan Baru Hukum Pidana Indonesia, Guru Besar FH Undip: KUHP Baru PentingBadan Legislasi Rapat Kerja dengan Menkumham dan PPUU DPD RI dalam rangka Penyusunan Prolegnas RUU Tahun 2020-2024 dan Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020 di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (4/12). (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Benny yang merupakan mantan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM tersebut menuturkan, tertundanya pengesahan RUU KUHP pada 2019 terjadi lantaran protes terhadap minimnya pelibatan partisipasi publik dan beberapa pasal kontroversial.

Menjawab protes publik, Benny memastikan selama penyusunan RUU KUHP pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi melalui kegiatan diskusi dan seminar.

“Pembentukan RUU KUHP sudah memenuhi asas meaningful participation atau partisipasi yang bermakna,” kata dia.

Partisipasi yang bermakna mencakup tiga unsur, yaitu hak untuk didengar, hak untuk mendapat penjelasan, dan hak untuk dipertimbangkan.

Benny pun menjelaskan, beberapa rumusan norma dalam RUU KUHP telah pula mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil. Contohnya adalah rumusan norma dalam pasal tentang penodaan agama dan aborsi.

Selain itu, RUU KUHP juga memasukkan norma terkait tindak pidana khas Indonesia, misalkan menyatakan diri memiliki kekuatan gaib yang dapat mencelakakan orang lain.

Baca Juga: Mahasiswa Kembali Geruduk DPR soal KUHP, Ini Tuntutannya 

2. RUU KUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya bangsa

Harapan Baru Hukum Pidana Indonesia, Guru Besar FH Undip: KUHP Baru Pentingilustrasi undang-undang (unsplash.com/sasun1990)

RUU KUHP juga mengakomodasi nilai-nilai budaya bangsa. Dalam RUU KUHP Pasal 477, contohnya, terjadi perluasan norma yang selaras dengan nilai-nilai budaya bangsa, yaitu bahwa persetubuhan dengan anak di bawah umur 18 tahun, walaupun dengan persetujuan, dikategorikan perkosaan.

“Bahkan perbuatan cabul tertentu juga dianggap perkosaan. Tapi hal yang paling penting dalam RUU KUHP adalah memasukkan norma yang melindungi Pancasila,” urai Benny.

Alhasil, Benny menyebutkan, berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, substansi RUU KUHP sudah sangat ideal sebagai basis norma hukum pidana nasional.

“Maka perlu segera disahkan, mengingat anggota DPR pada tahun 2022 ini masa sidangnya tinggal dua kali lagi," tambahnya.

3. Proses sosialisasi RUU KUHP mutlak diperlukan

Harapan Baru Hukum Pidana Indonesia, Guru Besar FH Undip: KUHP Baru Pentingkompasiana

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Marcus Priyo Gunarto, mengatakan potensi perbedaan pendapat rumusan delik dalam RUU KUHP adalah hal yang wajar.

"Tetapi jika kita bersedia melihat berbagai kepentingan yang ingin dilindungi dibalik rumusan delik yang telah digagas para guru besar hukum pidana sejak 1964, mungkin kita baru mengerti maksud dan tujuan dari rumusan delik tersebut,” katanya.

Marcus menyarankan proses sosialisasi RUU KUHP mutlak diperlukan. “Bahkan setelah disahkan sebagai undang-undang sekalipun, penyuluhan hukum pidana baru tetap diperlukan,” tambahnya.

Pemerintah, tambah Benny, sudah melaksanakan meaningful participation. "Andai kata ada ketidakkelengkapan dari RUU KUHP, masih tersedia mekanisme revisi undang-undang. Bahkan kalau ada norma yang dianggak keliru bisa melalui uji di Mahkamah Konstitusi,” pungkasnya. (WEB)

Baca Juga: Arsul Komisi III DPR Ingin RUU KUHP Disahkan Buat Atasi Overload Lapas

Topik:

  • Marwan Fitranansya

Berita Terkini Lainnya