Ancam Jaminan Sosial, Pantaskah Omnibus Law RUU Kesehatan Disahkan?

Keterlibatan menteri dan partai politik berpotensi merugikan

Jakarta, IDN Times -- Saat ini DPR RI sedang membahas RUU Kesehatan yang dibuat dengan menggunakan omnibus law. Ada 15 UU yang akan disasar oleh RUU Kesehatan ini, di antaranya UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).

Dalam keterangannya, Ketua BPJS Watch Jawa Timur Arief Supriyono menyampaikan, dalam draf RUU Kesehatan terdapat beberapa pasal yang merevisi UU BPJS. Dia menyebut, ini akan sangat mengkhawatirkan dan mengganggu pengelolaan jaminan sosial kesehatan serta jaminan sosial ketenagakerjaan.

Demikian pula, Arief melanjutkan, UU SJSN dan UU BPJS yang sudah direvisi beberapa pasal di UU Cipta Kerja dan UU P2SK akan menjadi bagian yang direvisi lagi dalam RUU Kesehatan.

"Masyarakat akan mengalami kesulitan untuk memahami jaminan sosial karena harus membaca UU SJSN, UU Cipta Kerja, UU P2SK, dan nantinya UU Kesehatan,” ujar Arief menegaskan.

1. Pada RUU Kesehatan ini, kedudukan BPJS ditempatkan di bawah menteri

Ancam Jaminan Sosial, Pantaskah Omnibus Law RUU Kesehatan Disahkan?Kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan. (Istimewa/IDN Times)

Pada RUU Kesehatan ini, kedudukan BPJS ditempatkan di bawah menteri. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 7 Ayat (2) yang menyatakan BPJS bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan.

Lebih lanjut, dia mengatakan, di Pasal 13 huruf (k), BPJS berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian, yaitu penugasan dari Kementerian Kesehatan oleh BPJS Kesehatan dan penugasan dari Kementerian Ketenagakerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Pada UU BPJS dengan sangat jelas direksi dan Dewan Pengawas BPJS bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dan direksi maupun Dewan Pengawas tidak bisa melaksanakan penugasan dari menteri.

Demikian juga dalam proses pelaporan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden melalui menteri kesehatan atau menteri ketenagakerjaan, dengan tembusan kepada DJSN. Ketentuan ini diatur di Pasal 13 huruf (l).

Dalam UU BPJS, BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala 6 (enam) bulan sekali langsung kepada Presiden, tanpa melalui menteri, dengan tembusan kepada DJSN.

Baca Juga: BPJAMSOSTEK Ajak Pengrajin Batik Kota Cirebon Miliki Jaminan Kerja

2. Unsur Dewan Pengawas pun mengalami perubahan komposisi

Ancam Jaminan Sosial, Pantaskah Omnibus Law RUU Kesehatan Disahkan?Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan (Tangkapan Layar/Youtube Komisi IX DPR RI)

Arief menyebutkan, unsur Dewan Pengawas pun mengalami perubahan komposisi. Pada Pasal 21 ayat (3), komposisi Dewan Pengawas BPJS Kesehatan menjadi 2 orang dari Kementerian Kesehatan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang unsur pekerja, 1 orang unsur pemberi kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.

Lebih lanjut, Pada Pasal 21 ayat (4), komposisi Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan menjadi 2 orang dari Kementerian Ketenagakerjaan, 2 orang dari Kementerian Keuangan, 1 orang unsur pekerja, 1 orang unsur pemberi kerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.

Pada UU BPJS, komposisi Dewan Pengawas masing-masing BPJS adalah 2 orang dari unsur pemerintah (Kementerian Ketenagakerjaan atau Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan), 2 orang unsur pemberi kerja, 2 orang unsur pekerja, dan 1 orang unsur tokoh masyarakat.

Selain itu, penambahan jumlah Dewan Pengawas dari unsur pemerintah tersebut, disertai kontrol kuat menteri terhadap Dewan Pengawas tersebut. Pasal 21 ayat (9) menyatakan menteri kesehatan dan menteri ketenagakerjaan dapat meminta laporan anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan dan mengusulkan penggantian (recall) terhadap anggota Dewan Pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan kepada presiden.

Sementara, mengacu Pasal 34 Ayat (2) usulan pemberhentian dewan direksi dilakukan oleh Kemenaker kepada presiden. Dalam UU BPJS, menteri tidak bisa mengontrol apalagi mengusulkan pemberhentian direksi maupun me-recall Dewan Pengawas unsur pemerintah, karena direksi dan Dewan Pengawas bertanggung jawab langsung ke presiden.

3. Menteri Ketenagakerjaan akan menjadi pengendali utama BPJS Ketenagakerjaan dan Menteri Kesehatan akan menjadi pengendali BPJS Kesehatan

Ancam Jaminan Sosial, Pantaskah Omnibus Law RUU Kesehatan Disahkan?(bpjsketenagakerjaan.go.id)

Pasal 28 mengamanatkan pembentukan panitia seleksi (Pansel) dilakukan oleh menteri kesehatan atau menteri ketenagakerjaan bersama menteri keuangan atas persetujuan presiden. Dan menteri kesehatan dan menteri ketenagakerjaan menjadi ketua Pansel untuk bidang Kesehatan dan bidang ketenagakerjaan. Dalam hal ini, dia menyebut, ketentuan di UU BPJS, presiden membentuk Pansel dan ketua Pansel bukan menteri.

Dari perbandingan pasal per pasal di atas, dengan sangat jelas RUU Kesehatan akan memosisikan direksi dan Dewan pengawas BPJS (Ketenagakerjaan dan Kesehatan) di bawah menteri dan ini berarti mengembalikan BPJS seperti BUMN yang dikontrol oleh menteri. Sementara itu, dari proses pengangkatan hingga pemberhentian, semuanya dikendalikan menteri.

”Menteri Ketenagakerjaan akan menjadi pengendali utama BPJS Ketenagakerjaan dan Menteri Kesehatan akan menjadi pengendali BPJS Kesehatan,” ujarnya.

4. Salah satu asas UU BPJS, yaitu menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif, akan sulit terlaksana

Ancam Jaminan Sosial, Pantaskah Omnibus Law RUU Kesehatan Disahkan?Ilustrasi Korupsi (IDN Times/Mardya Shakti)

Status badan hukum publik yang diamanatkan Pasal 7 ayat (1) akan menjadi hambar ketika kepentingan publik yang diwakili Direksi dan Dewan Pengawas dikendalikan menteri dan dikendalikan partai politik (parpol).

Adapun, pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasarkan tiga asas menurut UU BPJS, yang salah satunya adalah asas manfaat, yaitu menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif, akan sulit terlaksana.

Demikian juga prinsip penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional oleh BPJS akan terganggu dengan hadirnya pasal-pasal dalam RUU Kesehatan tersebut. Intervensi dengan klaim penugasan akan mengganggu pelaksanaan prinsip "keterbukaan", “kehati-hatian”, “akuntabilitas”, “dana amanat”, dan “hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta”, akan terganggu dan akan mendukung penurunan manfaat bagi pekerja dan keluarganya.

5. Mengembalikan BPJS seperti BUMN dan memosisikan menteri mengontrol BPJS merupakan kemunduran besar bagi cita-cita jaminan sosial yang berkualitas

Ancam Jaminan Sosial, Pantaskah Omnibus Law RUU Kesehatan Disahkan?Ilustrasi buruh atau pekerja saat demonstrasi. (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Lebih dari itu, dia menyebut, prinsip “Dana Amanah” akan menjadi dana “private” yang dikontrol menteri akan menurunkan imbal hasil program JHT bagi saldo JHT pekerja, serta imbal hasil program jaminan sosial ketenagakerjaan lainnya yang akan mempengaruhi kualitas pelayanan seluruh program tersebut.

Arief membeberkan, pengelolaan dana pekerja oleh BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini sekitar Rp630 triliun akan mudah dikendalikan Menteri Ketenagakerjaan. Partai politik akan leluasa mengendalikan pengelolaan investasi dana pekerja tersebut. Demikian juga aset bersih Dana jaminan sosial (DJS) Program JKN di BPJS Kesehatan yang saat ini sudah mencapai Rp54,7 triliun serta pendapatan iuran JKN yang mencapai Rp143 triliun (Data akhir Desember 2022) akan rawan digunakan untuk kepentingan lain di luar program JKN.

Dampaknya akan berpotensi menciptakan defisit pembiayaan JKN yang akan berdampak langsung pada penurunan pelayanan JKN kepada masyarakat. Beberapa kasus kerugian pengelolaan dana JAMSOSTEK pada saat masih menjadi BUMN hingga dipidananya direktur utama PT. JAMSOSTEK pada waktu yang lalu merupakan gambaran umum ketika pengelolaan dana jaminan sosial sarat dengan kepentingan pribadi dan politik.

Sementara itu, maraknya kasus kegagalan investasi yang dialami BUMN asuransi seperti Jiwasraya dan PT ASABRI beberapa waktu yang lalu merupakan contoh gagalnya pengelolaan dana peserta ketika direksi tidak memiliki kewenangan penuh dan independen. 

Dia menegaskan, kehadiran RUU Kesehatan menjadi antitesis perjuangan gerakan serikat pekerja/serikat buruh bersama kelompok tani, nelayan, mahasiswa, dan kelompok masyarakat lainnya yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS). KAJS di medio 2009 hingga 2011 dengan tegas memperjuangkan lahirnya UU BPJS sebagai badan hukum publik dengan kewenangan dan tugas yang independen dan bertanggung jawab langsung ke Presiden.

KAJS menolak pengelolaan jaminan sosial di bawah kontrol menteri dan berstatus BUMN. BPJS harus bebas dari intervensi menteri, kepentingan politik perorangan, maupun partai politik. Bila RUU Kesehatan akan mengembalikan BPJS seperti BUMN dan memosisikan menteri mengontrol BPJS, RUU Kesehatan menjadi kemunduran besar bagi cita-cita jaminan sosial yang berkualitas dan RUU Kesehatan menjadi penghianatan besar atas perjuangan KAJS.

Atas permasalahan yang akan timbul dengan revisi UU BPJS pada RUU Kesehatan dan untuk memastikan peningkatan manfaat jaminan sosial ketenagakerjaan dan Kesehatan, serta keamanan dan peningkatan investasi dana kelola di BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan, sudah seharusnya Baleg DPR RI dan Pemerintah mengeluarkan UU BPJS dari RUU Kesehatan. (WEB)

Baca Juga: Lindungi 225.000 UMKM Kelontong, BPJAMSOSTEK dan SRCIS Kerja Sama

Topik:

  • Ahmad Faisal

Berita Terkini Lainnya