5 Fakta Seputar Impor Pangan di Era Jokowi

Isu impor pangan diprediksi jadi sorotan di debat capres

Jakarta, IDN Times - Debat calon presiden (capres) yang kedua akan berlangsung pada 17 Februari 2019 dengan mengusung tema energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup. Dalam bidang pangan, salah satu hal yang diprediksi akan menjadi sorotan dalam debat kedua nanti ialah soal keran impor yang dibuka pada masa pemerintahan Joko 'Jokowi' Widodo. 

Ada empat komoditas impor pangan yang menjadi perhatian Ombudsman RI beras, gula, garam, dan jagung. Ombudsman meminta pemerintah terus mengetatkan pengawasan perkembangan impor empat tersebut untuk mencegah malaadministrasi. 

1. Ini dinamika impor empat komoditas pangan pada era Jokowi

5 Fakta Seputar Impor Pangan di Era JokowiIDN Times/Sukma Shakti

Berdasarkan data yang dihimpun IDN Times, total impor beras dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, yakni sejak 2015 hingga 2018, adalah sebesar 4,7 ton. Sedangkan, pada kurun 2010 hingga 2014 sebesar 6,5 juta ton. Jumlah total impor akan meningkat jika pemerintah melakukan kembali pada tahun ini.

“Namun, dengan jumlah stok yang relatif memadai yaitu 2,1 juta ton di akhir 2018, diperkirakan pemerintah tak perlu memerlukan impor di 2019. Kecuali, terjadi krisis besar,” tutur Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih.

Sedangkan untuk impor gula, selama kurun waktu 2015 hingga 2018 mencapai total 17,2 juta ton atau lebih tinggi 4,5 juta ton dibandingkan periode 2010-2015 yang mencapai 12,7 juta ton. Pertumbuhan industri makanan dan minuman disinyalir menjadi penyebab peningkatan jumlah impor, mengingat produksi gula domestik belum mampu mengejar standar yang diperkirakan industri.

Impor garam dalam kurun waktu 4 tahun terakhir yaitu 2015 hingga 2018 juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan angka total sebesar 12,3 juta ton. Puncak angka impor garam tertingi dilakukan pemerintah pada 2018, mencapai 3,7 juta ton. Pada 2019, diperkirakan impor garam masih menjadi opsi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan industri tanah air.

Sementara itu impor jagung mengalami penurunan dalam kurun waktu 2015 hingga 2018 yaitu hanya 5,7 ton atau lebih rendah dibandingkan 2010 hingga 2014 yang mencapai 12,9 juta ton. Penurunan drastis terjadi pada tahun 2016 karena pemerintah membatasi impor jagung hanya 1,3 juta ton dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 3,3 juta ton dengan alasan produksi dalam negeri meningkat dan sebagai upaya melindungi petani.

2. Sederet jenis komoditas lain yang berada di ranking teratas nilai impor

5 Fakta Seputar Impor Pangan di Era Jokowiwww.bps.go.id

Selain komoditas yang disoroti Ombudsman tersebut, kedelai pun mengalami kenaikan impor dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Pada 2014, Indonesia mengimpor 1,9 juta ton kedelai yang kemudian meningkat hingga 2,2 juta ton pada 2015.

Pada 2017 pemerintah sempat meminimalisasi impor kedelai hingga mencapai 500 ribu ton dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,3 juta ton. Namun, pada 2018 angka impor kedelai kembali meningkat. Pada semester pertama saja, pemerintah mengimpor sebanyak 1,17 juta ton.

Berdasarkan proyeksi, konsumsi kedelai nasional pada 2018 mencapai 3,05 juta ton. Sedangkan, produksi hanya mencapai 864 ribu ton. Sepanjang 2018, sejumlah komoditas bahan pangan lain pun tercatat sebagai komoditas dengan peningkatan nilai impor terbesar.

Pada pertengahan 2018, berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus, golongan komoditas susu, mentega, telur mengalami peningkatan terbesar, yaitu sebesar 94,19 persen atau US$48,6 juta. Sedangkan pada akhir tahun, berdasarkan rilis BPS per Desember 2018, peningkatan terbesar adalah golongan buah-buahan sebesar 68,90 persen atau US$69,8 juta.

Baca Juga: Ombudsman: Impor Pangan di Pemerintahan Jokowi Tinggi

3. Simpang siur data produksi bahan pangan, impor beras dinilai tidak perlu

5 Fakta Seputar Impor Pangan di Era JokowiIDN Times

BPS mengumumkan penghentian publikasi data produksi pangan pada 2015. Pasalnya, ada ketidakpastian data produksi akibat malaadministrasi pendataan. Hal itu berpangkal pada konflik kepentingan dalam penetapan data produksi.

Menurut BPS, data antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Usaha Logistik (Bulog) tidak sinkron sehingga tidak ada data yang jelas antara kebutuhan dalam negeri dengan hasil produksi petani.

Dirut Bulog Budi Waseso (Buwas) juga pernah keras bersuara terkait impor beras. Menurutnya, pemerintah lewat Kementerian Perdagangan tak perlu lagi mengimpor beras di paruh kedua 2018 sebesar 1 juta ton karena ketersediaan pasokan beras di gudang Bulog masih ada sekitar 2,4 juta ton.

Selain itu, Buwas juga menganggap impor beras tak perlu dilakukan lantaran Bulog tak memiliki tempat lagi untuk menampung pasokan beras dari impor.

4. Upaya pemerintah dalam mengantisipasi peningkatan impor pangan

5 Fakta Seputar Impor Pangan di Era JokowiIDN Times/Vanny El Rahman

Pemerintah berusaha melakukan pengendalian harga beras dengan mengeluarkan kebijakan penetapan harga eceran tertinggi. Selain itu, operasi penertiban melalui Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri yang dibentuk pada Mei 2017.

Pada tahun yang sama, operasi Satgas Pangan telah menemukan perusahaan penggilingan padi besar yang menjual harga terlalu tinggi, bernama PT Indo Beras Unggul (IBU). Satgas menemukan sebanyak 1.161 ton beras yang diduga jenis medium tapi dikemas dan dijual dengan harga premium yakni Rp13.700 dan Rp20.400 per kilogram.

Satgas mengklaim kerugian negara yang disebabkan PT IBU mencapai ratusan triliun. Tapi, pengadilan memutuskan kesalahan yang dilakukan PT IBU hanya berupa  kecurangan dalam keterangan label kemasan beras yang tidak sesuai dengan isinya.

Meski penertiban terus dilakukan, pada empat bulan terakhir di 2017 terjadi kenaikan harga beras. Sementara jumlah stok di Bulog hanya mencapai 958 ribu ton.

Pada tahun 2018, kenaikan harga beras disebabkan keputusan pemerintah untuk memperluas program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Keputusan ini menyebabkan masyarakat penerima manfaat melakukan pembelian langsung kebutuhan beras mereka ke pasar. Akibatnya, jumlah beras sejahtera (rastra) yang biasanya disalurkan Bulog, turun drastis hingga 53 persen.

Pemerintah pun menambah 1 juta ton lebih beras stok di Bulog hingga meningkat menjadi 2,1 juta ton. Kondisi ini menyebabkan harga beras di pasar relatif meningkat selama 2018. Persediaan beras diperkirakan akan meningkat lagi tahun ini, mengingat pemerintah berencana menerapkan program BPNT hingga 80 persen.

Sedangkan dalam impor gula, pemerintah sempat membuat kebijakan pengawasan untuk mengurangi rembesan gula rafinasi melalui pasar lelang gula kristal rafinasi (GKR). Namun, kemudian kebijakan tersebut dicabut dan menyebabkan maraknya rembesan gula impor karena tidak ada mekanisme deteksi rembesan.

Baca Juga: Ombudsman Peringatkan Pemerintah soal Impor Pangan, Ini Alasannya

5. Alasan pemerintah terus menjalankan impor

5 Fakta Seputar Impor Pangan di Era JokowiIDN Times/Didit Hariyadi

Pada September 2018, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjelaskan kepada DPR soal alasan pemerintah mengimpor beras. Menurutnya, impor beras pada 2015 dilakukan untuk mengantisipasi el nino.

"Awalnya pemerintah mau impor beras 1,5 juta ton, akhirnya yg diimpor hanya sekitar 900 ribu ton dan datang pada tahun depannya 2016 kira-kira sisanya 600 ribu ton," ujarnya.

Sedangkan pada Oktober 2017, harga beras melambung tinggi. "Dalam kepanikan itu, kami berpikir jangan sampai chaos, kalau panen Maret 2018 jelek. Itu sebabnya kami siapkan impor."

Bulog ditargetkan bisa menyediakan stok dari dalam negeri sebanyak 2,2 juta ton dalam kurun akhir 2017 lalu sampai Juni 2018. Namun hingga Maret 2018, menurutnya, Bulog hanya mampu menyediakan 200-300 ribu ton. Bahkan hingga September, Bulog baru sanggup menyediakan 900 ribu ton.

"Dalam situasi begitu, tidak ada kemungkinan lain kecuali impor karena akan kurang ini," ujar Darmin pada September 2018.

Sementara itu, Ombudsman menyebut pertimbangan harga sebagai alasan pemerintah dalam membuka keran impor empat komoditas yang mereka soroti yakni beras, jagung, gula, dan garam.

"Karena harganya lebih murah. Seperti jenis-jenis industri tertentu, memerlukan jenis komoditi yang impor. Misalnya garam, alasannya, dengan harga yang sekian, kualitas tampaknya jauh lebih relevan," tutur Alamsyah di kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Senin (4/1).

Baca Juga: Rizal Ramli Kembali Kritik Kebijakan Jokowi Soal Impor hingga Utang

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya