Jimly: Jika Tak Ada Naskah Final UU Cipta Kerja Bisa Jadi Celah di MK

Uji materi di MK lebih efektif ketimbang demo

Jakarta, IDN Times - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Profesor Jimly Asshiddiqie mengatakan, jika DPR belum mempunyai naskah final saat Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) disahkan, maka hal itu bisa menjadi celah bagi masyarakat untuk mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena cacat hukum.

Jimly menilai, pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR tidak sah dan bisa dibatalkan MK seandainya benar dalam rapat paripurna belum ada naskah final yang dipegang anggota dewan di setiap fraksi.

“Nah, berarti yang disahkan itu belum ada. Kalau bisa dibuktikan yang disahkan belum ada, 'dengan ini kita nyatakan disahkan', tapi yang mana yang disahkan, kan belum ada. Berarti tidak sah,” kata Jimly saat dihubungi IDN Times, Selasa (13/10/2020).

Baca Juga: Wakil Ketua DPR: Draf UU Cipta Kerja Final Berjumlah 812 Halaman

1. Jimly meminta masyarakat menempuh proses hukum ketimbang unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja

Jimly: Jika Tak Ada Naskah Final UU Cipta Kerja Bisa Jadi Celah di MKIlustrasi (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Ketimbang melakukan unjuk rasa besar-besar di jalan yang merugikan publik, kata Jimly, alangkah baiknya jika masyarakat menempuh proses hukum untuk menolak disahkannya undang-undang tersebut.

“Jangan pernah menganggap uji materi di MK itu tidak ada gunanya. Dicoba dulu. Bisa pengujian materiil, bisa pengujian formil,” ujar dia.

2. Ahli hukum diminta mencari argumentasi untuk membatalkan UU Cipta Kerja di MK

Jimly: Jika Tak Ada Naskah Final UU Cipta Kerja Bisa Jadi Celah di MKPuan Maharani Mempimpin Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (1/09/2020) (Youtube.com/DPR RI)

Jimly menjelaskan, uji materi yang dimaksud adalah menguji materi tertentu yang dinilai bertentangan dengan konstitusi. Sementara, uji formil adalah menguji secara keseluruhan undang-undang tersebut.

Ia mencontohkan, untuk uji formil bisa dibuktikan ketika proses pembentukan undang-undang tersebut dilakukan. Jika prosesnya bertentangan dengan ketentuan konstitusi dan undang-undang, maka seluruhnya bisa dinyatakan tidak mengikat untuk umum dan bisa dibatalkan MK.

“Antara lain yang saya bilang, jika itu benar terbukti naskahnya belum ada, ya gak sah pengesahannya. Maka itu dicarikan argumennya, dicari kumpul ahli hukum. Jadi ributlah di ruang sidang,” tutur Jimly.

3. Putusan MK bersifat norma peraturan, maka bisa langsung diimplementasikan keputusannya

Jimly: Jika Tak Ada Naskah Final UU Cipta Kerja Bisa Jadi Celah di MKKetua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak)

Jimly menjelaskan, putusan MK lain dengan putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Agama, dan Mahkamah Agung. Sebab, keputusan MK bersifat norma peraturan, bukan keputusan konkret seperti putusan lembaga peradilan di atas.

Oleh sebab itu, kata dia, jika MK mengabulkan gugatan masyarakat terkait UU Cipta Kerja, maka tidak perlu adanya eksekusi seperti putusan sidang Pengadilan Negeri, PTUN, Pengadilan Agama, dan Mahkamah Agung.

“Jadi putusan MK itu kalau dia mengabulkan dalam hal JR, persis sama kayak undang-undang, tidak perlu eksekusi, yang diperlukan implementasi. Siapa saja yang tidak menjalankan ketentuan undang-undang sebagaimana telah diubah oleh MK, ya melanggar undang-undang. Itu otomatis,” kata Jimly, menegaskan.

5. DPR mengklaim karena ada perubahan format sebabkan jumlah halaman berubah

Jimly: Jika Tak Ada Naskah Final UU Cipta Kerja Bisa Jadi Celah di MKGedung DPR (IDN Times/Kevin Handoko)

Naskah final Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR pada Senin, 5 Oktober 2020, terus menuai polemik di masyarakat. Bahkan, hingga hari ini sudah muncul tiga versi yang disebut-sebut DPR sebagai naskah final dari omnibus law klaster ketenagakerjaan tersebut. Demo penolakan undang-undang ini juga terus terjadi di Jakarta dan berbagai daerah lain. 

Versi pertama yang beredar di masyarakat adalah UU Cipta Kerja sebanyak 905 halaman, ketika undang-undang itu baru saja disahkan. Versi kedua 1.035 halaman kembali muncul pada Senin, 12 Oktober 2020. Terakhir, masih pada hari yang sama muncul versi terbaru sebanyak 812 halaman.

Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar berdalih, ada perubahan ukuran format A4 menjadi ukuran legal, yang menyebabkan terjadinya perubahan jumlah halaman UU Cipta kerja.

Baca Juga: Draf UU Cipta Kerja Berubah Tiga Kali, DPR: Ada Penyempurnaan Redaksi

Topik:

  • Rochmanudin
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya