Musikus Indie Tolak Keras RUU Permusikan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Sejumlah musikus independen (indie) yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan, mendeklarasikan diri untuk menolak RUU tersebut.
Mereka menilai, banyak kejanggalan dalam setiap pasal yang tertera di RUU tersebut.
1. Pembuatan RUU Permusikan dilakukan sepihak
Vokalis grup band Seringai, Arian menilai, RUU Permusikan yang disusun tersebut tidak terbuka dalam proses pembuatannya.
“Ini bisa dilihat dari draf RUU yang selesai 15 Agustus 2018, namun baru bisa diakses dan ramai di publik Februari 2019,” ujar Arian di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (6/2).
2. RUU Permusikan tidak menjawab kebutuhan para musikus
Arian juga menjelaskan, setiap pasal dalam RUU tersebut tidak menjawab berbagai masalah tentang kesejahteraan pekerja musik atau pengaturan pemerintah dalam menjalin ekosistem musik yang adil.
“Justru pasal-pasal di dalam RUU ini berpotensi membatasi ruang gerak dan menyensor kebebasan berekspresi musisi. Pengusulan revisi akan percuma karena berdasarkan penyisiran pasal yang kami lakukan, mencerminkan bahwa jika diubah maka semua proses harus diulang dari awal,” tuturnya.
3. Hampir seluruh pasal yang ada tidak menguntungkan musikus
Editor’s picks
Pria yang dikenal dengan suara lantangnya ini menilai, hampir 80 persen pasal yang ada dalam RUU Permusikan dapat menimbulkan masalah serius bila nantinya telah disahkan.
“Masalah yang ditemukan mulai dari masalah substansi, disharmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain, potensi penafsiran ganda, hingga ketidakcermatan dalam perancangan pasal. Hampir semua pasal yang kami sisir di Daftar Inventarisasi Masalah lebih dari 80 persen problematis, sehingga harus ditolak,” ungkapnya.
4. Seharus pembuatan RUU melibatkan musikus dari berbagai aliran musik
Ia juga menyesalkan, mengapa para pembuat kebijakan tersebut tidak melibatkan perwakilan pekerja musik mulai dari musikus independen, tradisi, daerah, dan jalanan agar benar-benar memahami kebutuhan dan tantangan permusikan hari ini.
“Kajian ini akan menelisik bagaimana pemerintah dapat menjadi fasilitator bukan controller, yang melibatkan organisasi-organisasi yang memiliki kompetensi dan pengalaman akar rumput di permusikan Indonesia sejak awal, bukan saja pemain-pemain besar di industri musik hari ini. Hal ini penting, sebab musik yang lahir dari komunitas dan masyarakatlah yang menghidupkan kebudayaan,” tegasnya.
5. DPR jangan terburu-buru mengesahkan RUU Permusikan
Lebih jauh ia menegaskan agar DPR tidak tergesa-gesa dalam mengetuk palu RUU Permusikan, yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), karena tidak memiliki urgensi penting bagi kebutuhan para musikus.
“Sekali lagi, menegaskan bahwa menolak draf RUU Permusikan ini justru karena kami peduli, dan tidak mau solusi untuk menjamin perkembangan dan kemajuan ekosistem musik di Indonesia prematur dan tidak berdasar pada kajian, diskusi, dan partisipasi aktif para pekerja musik di Indonesia,” pungkasnya.
Baca Juga: Jika RUU Permusikan Disahkan, Kiamat bagi Penyanyi Dangdut?