Proyek Taman Nasional Komodo dan Curhat Warga Merasa Termarjinalkan

Pemerintah dinilai tak adil hanya mementingkan swasta

Jakarta, IDN Times - Sebagian warga Taman Nasional Komodo (TNK), Nusa Tenggara Timur, ada yang menolak pembangunan wisata Jurassic Park di taman konservasi itu. Mereka menganggap proyek ini merupakan awal dari sebuah mega proyek yang akan melibatkan banyak investor swasta, dengan cita-cita membangun pariwisata bertaraf internasional di kawasan tersebut.

Langkah pemerintah membuat Jurassic Park di TNK semakin tidak mulus, setelah foto seekor komodo sedang menghadang truk proyek, viral di media sosial. Sejumlah pihak mengecam adanya proyek tersebut karena dinilai dapat merusak habitat asli komodo, satwa endemik Indonesia yang dilindungi.

Masyarakat kemudian menggulirkan petisi melalui webiste change.org untuk mendesak pemerintah mencabut izin pembangunan investor asing di kawasan Taman Nasional Komodo. Hingga hari ini, sebanyak 365.537 petisi sudah ditandatangani masyarakat, dari 500 ribu petisi yang ditargetkan.

Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memang telah merancang pembangunan sarana dan prasarana pendukung pariwisata, salah satunya di Pulau Rinca, TNK, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang akan dijadikan Jurassic Park.

Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengklaim pembangunan proyek ini akan dilakukan dengan hati-hati. "Untuk melindungi Taman Nasional Komodo sebagai World Heritage Site UNESCO yang memiliki Outstanding Universal Value (OUV), Kementerian PUPR melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA) dan Ditjen Cipta Karya melaksanakan penataan kawasan Pulau Rinca dengan penuh kehati-hatian," kata Basuki dalam keterangan tertulis, Senin (26/10/2020).

Adapun kegiatan penataan kawasan Pulau Rinca meliputi sejumlah proyek, di antaranya pembangunan dermaga, bangunan pengaman pantai sekaligus jalan setapak untuk akses keluar masuk dan keluar kawasan sepanjang 100 meter.

Ada juga pembangunan elevated deck setinggi dua meter yang berfungsi sebagai akses penghubung dermaga, pusat informasi, penginapan ranger atau pawang komodo, guide dan peneliti seluas 3.055 meter persegi. Elevated deck juga berfungsi bagi wisatawan untuk melihat komodo dari jarak yang yang aman.

Baca Juga: KLHK Bantah Ada Pembangunan Jurassic Park di Komodo, Lho Kok?

1. Curhat warga Pulau Komodo soal ketidakadilan pemerintah kepada mereka

Proyek Taman Nasional Komodo dan Curhat Warga Merasa TermarjinalkanIstimewa

Warga Pulau Komodo menceritakan keluh kesah mereka atas dibangunnya sejumlah proyek di kawasan Taman Nasional Komodo. Mereka menilai, pemerintah tidak adil karena hanya mementingkan pihak swasta.

Warga Pulau Komodo, Alimudin menuturkan, mereka hidup saling berimpitan di lahan seluas 17 hektare yang ditempati sebanyak dua ribu penduduk. Namun semua itu berbanding terbalik dengan lahan yang diberikan kepada pihak swasta. Mereka diberikan lahan ratusan hektare untuk membangun proyek di kawasan TNK oleh pemerintah.

Alimudin menilai, hal itu adalah bentuk ketidakadilan pemerintah kepada warga Pulau Komodo, di mana tanah tersebut merupakan tanah leluhur mereka sejak ratusan tahun yang lalu.

“Miris gak coba, pemerintah gak adil hanya pentingkan swasta. Ketika (warga) gak boleh begini (perluas pemukiman) karena alasan konservasi, tapi alasan konservasi tidak berlaku untuk perusahaan,” kata Alimudin saat dihubungi IDN Times, Selasa (27/10/2020).

Dia mengatakan, warga Pulau Komodo sudah mulai termarjinalkan sejak pemerintah membentuk TNK pada 1980. Pemerintah, kata Alimudin, mengambil seperempat tanah mereka tanpa sepeser pun kompensasi yang diberikan kepada warga. Alasannya demi konservasi.

“Parahnya bikin rumah saja atapnya gak boleh bikin dari seng. Harus dari ijuk atau ilalang dengan alasan konservasi. Hari ini kita dihadapkan dengan kondisi pembangunan hotel atau homestay. Sebagian besar wilayah kawasan nasional akan dijadikan ladang untuk bisnisnya pariwisata,” tuturnya.

Warga Pulau Komodo lantas mempertanyakan di mana konservasi yang selama ini didengungkan pemerintah. Adanya proyek-proyek pariwisata bertaraf internasional itu, justru berbanding terbalik dengan sifat konservasi yang ada. Komodo liar yang ada di alam akan terganggu dengan banyaknya pembangunan yang ada saat ini.

“Kemudian konservasi yang dulunya mereka dengungkan itu gimana kira-kira. Jadi konservasi boleh diabaikan untuk alasan bisnis, gitu? Kan lucu. Itu dasar penolakannya,” ujar Alimudin.

Tak cukup sampai di situ, Alimudin juga menuturkan saat ini warga Pulau Komodo sedang terpecah menjadi dua kubu. Ada yang mendukung dan menentang dibangunnya proyek tersebut. Warga yang setuju dengan adanya proyek wisata itu, kata dia, telah termakan janji manis pengembang.

Jika proyek itu nanti sukses dibangun, maka warga Pulau Komodo akan menikmati hasil dari para wisatawan yang berlibur. Lapangan pekerjaan juga akan terbuka lebar untuk mereka.

“Jadi beberapa waktu lalu itu warga, tokoh-tokoh masyarakat yang ada di taman nasional itu diundang di Labuan Bajo untuk sosialisasi. Mereka diiming-imingi (pembangun proyek wisata) akan menyejahterakan masyarakat. Nah, dengan pemikiran seperti ini kan sudah tentu sebagian masyarakat akan setuju,” kata Alimudin.

Namun, lanjut Alimudin, belajar dari pengalaman di banyak tempat terkait kapitalisasi objek wisata oleh pihak swasta, sebagian warga justru menolak proyek tersebut karena tak terbuai dengan janji manis yang diberikan pengembang.

Hal tersebut lah yang kemudian membuat pergulatan antar warga Pulau Komodo, antara yang mendukung dan menolak dibangunnya proyek pariwisata oleh swasta.

“Jadi sekarang ini kami masyarakat yang ada di dalam kawasan merasa di adu domba dengan keadaan ini. Mau mengambil sikap, tapi pada akhirnya kami melawan saudara kami sendiri,” kata Alimudin.

2. KLHK membantah akan membangun Jurassic Park, hanya perbaikan sarana dan prasarana

Proyek Taman Nasional Komodo dan Curhat Warga Merasa TermarjinalkanDirektur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno (Dok. KLHK)

Sementara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membantah adanya proyek pembangunan yang disebut-sebut sebagai Jurassic Park di Pulau Rinca, yang sedang menjadi perhatian publik.

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno mengatakan, pemerintah hanya sedang membangun sarana dan prasarana (sarpras) ke dalam lokasi salah satu tempat wisata yang ada di kawasan Taman Nasional Komodo.

“Jadi pertanyaan (proyek) Jurassic Park, saya tidak tahu dari mana. Jadi ini sebetulnya pengganti sarana dan prasarana yang terpencar-pencar menjadi satu sistem terpadu," kata Wiratno melalui konferensi pers secara daring, Rabu (28/10/2020).

Ia menjelaskan, pembangunan sarana dan prasarana tersebut meliputi dermaga, bangunan pengaman pantai sekaligus jalan setapak untuk akses keluar masuk dan keluar kawasan sepanjang 100 meter.

Ada juga pembangunan elevated deck setinggi dua meter yang berfungsi sebagai akses penghubung dermaga, pusat informasi, penginapan ranger (pawang komodo), guide dan peneliti seluas 3.055 meter persegi. Elevated deck juga berfungsi bagi wisatawan untuk melihat komodo dari jarak yang yang aman.

“Itu bukan privat sector, ini dibangun pemerintah agar dapat melihat komodo yang bagus. Seperti di luar negeri melihat satwa tidak bisa langsung bersentuhan,” tutur Wiranto.

Terkait dengan masuknya sejumlah alat berat ke dalam lokasi yang dinilai publik akan mengganggu habitat komodo, Wiratno mengklaim, proyek tersebut sudah memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam setiap pengerjaannya.

“Material itu kan gak bisa diangkut dengan tenaga manusia. Selama proses pembangunan ada 10 ranger yang bertugas memeriksa komodo di berbagai titik pembangunan dan kendaraan proyek,” ujarnya.

3. Kemenparekraf mengklaim proyek pembangunan tersebut sudah mendapat restu dari UNESCO

Proyek Taman Nasional Komodo dan Curhat Warga Merasa TermarjinalkanRencana pembangunan di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo yang akan dijadikan Wisata Jurassic (Dok. Kementerian PUPR)

Di lain pihak, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Hari Santosa Sungkari memastikan proyek itu telah mendapat restu dari Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO.

"Kita melakukan pembangunan sesuai rekomendasi UNESCO, dan di foto yang truk datang ke komodo itu truk mogok, bukan mengganggu komodo. Truk itu lagi bawa tiang pancang, lagi menata," kata Hari kepada IDN Times, Senin (26/10/2020).

Hari menjelaskan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah berkoordinasi dengan UNESCO terkait proyek tersebut. Surat itu sudah diterima pemerintah sejak tahun lalu. "Surat dari tahun lalu dan sudah dibalas Kemendikbud," ujar Hari.

Saat ini, kata dia, banyak bangunan yang tercecer di Pulau Komodo. Kementerian PUPR pun sedang membangun lokasi untuk turis, agar lebih terstruktur. Hari memastikan pembangunan itu tidak akan mengganggu keasrian Pulau Komodo.

"Karena yang kita harap quality tourism, jadi akan dibangun tempat supaya dia bisa terstruktur datangnya, tidak ke sana kemari, maka dibangun bangunan itu," kata dia.

Selain itu, Kemenparekraf juga memastikan turis yang datang akan dibatasi dan tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. "Mungkin di bawah 50 persen. Seperti standar taman nasional dunia, yang masuk situ akan diseleksi, tidak sembarangan orang," ujar Hari.

4. WALHI kecam pembangunan proyek di Taman Nasional karena membahayakan habitat komodo

Proyek Taman Nasional Komodo dan Curhat Warga Merasa TermarjinalkanRencana pembangunan di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo yang akan dijadikan Wisata Jurassic (Dok. Kementerian PUPR)

Sementara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga mengecam pembangunan Jurassic Park di Taman Nasional Komodo. Direktur WALHI NTT Umbu Wulang dalam keterangan tertulis, Selasa 27 Oktober 2020 mengatakan bahwa segala bentuk pembangunan di sana akan menghilangkan keaslian habitat komodo.

Umbu mengatakan, pembangunan pariwisata premium ini akan berdampak buruk bagi keberlanjutan komodo. Taman Nasional Komodo yang merupakan kawasan konservasi, perlahan mulai disulap menjadi salah satu tempat pengembangan wisata premium.

“Hal ini tentunya akan berdampak bagi habitat komodo. Langkah pemerintah saat ini juga telah membuktikan kekhawatiran bahwa pembangunan konservasi Pulau Rinca akan lebih didominasi kepentingan pariwisata,” ujar dia.

Proses pembangunan Jurassic Park tersebut, menurut Umbu, telah mengganggu dan mengancam ekosistem komodo sebagai salah satu satwa langka yang dilindungi. Sebagai kawasan konservasi, Pulau Rinca tidak memerlukan pembangunan infrastruktur seperti yang dipikirkan pemerintah.

“Sebab pembangunan ini justru akan membahayakan ekosistem komodo sebagai satwa yang dilindungi,” ujar dia.

Umbu menjelaskan, komodo atau varanus komodoensis merupakan salah satu spesies kadal yang tergolong langka dan merupakan satu-satunya binatang purba yang masih bertahan hingga kini, serta tercatat sebagai salah satu keajaiban dunia.

Selain itu, komodo merupakan jenis binatang yang soliter atau memiliki sifat penyendiri, kecuali saat musim kawin. Karena itu, sentuhan-sentuhan pembangunan yang berdampak pada perubahan habitat alamiahnya, tentu akan mengganggu keberadaan komodo.

“Habitat terbesar komodo berada di Pulau Rinca dan Pulau Padar. Secara ekologi kedua pulau ini mempunyai topografi yang paling cocok dalam mendukung bertumbuh dan berkembangnya spesies ini,” kata Umbu.

Oleh sebab itu, WALHI mengimbau pemerintah untuk mengembalikan spirit awal pembentukan TNK sebagai kawasan konservasi. Semestinya seluruh kebijakan pembangunan di kawasan ini berbanding lurus dengan spirit konservasi satwa purba ini.

Pemerintah melalui KLHK, kata Umbu, juga harus turun tangan menghentikan pembangunan skala besar di kawasan TNK.

“WALHI NTT meminta agar pemerintah provinsi dan nasional lebih fokus pada urusan sains dan konservasi kawasan ekosistem komodo, dibandingkan urusan pariwisata yang berbasis pada pembangunan infrastruktur skala besar yang merusak ekosistem komodo,” kata dia.

5. KLHK klaim habitat asli komodo tidak terganggu dengan adanya proyek tersebut

Proyek Taman Nasional Komodo dan Curhat Warga Merasa TermarjinalkanIlustrasi Komodo (IDN Times/Aryodamar)

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno mengatakan, pembangunan Jurassic Park di Taman Nasional Komodo, Pulau Rinca, tetap mematuhi kaidah konservasi.

Sebab, kegiatan penataan Dermaga Loh Buaya, pengaman pantai, evelated deck, pusat informasi, dan pondok ranger berada di wilayah administrasi Desa Pasir Panjang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.

“Untuk itu, kegiatan pengangkutan material pembangunan yang menggunakan alat berat harus dilakukan, karena tidak dimungkinkan menggunakan tenaga manusia. Penggunaan alat-alat berat seperti truk, ekskavator, dan lain-lain, telah dilakukan dengan prinsip kehati-hatian,” ujar Wiranto dalam siaran pers tertulis, Selasa (27/10/2020).

Berdasarkan pengamatan KLHK, jumlah komodo yang sering berkeliaran di sekitar area penataan sarana prasarana di Loh Buaya diperkirakan ada 15 ekor. Beberapa di antaranya memiliki perilaku yang tidak menghindar dari manusia.

Guna menjamin keselamatan dan perlindungan terhadap komodo, termasuk para pekerja, seluruh aktivitas penataan sarana prasarana diawasi lima sampai 10 ranger setiap harinya.

“Mereka secara intensif melakukan pemeriksaan keberadaan biawak komodo, termasuk di kolong-kolong bangunan, bekas bangunan, dan di kolong truk pengangkut material,” ujar Wiratno.

Saat ini, pengunjung TNK di Pulau Rinca juga dibatasi hanya 150 orang per hari, bahkan pada hari-hari biasa hanya 10 sampai 15 orang per hari. Hal ini demi menjaga kelestarian satwa komodo, serta menyukseskan arahan pemerintah untuk mencegah penyebaran COVID-19.

Dalam rangka mendukung kerja penataan sarana prasarana wisata alam Jurassic Park, yang nantinya akan menjadi lebih baik bagi pengunjung di Resort Loh Buaya, maka Balai TNK KLHK menutup sementara Resort Loh Buaya TNK terhitung sejak 26 Oktober 2020 hingga 30 Juni 2021, dan akan dievaluasi setiap dua pekan sekali.

“Progress pembangunan akan diinformasikan oleh petugas. Tempat atau lokasi destinasi lain seperti Padar, Loh Liang (Pulau Komodo), Pink Beach dan Spot Dive (Karang Makasar, Batubolang, Siaba, Mawan dan lain-lain masih tetap dibuka,” ujar Wiranto.

Wiranto menegaskan, aktivitas wisata di TNK selama ini telah menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara. Sejak ditetapkan sebagai taman nasional hingga saat ini, sarana prasarana di TNK terus dikembangkan, baik untuk wisata edukasi, maupun penelitian.

Penataan sarana prasarana yang sedang dilakukan di Lembah Loh Buaya Pulau Rinca TNK oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah mencapai 30 persen dari rencana yang akan selesai pada Juni 2021. Saat ini, penataan tengah memasuki tahap pembongkaran bangunan eksisting dan pembuangan puing, pembersihan pile cap, dan pembuatan tiang pancang.

Wiranto menjelaskan Taman Nasional Komodo (TNK) yang ditunjuk pada 1980 memiliki label global, sebagai Cagar Biosfer (1977) dan Warisan Dunia (1991) oleh UNESCO, memiliki luas 173.300 Ha, terdiri dari 58.449 Ha (33,76 persen) daratan dan 114.801 Ha (66,24 persen) perairan.

Dari luas tersebut, menurut dia, ditetapkan Zona Pemanfaatan Wisata Daratan 824 Ha (0,4 persen) dan Zona Pemanfaatan Wisata Bahari 1.584 Ha (0,95 persen). Jadi pengembangan wisata alam sangat dibatasi, hanya pada Zona Pemanfaatan tersebut. Ini prinsip kehati-hatian yang ditetapkan sejak perencanaan ruang kelola di TNK.

Sementara, menurut data KLHK, populasi komodo di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) berada di lima pulau utama, yaitu Pulau Komodo, Rinca, Padar, Nusa Kode (Gili Dasami), dan Gili Motang.

Di Pulau Flores tercatat komodo dapat ditemukan di empat kawasan konservasi, yaitu Cagar Alam Wae Wuul, Wolo Tado, Riung, dan di Taman Wisata Alam Tujuh Belas Pulau, tepatnya di Pulau Ontoloe.

Selain itu, populasi komodo juga dapat ditemukan di area hutan lindung, area penggunaan lain (APL) di pesisir barat dan utara pulau Flores, serta di areal Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Hutan Lindung Pota.

Komodo merupakan salah satu satwa endemik Indonesia yang paling dikenal masyarakat dunia. Satwa biawak komodo dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor. 106/MENLHK/SEKJEN/KUM.1/12/2018.

Penduduk asli Pulau Komodo menyebut komodo dengan nama setempat Ora, memiliki morfologi dan ukuran tubuh yang sangat besar, menjadikan biawak komodo dikenal sebagai kadal terbesar yang masih hidup dan merupakan salah satu reptil paling terkenal di dunia.

Baca Juga: Pembangunan Komodo Diklaim Sudah Direstui, Begini Isi Surat UNESCO

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya