Ba'asyir Bebas karena Kemanusiaan, Baiq Nuril dan Meiliana pun Bisa

Jokowi merestui Abu Bakar Ba'asyir bebas pekan depan

Jakarta, IDN Times – Kabar mengejutkan datang dari Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) sekaligus Penasehat Hukum Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko ‘Jokowi’ Widodo-Ma’ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra. Dua hari lalu, Yusril mengungkapkan ia telah berhasil meyakinkan Jokowi untuk membebaskan Abu Bakar Ba’asyir dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Teroris Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.

Dalam tulisan yang diunggah dalam laman Facebook pribadinya, Yusril mengatakan Jokowi membebaskan terpidana kasus terorisme tersebut karena pertimbangan kemanusiaan.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju mengatakan jika pertimbangan dalam membebaskan Ba’asyir benar-benar karena alasan kemanusiaan, presiden seharusnya juga melakukan langkah penting terhadap sejumlah kasus lainnya yang membutuhkan pertimbangan kemanusiaan, seperti pemberian amnesti bagi Baiq Nuril dan Meiliana.

1. ICJR pertanyakan dasar hukum keputusan pembebasan Ba'asyir

Ba'asyir Bebas karena Kemanusiaan, Baiq Nuril dan Meiliana pun BisaDok. IDN Times/Istimewa

ICJR mempertanyakan dasar hukum keputusan pembebasan Ba’asyir. Sebab, menurut PP No 99 Tahun 2012 Permenkuham No 3 Tahun 2018 dijelaskan bahwa untuk mengeluarkan warga binaan pemasyarakatan dari Lembaga Pemasyarakatan sebelum menjalani semua masa pidana adalah dengan pembebasan bersyarat.

Anggara pun mengatakan pemerintah pun tidak dapat mendasarkan keputusannya pada mekanisme amnesti sesuai dengan UU 1945 jo UU No 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.

"Hal tersebut pun tidak dapat dilakukan, karena amnesti menghilangkan semua akibat hukum dari tindak pidana yang dilakukan, dan sebelumnya harus ada nasihat tertulis dari Mahkamah Agung atas permintaan Menteri Hukum dan HAM dan kemudian juga harus dengan pertimbangan DPR,” ujar Anggara.

Di sisi lain, berdasarkan keterangan kuasa hukum Ba’asyir, rencana pembebasan tersebut bukan merupakan pembebasan bersyarat maupun grasi. Pasalnya, Ba’asyir tak pernah mengajukan grasi ke presiden.

2. Jika dengan alasan kemanusiaan, Baiq Nuril juga harus dibebaskan

Ba'asyir Bebas karena Kemanusiaan, Baiq Nuril dan Meiliana pun BisaIDN Times/Indiana Malia

ICJR mengatakan jika pembebasan Ba'asyir benar-benar karena alasan kemanusiaan, ada sederet kasus lain yang juga dinilai butuh pertimbangan kemanusiaan. Salah satunya, kasus seorang guru honorer Baiq Nuril  yang divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.

Guru honorer SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat itu divonis bersalah atas pelanggaran undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada November 2018 karena menyebarkan rekaman telepon berisi percakapan cabul atasannya. Dia dipidana hukuman penjara selama enam bulan dan denda senilai Rp500 juta.

ICJR menilai kasus tersebut merupakan kriminalisasi yang rentan membrangus kebebasan berekspresi dan berpendapat sekaligus perlindungan hak korban pelecehan seksual di Indonesia. "Seharusnya, presiden harus memberikan amnesti dengan nilai kemanusiaan yang dianutnya," ujar Anggara.

Baca Juga: Jokowi akan Bebaskan Ba'asyir, Moeldoko Jamin Pengawasan Tidak Kendor

3. Kasus Meiliana juga perlu pertimbangan kemanusiaan

Ba'asyir Bebas karena Kemanusiaan, Baiq Nuril dan Meiliana pun BisaANTARA FOTO/Irsan Mulyadi

Masih dengan alasan kemanusiaan, ICJR menilai Meiliana yang dipidana karena memprotes volume suara azan di dekat rumahnya, harus dibebaskan. Meiliana divonis bersalah atas penistaan agama pada Agustus 2018 dan harus menerima hukuman penjara dua tahun. Hakim menilai dirinya terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 a KUHP. 

ICJR menilai hukuman bagi Meiliana merupakan praktik penegakkan hukum yang diskriminatif dalam Pasal 156a KUHP.  Anggara pun berharap presiden bisa menginisiasi perubahan rumusan pasal tersebut.

“Dengan nilai kemanusiaan yang dianutnya, presiden harus menginisiasi perubahan pada rumusan pasal karet tentang penodaan agama yang diskriminatif terhadap kelompok agama minoritas,” jelas Anggara melalui keterangan tertulis.

4. Jokowi juga harus pertimbangkan grasi pada terpidana mati kasus narkotika

Ba'asyir Bebas karena Kemanusiaan, Baiq Nuril dan Meiliana pun BisaANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/foc.

Lebih lanjut Anggara juga mengungkapkan, jika presiden bisa mempertimbangkan pembebasan bagi terpidana terorisme, presiden juga harus membertimbangkan grasi untuk terpidana mati kasus narkotika.

Ia mengatakan selama ini Jokowi telah jelas-jelas  menolak seluruh permohonan grasi yang diajukan pada 2016 dan 2017 untuk terpidana mati kasus narkotika.

Padahal, Putusan MK No. 56/PUU-XIII/2015, MK mengisyaratkan bahwa dalam hal mengeluarkan grasi, presiden terikat pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU Grasiyang menyebutkan bahwa pertimbangan yang diberikan oleh presiden adalah pertimbangan yang layak, dengan melakukan pemeriksaan secara mendalam, tidak secara buta menolak permohonan kasus tertentu secara umum.

“Secara filosofis, grasi memang lebih bersifat kemanusiaan karena merupakan bentuk belas kasih atau pengampunan yang diberikan Kepala Negara kepada seorang terpidana. Sehingga, pertimbangan pada faktor kemanusiaan yang sangat bersifat individual dan subjektif harus dilakukan, tidak dapat diletakkan dalam konsep pukul rata seperti pada terpidana khusus kasus narkotika yang diterapkan presiden,”  ungkapnya.

5. ICJR menilai Jokowi seharusnya juga mengubah pemidanaan 51 orang terpidana mati dengan masa tunggu di atas 10 tahun

Ba'asyir Bebas karena Kemanusiaan, Baiq Nuril dan Meiliana pun BisaIDN Times/Teatrika Handiko Putri

ICJR menyebutkan bahwa Jokowi telah menghadirkan ‘Indonesian way’ dalam Rancangan KUHP, dengan mengatur bahwa pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Dengan mekanisme ini Pemerintah merekomendasikan pidana mati dapat diubah lewat keputusan presiden, jika selama 10 tahun terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji dan tidak ada. Pidana mati juga secara otomatis diubah oleh keputusan presiden jika 10 tahun sejak grasi ditolak, tidak dilakukan eksekusi.

Berdasarkan data yang diolah ICJR dari Dirjen Pemasyarakatan, pada Oktober 2018, terdapat 219 orang dalam daftar tunggu pidana mati, dengan hitungan masa tunggu sampai dengan 1 Desember 2018. Di antaranya, sebanyak 51 orang dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun tanpa kejelasan. Bahkan, 21 orang di antaranya telah masuk ke dalam daftar tunggu pidana mati lebih dari 15 tahun.

Hal tersebut, kata Anggara, tentunya telah memengaruhi kondisi psikologis mereka. Dia mengatakan jika presiden menghormati nilai kemanusiaan, presiden harus mengubah pidana mati ke-51 orang tersebut menjadi pidana seumur hidup atau pidana maksimal 20 tahun penjara.

"Karena masukkan seseorang dalam daftar tunggu pidana mati terlalu lama dengan ketidakpastian merupakan bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari negara,” ungkap Anggara.

Baca Juga: Kenapa Jokowi Pilih Datangi Pasantren di Garut? 

Topik:

  • Anata Siregar
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya