6 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tolak RUU PSDN

Sukarela tapi bisa kena sanksi pidana

Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (RUU PSDN) oleh DPR RI hari ini, Kamis (26/9). Mereka khawatir adanya dampak negatif yang berpotensi mengabaikan perlindungan dan penghormatan hak konstitusional warga negara.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi terdiri dari Imparsial, KontraS, Elsam, Setara Institute, Indonesian Legal Roundtable (ILR), LBH Pers, HRWG, Institut Demokrasi, dan Keamanan Indonesia.

RUU PSDN merupakan usulan inisiatif pemerintah, yang pembahasannya didasarkan pada Surat Presiden kepada Komisi I DPR RI tertanggal 17 Juli 2019.

"Koalisi menilai RUU PSDN bukan hanya tidak urgen untuk dibahas pada saat ini, tapi juga mengancam penghormatan dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Jika disahkan menjadi undang-undang, RUU ini bukannya memperkuat sektor pertahanan, sebaliknya malah akan memunculkan masalah-masalah baru," kata Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri melalui keterangan tertulis, Kamis (26/9).

Hal itu, kata Gufron, dapat dilihat dari draf RUU PSDN yang memiliki sejumlah permasalahan yang sangat prinsipil. Khususnya yang mengatur ruang lingkup, pengaturan komponen cadangan berbasis manusia, dan sumber daya--baik alam maupun buatan, prinsip kesukarelaan, pengelolaan anggaran, serta ancaman pemidanaan. 

Koalisi mencatat ada enam permasalahan dalam RUU PSDN yang kini telah disahkan dalam rapat paripurna DPR hari ini.  

Baca Juga: Bahas RUU Perkoperasian, F-PKS Ngotot RUU KUHP Disahkan Periode Ini

1. Masyarakat wajib militer?

6 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tolak RUU PSDNunsplash.com/Chuanchai Pundej

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi mengkritik ruang lingkup pengaturan RUU PSDN terlalu luas. Pasal 4 ayat (2) dan (3) menyatakan Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) disiapkan untuk menghadapi ancaman militer, ancaman non-militer, dan hibrida.

"Dengan luasnya ruang lingkup tersebut, komponen cadangan (masyarakat) yang telah disiapkan dan dibentuk oleh pemerintah, dapat digunakan untuk menghadapi ancaman keamanan dalam negeri, seperti dalih untuk menghadapi ancaman bahaya komunisme dan terorisme yang berpotensi menimbulkan terjadinya konflik horisontal di masyarakat," kata Gufron. 

Menurut dia, pembentukan dan penggunaan komponen cadangan seharusnya diorientasikan untuk mendukung komponen utama, yakni TNI dalam upaya menghadapi ancaman militer dari luar.

Selain itu, kata Gufron, luasnya ruang lingkup tersebut juga dapat dilihat dari RUU PSDN yang berupaya menggabungkan tiga regulasi sekaligus (Pasal 5 ayat (1)), yang semestinya secara terpisah dalam undang-undang yang berbeda. 

"Yakni pembentukan komponen cadangan dan pendukung yang merupakan amanat Pasal 8 ayat 3 UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, pengaturan bela negara (Pasal 9 ayat (3) Undang-undang No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara), dan pengaturan mobilisasi dan demobilisasi yang semestinya merupakan revisi terhadap Undang-Undang No 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi," jelas dia. 

2. Pelatihan dasar militer menjadi wajib dilakukan?

6 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tolak RUU PSDNIDN Times/Rangga Erfizal

Masalah kedua yang menjadi sorotan koalisi, kata Gufron, adalah inkonsistensi narasi bela negara. Meski narasi yang disampaikan pada publik menyebutkan bela negara bukan wajib militer, RUU PSDN secara eksplisit menyatakan wajib militer menjadi salah satu bentuk bela negara (Pasal 6 ayat (2)).

"Pada ayat (2)-nya disebutkan bahwa pelatihan dasar kemiliteran secara wajib menjadi satu dari empat bentuk keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara," ucap dia.  

3. Sukarela tapi jika tidak melaksanakan bisa kena sanksi pidana

6 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tolak RUU PSDNIDN Times/Sukma Shakti

Koalisi juga menyoroti RUU PSDN tidak mengadopsi prinsip dan norma hak asasi manusia (HAM) secara penuh. Hal dilihat dari pemahaman RUU ini terhadap prinsip kesukarelaan dalam pembentukan komponen cadangan.

"Dalam RUU tersebut, Pasal 51-56, meski menyatakan bahwa bagi pendaftaran komponen cadangan oleh warga negara bersifat sukarela, akan tetapi hal yang sama tidak diberlakukan kepada komponen cadangan di luar manusia, yang berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan," kata dia. 

Gufron mengatakan, prinsip kesukarelaan haruslah dipandang secara luas, tidak hanya sebatas pada pilihan-pilihan absolut. Dalam hal ini, ketika warga negara mendaftar secara sukarela dan terikat selamanya tanpa ada peluang untuk mengubah pilihannya.

"Sebaliknya RUU ini justru mengancam dengan sanksi pidana terhadap anggota komponen cadangan untuk menolak panggilan mobilisasi berdasarkan kepercayaan dan keyakinannya," kata dia. 

Selain itu, tidak ada pasal yang mengatur pengecualian bagi mereka yang menolak penugasan militer, karena hal tersebut bertentangan dengan kepercayaannya dianggap pelanggaran Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 18, yang melindungi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama.

"Hal ini telah ditekankan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB dalam Komentar Umum Nomor 22, dan pendapat-pendapat lainnya yang dibuat untuk menanggapi prosedur petisi maupun laporan penerapan Kovenan yang diserahkan oleh negara. Sebagai negara pihak Kovenan tersebut, Indonesia wajib memastikan adanya pasal yang mengatur pengecualian tersebut," kata Gufron. 

Masih dalam pasal yang sama, koalisi juga mengkritik prinsip kesukarelaan sama sekali dikesampingkan dalam RUU PSDN. Misalnya soal sumber daya di luar manusia tersebut dimiliki atau dikelola oleh warga negara atau sektor swasta. Serta yang juga tidak kalah penting perlindungan properti yang telah ditetapkan sebagai komponen cadangan.

"Padahal kerangka pengaturan komponen cadangan untuk sumber daya alam, sumber daya buatan serta sarana dan prasarana harus menjamin penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia," kata Gufron.  

4. RUU PSDN menyalahi aturan pembiayaan secara terpusat karena sulit dikontrol

6 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tolak RUU PSDNIDN Times/Arief Rahmat

Koalisi juga mengkritik Pasal 75 huruf b dan c, yang menyebutkan pembiayaan PSDN melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber lain yang sah serta tidak mengikat di samping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Pasal itu, kata Gufron, dinilai menyalahi prinsip sentralisme pembiayaan anggaran pertahanan negara. Pasal 25 ayat (1) UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, menegaskan pemenuhan kebutuhan anggaran pertahanan negara harus dilakukan secara terpusat.

Sementara pada Pasal 25 ayat (2) dinyatakan keterpusatan anggaran pertahanan itu tidak hanya ditujukan untuk membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan TNI, tetapi juga komponen pertahanan lainnya.

"Pemusatan anggaran merupakan mekanisme kontrol terhadap sektor keamanan, tidak hanya untuk mengawasi efektivitas penggunaan anggaran, namun juga kontrol terhadap TNI," ujar Gufron.

Jika pembiayaan pertahanan dari APBD dan sumber lainnya diakomodasi dalam RUU ini, kata dia, dapat menimbulkan masalah serius, karena sulit dikontrol keberadaannya yang tidak tergantung pada anggaran APBN.

"Selain itu, hal tersebut akan juga memperumit proses pertanggungjawaban sehingga membuka peluang terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan," jelas Gufron. 

5. Ancaman hukuman militer bagi masyarakat yang wajib militer

6 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tolak RUU PSDNIDN Times/Rangga Erfizal

Masalah kelima yang menjadi sorotan koalisi, kata Gufron, terdapat dalam Pasal 46 yang menyebutkan bagi komponen cadangan selama masa aktif diberlakukan hukum militer.

"Di saat reformasi militer tersendat karena belum dituntaskannya kasus pelanggaran HAM masa lalu, serta ketidaktundukan militer terhadap peradilan umum, RUU PSDN justru mengatur bahwa dalam wajib militer komponen cadangan tunduk terhadap hukum militer. Padahal beberapa aturan perundang-undangan telah mengatur," kata dia. 

Sementara, Pasal 3 ayat (4) dari TAP MPR VII/2000 menyatakan prajurit tentara nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer, dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Dalam Pasal 65 ayat (2) UU No 34 Tahun 2004 juga berbunyi prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer, dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang. 

6. Potensi militerisasi pada masyarakat sipil

6 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tolak RUU PSDNIDN Times/Rangga Erfizal

Terakhir, koalisi mengkritik pendekatan RUU PSDN yang dianggap cenderung militeristik. Sehingga tidak bisa dihindari adanya dugaan upaya militerisasi sipil melalui program bela negara.

"Belum lagi konsepsi yang ditawarkan dalam program bela negara yang tidak cukup jelas. Misalnya, Pasal 7 ayat 3 poin e menyebutkan mempunyai kemampuan awal bela negara sebagai salah satu nilai dasar bela negara yang akan ditanamkan dalam pendidikan kewarganegaraan," kata Gufron. 

Koalisi menilai RUU PSDN mengedepankan romantisme lama, yaitu memandang tentara dan rakyat adalah satu kesatuan yang lebih dikenal dengan konsep manunggal. Hal tersebut terungkap dalam naskah akademik RUU PSDN (halaman 5), konsep tentara adalah rakyat dan rakyat adalah tentara merupakan konsep kesemestaan yang menjadi modal kekuatan pertahanan negara.

"Tentunya konsep tersebut telah terbukti menimbulkan potensi pelanggaran hukum humaniter internasional, khususnya prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip ini secara tegas membedakan penduduk dalam dua kategori yaitu kombatan atau petempur dengan penduduk sipil dalam situasi konflik bersenjata internasional," ujar Gufron. 

Karena itu, koalisi berpendapat, salah satu alasan diadopsinya UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, adalah koreksi terhadap praktik yang bertentangan dengan prinsip pembedaan, yang merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari kewajiban Internasional Indonesia, sebagai pihak dalam Konvensi Jenewa 1949.

7. Pemerintah dan DPR sebaiknya fokus melanjutkan pembahasan perubahan UU Peradilan Militer

6 Alasan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Tolak RUU PSDNIDN Times/Prayugo Utomo

Koalisi mendesak DPR dan pemerintah agar tidak memaksakan pengesahan RUU PSDN. RUU ini bukan hanya tidak urgen untuk dibentuk saat ini, tapi juga memiliki muatan sejumlah pasal yang bermasalah, yang mengancam kehidupan demokrasi dan hak asasi
manusia.

"Pembahasan RUU PSDN untuk konteks saat ini belum termasuk agenda prioritas, dan bahkan menunjukkan adanya ketidakteraturan dalam menentukan prioritas reformasi legislasi sektor
keamanan," kata Gufron.

Prioritas utama dalam reformasi sektor keamanan, menurut koalisi, justru melanjutkan kembali pembahasan perubahan terhadap UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang telah mengalami
stagnasi selama satu dekade.

"Karenanya, agenda seperti pembentukan komponen cadangan
dan pendukung baru dapat diwujudkan apabila penataan berkait dengan strategi, sistem dan komponen utama pertahanan telah selesai pengaturannya," kata Gufron.

Selain itu, koalisi juga mendesak pemerintah dan DPR sebaiknya fokus melanjutkan pembahasan perubahan UU Peradilan
Militer, karena akan memberikan kejelasan status dan kepastian hukum terhadap pelibatan warga sipil dalam pertahanan Negara.

Baca Juga: DPR Sahkan RUU PSDN: Sipil Wajib Bela Negara?

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya