“Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati,” Jalan Terjal Kasus HAM di Papua

Laporan lengkap Amnesty International

Jakarta, IDN Times - Irwan Wenda (21) berjalan meninggalkan rumahnya sekitar pukul 10.00 waktu setempat, tanggal 8 Agustus 2013. Pemuda Papua berkebutuhan khusus itu menuju Pasar Wouma, di dataran tinggi Wamena, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua.

Irwan memiliki keterbelakangan mental.

Dua orang anggota keluarganya berjalan mengikuti Irwan dan memintanya untuk pulang. Irwan menolak. Ia malah memungut sebatang tebu lalu menggunakannya untuk memukuli jendela toko-toko dan rumah-rumah di sepanjang jalan utama serta berusaha menghalang-halangi mobil yang lewat.

Setelah berjalan sekitar 500 meter, Irwan menghampiri kediaman seorang polisi. Dia dihadang oleh seorang polisi lain yang sedang tidak berdinas. Polisi ini baru saja selesai memimpin salat di masjid terdekat.

Dua orang keluarga Irwan masih mengikutinya dari belakang dengan jarak sekitar 10 meter.

Setelah bercakap-cakap, Irwan tiba-tiba memukul polisi itu dengan batang tebu yang ia bawa. Polisi itu serta merta masuk ke dalam rumahnya dan kembali menghampiri Irwan dengan membawa senapan. Tanpa peringatan, polisi itu menembak Irwan sebanyak tiga kali pada bagian kaki kiri, perut, dan kepala dari jarak sekitar 2 meter.

Itu adalah kisah awal Irwan yang termasuk salah satu dari 69 kasus pembunuhan dan impunitas yang terjadi di Papua. Amnesty International Indonesia memuat kisah Irwan dalam dalam laporan berjudul “’Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati': Pembunuhan dan Impunitas di Papua". Judul itu diambil dari kutipan pelaku yang membunuh seorang aktivis pemuda Wamena.

“Judul ini tidak merepresentasikan semua kasus, tapi setidaknya menggambarkan betapa orang dibunuh tidak mendapat penanganan yang layak. Laporan ini kami susun dari 2016 dan membatasi diri dari kasus pembunuhan di luar hukum. Kami tidak mengklaim laporan ini menggambarkan seluruh kasus di Papua karena ada banyak fenomena yang terjadi. Ada kompleksitas baru, konflik wilayah, korupsi, penyiksaan kalau bicara HAM,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International lndonesia, Usman Hamid, dalam peluncuran laporan tersebut di Hotel Alila, Jakarta, Senin (2/7/2018).

Laporan ini mendokumentasikan setidaknya 95 korban dalam 69 insiden pembunuhan di luar hukum antara Januari 2010 hingga Februari 2018.

1. Dari 69 kasus dugaan pembunuhan, 34 tersangka pelakunya dari kepolisian

“Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati,” Jalan Terjal Kasus HAM di PapuaIDN Times / Sukma Shakti

Selama dua dekade sejak Reformasi 1998 di Indonesia, Amnesty International kerap menerima laporan dugaan pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) oleh pasukan keamanan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Pembunuhan ini terjadi terutama dalam konteks penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau berlebihan terhadap aksi protes massa, selama operasi penegakan hukum atau karena motif personal aparat keamanan.

Amnesty International mencatat ada 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh pasukan keamanan--baik oleh Kepolisian, TNI, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP)--di Papua antara Januari 2010 sampai Februari 2018 dengan 95 korban jiwa.

Dari 69 kasus itu, sebanyak 34 kasus, para tersangka pelaku berasal dari kepolisian, 23 kasus pelaku berasal dari militer, dan 11 kasus gabungan TNI-Polri Selain itu, satu kasus tambahan juga melibatkan Satpol PP.

“Kalau kita teliti lebih jauh dalam 69 kasus mayoritas kasus tidak berhubungan dengan aktivitas politik. Sering kita dengar pemerintah dan aparat keamanan terpaksa melakukan kekerasan, melepaskan tembakan, menggunakan kekuatan demi menghadapi gerakan separatis. Demi menjaga kedaulatan NKRI,” kata Usman.

2. Buruknya penyelesaian kasus pembunuhan di luar hukum

“Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati,” Jalan Terjal Kasus HAM di PapuaIDN Times / Sukma Shakti

Negara memiliki kewajiban untuk menyelidiki pelanggaran HAM, terutama pelanggaran serius terhadap hak untuk hidup. Ketidakmampuan suatu negara untuk menyelidiki dugaan pembunuhan di luar hukum adalah suatu bentuk pelanggaran HAM yang terpisah.

Sistem akuntabilitas yang efektif diperlukan dalam menyelidiki pelanggaran HAM, meliputi: penyelidikan kriminal melalui mekanisme pengawasan eksternal yang independen; investigasi disiplin; proses hukum perdata atau administratif untuk pemulihan penuh yang mencakup rehabilitasi, ganti rugi, kompensasi, pelunasan, dan jaminan tidak akan ada perbuatan serupa di masa mendatang; serta peninjauan atas fungsi institusi.

Hasil penyelidikan harus transparan dan terbuka bagi para keluarga korban serta bagi masyarakat umum dan harus memberikan perhatian pada hak dan kebutuhan korban tindak kekerasan. Hak dan kebutuhan ini meliputi hak mengajukan keluhan, hak mendapat informasi mengenai kemajuan penyelidikan, hak menyebut saksi dan menanyainya, hak mendapatkan bantuan hukum dan psikologis, hak mendapat informasi mengenai hasil penyelidikan, hak perlindungan privasi, hak perlindungan dari ancaman dan intimidasi, serta hak reparasi sepenuhnya.

Amnesty International mencatat akuntabilitas penyelesaian kasus pembunuhan di luar hukum di Papua amat miris. Dari 69 kasus, 26 kasus diselidiki namun tidak diumumkan ke publik dan 25 kasus tidak diselidiki. [Lihat data selengkapnya di infografis di atas]

3. Keluarga ingin pelaku mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di pengadilan

“Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati,” Jalan Terjal Kasus HAM di PapuaIDN Times / Sukma Shakti

Pihak keluarga korban menyatakan pada Amnesty International bahwa mereka masih ingin melihat para pelaku mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di pengadilan. Pengadilan umum adalah bagian penting dari hak korban untuk mendapatkan pemulihan secara efektif. Salah satunya korban kasus Paniai yang mengeluhkan lamanya penyelesaian kasus oleh pemerintah.

Ada beberapa mekanisme ganti rugi terkait pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan di Papua. Namun, sistem pengadilan yang lemah dan penuh halangan serta kurangnya niatan untuk menciptakan mekanisme dan strategi yang efektif untuk menyelidiki dan menghukum pelaku tindak kejahatan di Papua dan di tempat-tempat lain di Indonesia akan membuat impunitas terus ada.

Pada tahun 2000, Pemerintah Indonesia membentuk mekanisme pengawasan eksternal sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM selain mekanisme internal polisi dan militer. Komnas HAM merupakan satu-satunya badan yang memiliki kewenangan untuk memulai dan melaksanakan penyelidikan pro justitia awal pada dugaan kasus pelanggaran HAM berat.

Namun, mekanisme ini memiliki keterbatasan yurisdiksi. UU Pengadilan HAM mendefinisikan "pelanggaran HAM berat" sebagai bentuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7). Definisi ini tidak membahas bentuk pelanggaran lain menurut hukum internasional, termasuk kejahatan perang, penyiksaan, eksekusi ekstra-yudisial, dan penghilangan paksa.

4. Ada satu kasus yang dibawa ke Pengadilan HAM

“Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati,” Jalan Terjal Kasus HAM di PapuaIlustrasi palu hakim (Pixabay)

Faktanya, ada satu kasus dari Papua yang telah dibawa ke Pengadilan Hak Asasi Manusia, yaitu kekerasan di Abepura.

Kasus ini bermula pada pagi hari 7 Desember 2000, polisi menggerebek beberapa asrama mahasiswa dan beberapa lokasi lainnya di Abepura yang terletak di pinggiran Kota Jayapura.

Penggerebekan ini adalah balasan atas penyerangan Polsek Abepura malam sebelumnya yang menewaskan dua anggota polisi dan seorang penjaga keamanan. Saat penggerebekan itu, polisi menembaki mahasiswa. Selain itu, aparat juga menendang dan memukuli para penghuni yang kebanyakan tengah terlelap.

Seorang mahasiswa ditembak mati, dua mahasiswa meninggal akibat dipukuli, dan sekitar 100 orang lainnya ditahan secara sewenang-wenang. Banyak dari tahanan ini mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya.

Pada bulan Januari 2001, Komnas HAM mengumumkan pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM bagi Papua (Irian Jaya) dengan tujuan menyelesaikan kasus ini di Pengadilan Hak Asasi Manusia sesuai UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pada September 2005, pengadilan menyatakan bahwa kasus Abepura bukanlah kasus kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga dirasa tidak perlu lagi untuk membuktikan dakwaan tanggung jawab komando.

Berdasarkan putusan ini, dua terdakwa yang merupakan perwira tinggi kepolisian dinyatakan bebas dari dakwaan pembunuhan dan tanggung jawab komando. Para korban juga tidak bisa memeroleh rehabilitasi dan kompensasi.

Para korban dan keluarga atau pengacaranya telah mengajukan keberatan mereka pada polisi melalui unit Propam atau pada atasan para terdakwa agar memeriksa apakah kasus mereka bisa diselidiki lebih lanjut. Baik Propam maupun atasan berhak menggelar pemeriksaan serta menjatuhkan hukuman.

UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Indonesia menyatakan bahwa polisi yang diduga melanggar hukum harus diadili di pengadilan umum. Lebih lanjut, Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Kepolisian menyatakan bahwa investigasi terhadap terduga pelaku tindak kriminal termasuk pada anggota polisi harus dilaksanakan dengan prosedur yang sama dengan prosedur pengadilan umum.

Prosedur ini harus diatur oleh prosedur KUHP di mana polisi memiliki tanggung jawab utama atas penangkapan, penahanan, dan penyelidikan terhadap terdakwa pelaku tindak kriminal.

Oknum kepolisian diduga terlibat dalam 45 kasus dari 69 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum yang dicatat oleh Amnesty International.

Dari 45 kasus tersebut, hanya enam kasus yang mendapatkan diselesaikan melalui mekanisme akuntabilitas internal kepolisian dan kemudian hasilnya diumumkan ke masyarakat.

Salah satu kasus yang dipublikasikan adalah setelah insiden Kongres Rakyat Papua III di Abepura pada bulan Oktober 2011 yang mengakibatkan terbunuhnya tiga orang warga, Polda Papua menggelar empat sidang disiplin internal.

Pada bulan November 2011, satu sidang disiplin memutuskan mantan Kapolres Jayapura bersalah melanggar Aturan Disiplin karena “ketidakmampuannya untuk mengkoordinasi para petugas yang ia bawahi”.

Ironinya, sang Kapolres ternyata dimutasi menjadi Wakil Direktur Lalulintas Polda Papua. 

Dalam sidang disiplin terpisah, 17 orang polisi, termasuk dua orang anggota Brimob, dinyatakan bersalah karena melanggar Aturan Disiplin. Sebanyak 15 orang di antaranya menerima peringatan tertulis sedangkan dua yang lain menerima hukuman penjara selama 14 hari. Tidak ada proses hukum atas pelanggaran yang mereka lakukan.

Menurut Kapolda Papua pada saat itu, dua orang polisi berpangkat rendah dari Polres Paniai mendapatkan hukuman 21 hari penjara pada saat sidang disiplin karena terbukti mengeluarkan tembakan peringatan ke udara saat menangani pengunjuk rasa pada 8 Desember 2014. Tidak ada proses hukum atas pelanggaran yang mereka lakukan.

5. Jawaban Mabes Polri atas temuan Amnesty International soal Impunitas di Papua

“Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati,” Jalan Terjal Kasus HAM di PapuaIlustrasi polisi (ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin)

Pihak kepolisian bisa jadi telah mengumumkan hasil atau temuan investigasi internal mereka pada media. Namun, mereka tidak memberikan laporan tertulis investigasi tersebut dan juga dinilai tidak menjelaskan bentuk-bentuk pelanggaran serta peraturan mana saja yang telah dilanggar.

Di tempat terpisah, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Polisi Setyo Wasisto membantah kritikan Amnesty International tersebut. Setyo juga menyoroti banyak anggota polisi di Papua yang juga merupakan warga asli Papua.

Menurutnya, Amnesty International harus bersikap objektif dengan menghitung pula berapa aparat yang tewas. Setyo mengatakan, polisi punya tugas berdasarkan hukum dan standar operasional prosedur (SOP) yang jelas yakni melindungi harta dan jiwa masyarakat.

"Oleh sebab itu ketika ada ancaman yang terjadi kepada masyarakat, tidak harus kepada polisi, misalnya ada masyarakat yang terancam kalau polisi tidak bertindak dia meninggal, itu polisi harus bertindak. Apakah dia hanya melihat aktivis saja? Masyarakat yang lain bagaimana? Polisi yang di sana bagaimana, apakah polisi bukan manusia? TNI bukan manusia? Yang fair dong," kata Setyo di Markas Besar Polri, Jakarta, Senin (2/7/2018).

Begitu juga dalam penyelesaian secara militer. Menurut UU Militer Indonesia, seorang tentara hanya bisa diadili oleh pengadilan militer meski ia melakukan tindak pidana, termasuk di antaranya pelanggaran HAM.

Saat kampanye presiden, Joko “Jokowi” Widodo berjanji bahwa “pelanggaran HAM berat” di masa lalu di Indonesia akan akan diselesaikan melalui mekanisme peradilan. Ia berjanji untuk “mengakhiri segala bentuk impunitas” di Indonesia, termasuk dengan merevisi UU Pengadilan Militer yang kerap digunakan untuk melindungi aparat keamanan dari tuduhan pelanggaran HAM.

Nyatanya, pemerintah dan parlemen tidak memasukkan rancangan amandemen ke dalam prioritas program kerja DPR periode 2015 – 2019.

6. Bagaimana penanganan kasus pelanggaran HAM di era Presiden Jokowi?

“Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati,” Jalan Terjal Kasus HAM di PapuaANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Dari 69 kasus, 39 kasus pembunuhan di luar hukum terjadi pada masa pemerintahan Presiden Jokowi ( terhitung sejak 2014). Usman Hamid menolak membandingkan jumlah kasus yang terjadi pada suatu masa pemerintahan.

“Kita tidak sedang membandingkan kasus pembunuhan di luar hukum di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi. Kalau mau lebih adil penelitian di era SBY penuh waktu sejak 2004-2014,” ujarnya.

Meski enggan membandingkan, Usman menyebut ada pengaruh pergantian menteri di masa pemerintahan Jokowi. Mulai dari pergantian Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Tedjo Edhy Purdijatno ke Luhut Binsar Panjaitan dan yang sekarang Wiranto.

“Saya percaya itu (berpengaruh), kelihatan awal Menkopolhukam dipegang Pak Tedjo tidak banyak perhatian soal HAM, Pak Luhut ada kemajuan HAM. Mulai dari kunjungan Menkopolhukam ke Papua dampingi Pak Jokowi kemudian membebaskan tahanan politik, membuka restriksi kebebasan pers, membentuk tim terpadu, coba tangani 11 kasus pelanggaran HAM di akhir 2016. Pergantian ke Wiranto kasus mengendap, tak ada lagi kemajuan, yang ada dewan kerukunan nasional yang menurut Menkopolhukam digunakan untuk selesaikan HAM di Papua, menurut kami keluar dari kerangka hukum dan undang-undang, keluar dari janji sebelumnya untuk bawa ke Pengadilan HAM,” katanya.

Meski demikian, dalam laporannya, Amnesty International mencatat sejumlah kemajuan upaya penyelesaian masalah HAM di Papua di era Jokowi. Seperti pembangunan jalan-jalan dan pasar baru serta peningkatan akses pendidikan di Papua oleh para pengamat dilihat sebagai upaya mengurangi keinginan warga setempat untuk merdeka. Pejabat Indonesia menyampaikan pada Amnesty International bahwa Presiden Jokowi memprioritaskan penggunaan pendekatan kesejahteraan daripada pendekatan keamanan.

Presiden Jokowi disebut juga akan menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu di Papua seperti kasus Wasior pada tahun 2001 dan kasus Wamena pada tahun 2003.

Pada Mei 2015, Presiden Jokowi menarik aturan yang melarang jurnalis asing mengunjungi Papua, meski dalam pelaksanaannya para jurnalis asing ini tetap memerlukan izin khusus dan terus diawasi.

Pada Mei 2015, Presiden Jokowi juga memberikan grasi pada lima orang aktivis politik Papua dan juga berjanji untuk memberikan grasi dan amnesti pada para aktivis Papua lainnya.

Pada November 2015, tahanan nurani Filep Karma dibebaskan setelah ditahan lebih dari satu dasawarsa karena melakukan unjuk rasa politik secara damai dan berbagai aktivitas politik lainnya.

Pemerintah Indonesia membentuk satu tim yang terdiri dari pejabat pemerintahan, ahli hukum, Komisioner Komnas HAM, dan para aktivis Papua untuk menangani pelanggaran HAM di Papua. Tim ini menyelidiki 64 kasus dan menemukan 12 kasus pelanggaran HAM serta memberikan rekomendasi pada pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut.

7. Pelibatan tokoh Papua dalam penanganan HAM

“Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati,” Jalan Terjal Kasus HAM di PapuaIDN Times/Helmi Shemi

Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Sylvana Apituley yang hadir dalam acara peluncuran laporan tersebut mengklaim dalam waktu yang pendek, pemerintahan Jokowi bekerja keras dan berusaha merespons seinklusif mungkin dengan cara memanggil beberapa tokoh-tokoh Papua.

“Ada 4 prinsip yang disampaikan Jokowi dalam rapat kabinet soal Papua. Ini cara baru yang sebelumnya belum pernah ada," kata Sylvana. Pertama, Jokowi mau para pembantunya mendengarkan suara orang Papua, terutama ketika pembangunan dilakukan.

Kedua, pemerintah menggunakan pendekatan budaya dan antropologi. " Ini saya kira salah satu kunci untuk memahami persoalan Papua dan jati diri orang Papua," imbuhnya.

Ketiga, menemani dan memberdayakan pemerintah daerah (pemda). Pemda punya tanggung jawab yang harusnya bisa dilakukan bersama pemerintah pusat. 

Terakhir, Jokowi minta pembantunya fokus di daerah 3T, tertinggal, terisolir, terluar. Maksudnya, selama ini pemerintah bekerja di kota besar saja, padahal 90 persen orang Papua adanya di wilayah-wilayah itu. "Ketimpangan yang terjadi selama puluhan tahun tidak bisa diselesaikan dengan cepat, tapi yang jelas ada komitmen kuat menyelesaikan ini,” papar Sylvana.

Pun juga saat Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review atau UPR) di Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Mei 2017, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berjanji bahwa Kejaksaan Agung akan menyelesaikan penyelidikan tindak pelanggaran HAM berat di Wasior dan Wamena, serta akan mengajukan kasus ini ke Pengadilan HAM.

Sayangnya, semuanya tinggal janji. Tidak ada kemajuan sedikitpun dalam penyelidikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

8. Kinerja aparat hukum termasuk Kejaksaan dipertanyakan

“Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati,” Jalan Terjal Kasus HAM di PapuaUsman Hamid (IDN Times/Helmi Shemi)

Pelanggaran HAM di Papua, khususnya pembunuhan di luar hukum, adalah masalah yang sudah lama terjadi dan masih belum selesai. Sylvana menambahkan bahwa meski penyelesaian pembunuhan di luar hukum di Papua ini lambat, setidaknya ada kemajuan.

“Intinya, penyelesaian pelanggaran HAM ada progres, biar lambat tapi pasti. Karena masalah besar, panjang, kompleks dan saling mengunci sehingga tidak bisa cepat. Yang penting komitmen dan konsistensi,” imbuhnya.

Meski Sylvana menyebut Presiden Jokowi telah melakukan sejumlah langkah--termasuk pembangunan infrastruktur, pasar dan pendidikan--Usman tidak sependapat dan mengatakan hal itu belum cukup.

“Beberapa pejabat pemerintah sering mengatakan persoalan HAM di Papua itu yang penting adalah hak ekonomi, sosial, budaya, bukan hak sipil dan politik. Saya katakan keduanya sama bermasalah," tegas Usman.

Dia lantas memberi contoh penembakan buruh Freeport. "Itu tidak bisa dilihat ekspresi politik warga lalu disikapi dengan represi yang kemudian berujung pelanggaran HAM. Tapi juga berhubungan dengan hak ekonomi mereka sebagai buruh,” kata Usman.

Usman juga menyoroti penghalang tegaknya keadilan adalah bahwa dalam pelaksanaannya banyak kasus yang diselidiki oleh Komnas HAM kemudian tidak diselidiki lebih lanjut oleh Kejaksaan Agung atau tidak diproses di pengadilan sehingga tak ada pihak yang dinyatakan bertanggung jawab atas kasus pembunuhan di luar hukum. Para pelaku masih bisa bebas berkeliaran sedangkan pihak korban merasa tidak mendapat keadilan.

“Komnas HAM merampungkan penyelidikan dalam kasus Wamena, Wasior sudah diserahkan ke Jaksa Agung. Tapi Jaksa Agung tidak juga menindaklanjuti. Kompolnas juga sampaikan ke kepolisian hanya enam kasus yang maju ke mekanisme disiplin internal kepolisian. Kami merasa kedua lembaga ini mungkin perlu ditinjau ulang mandatnya sehingga punya kewenangan lebih untuk memastikan hasil penyelidikannya itu mengikat lembaga lain dalam hal ini Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti. Itu yang kami sebut sebagai mekanisme independen,” jelas Usman.

Di lain pihak, Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al-Rahab mengaku telah berkomunikasi dengan Kapolda Papua Irjen Pol Boy Rafli Amar, namun Amir menyebut Pilkada sebagai alasan kasus ini berjalan lambat. Amir juga mengaku mencoba berbicara dengan Jaksa Agung untuk penentuan langkah selanjutnya.

Peristiwa sudah 15 tahun, saya baru di Komnas HAM saat ini. Sekarang bisa nanya ke Jaksa Agung, apa kendalanya? Misal bukti masih kurang. Kami bicarakan bukti seperti apa lagi yang dimau. Orang penyidik Kejaksaan mengatakan bukti yang telah di kumpulkan Komnas HAM dianggap tidak sah. Nanti jadi masalah. Atau bukti tidak cukup,” jelasnya.

Jika Komnas HAM mendapat dukungan dari berbagai pihak terkait, baik daerah dan nasional memiliki komitmen yang sama dalam soal menyelesaikan ini, Amir yakin kasus tersebut bisa selesai. "Masalahnya kadang-kadang ada ketidakkonsistenan. Konsistensi dari intansi lain juga penting, kenapa? Kalau Komnas HAM semangat, kan macet juga (kalau instansi lain tidak),” kata Amir.

9. Amnesty International sulit menemui Kapolri dan Panglima TNI

“Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati,” Jalan Terjal Kasus HAM di PapuaKapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (kanan) didampingi Wakapolri Komjen Pol Syafruddin (kiri) (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Amnesty International sudah melakukan berbagai cara untuk memperjuangkan kasus pembunuhan di luar hukum ini. Mulai dari mengadakan pertemuan dengan TNI, Polri, hingga meminta pemerintah membaca laporan ini. Usman Hamid menyayangkan ia belum dapat bertemu dengan Kapolri dan Panglima TNI.

Pada Mei 2018, Amnesty International Indonesia sudah bertemu Sekretaris Jenderal (Sesjen) Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Doni Monardo. Dalam pertemuan itu, Doni menyatakan banyaknya usaha mengubah paradigma dalam militer dalam menangani masalah di Papua.

"Panglima TNI kami sangat berharap tapi belum berhasil lakukan pertemuan. Dengan Kapolri hanya lewat telepon, komunikasi tentang masalah ini, sebelum laporan jadi saya juga sempat sampaikan langsung ke Pak Tito tentang laporan ini. Pak Tito menyampaikan bersedia sekali untuk diskusi, Pak Tito pernah undang kami untuk diskusi Mei, pertemuan dibatalkan. Tapi komunikasi kami dengan Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar berjalan baik. Pak Boy kirimkan berkas penyelesaian internal disiplin kepolisian dalam kasus kematian yang meibatkan aparat,” jelas Usman.

Usman juga mengaku melakukan sejumlah pertemuan dan presentasi kepada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari dan, Kantor Staf Presiden V, Dirjan HAM hingga Menkumham Yasonna Laoly.

“Respons mereka umumnya sangat positif, mereka sayangkan adanya pembunuhan-pembunuhan di luar hukum, dan mereka tetap nyatakan komitmen penyelesaian kasus pembunuhan di luar hukum di Papua. Yang mereka sebut, antara lain kasus Paniai, kasus Wamena, Wasior, keduanya yang dijanjikan pemerintah indonesia di depan Dewan HAM PBB, dan Paniai dijanjikan langsung Presiden,” ujarnya.

Jalan bagi warga Papua untuk mendapatkan keadilan atas serangkaian pelanggaran HAM masih terjal. Bagaimana pula nasib mereka saat para petinggi negeri dan politisi sibuk merenggut dan mempertahankan kekuasaan?  

Topik:

  • Ita Lismawati F Malau

Berita Terkini Lainnya