Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

ICW Laporkan 3 Jaksa Penyidik Kasus Pinangki ke Komjak, Kenapa?

Pinangki Sirna Malasari, mengikuti sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (23/9/2020) (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Jakarta, IDN Times - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengatakan, pihaknya melaporkan jaksa penyidik yang menangani kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari, ke Komisi Kejaksaan (Komjak). Mereka berinisial SA, WT, dan IP.

"Karena diduga melakukan pelanggaran kode etik saat menyidik perkara tersebut. Pelaporan dilakukan pukul 12.00 WIB dan diterima oleh Ketua Komisi Kejaksaan, Barita Simanjuntak," kata Kurnia dalam konferensi pers virtual dalam laman Facebook Sahabat ICW, Rabu (14/10/2020)

1. Penyidik diduga tidak menggali kebenaran dari keterangan Pinangki

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana (ANTARA News/Fathur Rochman)

Kurnia mengungkapkan beberapa hal yang menjadi dasar pelaporan tersebut. Pertama, penyidik diduga tidak menggali kebenaran materiil berdasarkan keterangan dari Pinangki. Kurnia menjelaskan, pada 12 November 2019 ada pertemuan di kantor Joko Soegiarto Tjandra yang dihadiri oleh Pinangki dan Rahmat.

Saat itu, berdasarkan pengakuan Pinangki, Joko Tjandra percaya begitu saja terhadap jaksa yang hanya mengemban jabatan sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung, untuk mengurus permohonan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung).

"Kalau teman-teman lihat dalam dakwaan Pinangki, disebutkan Joko Tjandra hanya melihat foto Pinangki menggunakan seragam jaksa, maka dari itu Joko Tjandra percaya. Itu menurut kami kejanggalan yang cukup serius dalam konteks menggali kebenaran materiil," jelasnya.

2. Fatwa MA hanya bisa diajukan oleh lembaga negara

Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Ali Mukartono (tengah) memberikan keterangan pers di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (8/9/2020) (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Kurnia melanjutkan, secara kasat mata, tidak mungkin buronan kelas kakap yang melarikan diri selama 11 tahun itu, bisa langsung percaya dengan seorang jaksa yang tidak mengemban jabatan penting di Kejagung. Permohonan fatwa, kata Kurnia, tidak bisa diajukan oleh individu masyarakat, melainkan lembaga negara.

"Fatwa itu harus ada persetujuan dari pimpinan instansi terkait, dalam hal ini adalah Jaksa Agung. Itu juga tidak digali oleh para penyidik di Kejaksaan Agung," ucapnya.

Selain itu, para penyidik diduga tidak menindaklanjuti hasil pemeriksaan bidang pengawasan di Kejaksaan Agung. Di mana, berdasarkan pemberitaan media massa, Pinangki memberitahukan kepada atasannya terkait pertemuannya dengan Joko Tjandra.

"Kita tidak melihat ada upaya dari penyidik ketika perkara ini awalnya di Jaksa Muda Agung Pengawasan, berpindah ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Tidak ada pendalaman dari temuan Jaksa Agung Muda Pengawasan, terkesan penyidik hanya menyandarkan bukti atau keterangan hanya dari pengakuan dari Pinangki," katanya.

3. Penyidik diduga tak mendalami pihak lain yang terlibat kasus Pinangki

Pinangki Sirna Malasari mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (30/9/2020) (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Kurnia berujar, jaksa penyidik diduga tidak mendalami peran pihak-pihak yang selama ini sempat diisukan dalam kasus Pinangki.

"Misalnya pertama tadi saya sudah sampaikan atasan Pinangki, atasan bagian mana itu harus dijelaskan oleh penyidik. Apakah atasan hierarki di internal Kejaksaaan Agung Muda Bidang Pembinaan? Atau mungkin atasan paling tingginya yaitu Jaksa Agung?" ujarnya.

Terkait permohonan fatwa, Kurnia mempertanyakan apakah penyidik pernah mencari tahu siapa oknum intenal MA yang bekerja sama dengan Pinangki, Anita Kolopaking maupun Andi Irfan Jaya.

"Itu kan tidak pernah kita lihat. Jadi semacam ada hal yang putus dari pemeriksaan di Jaksa Agung Muda Pengawasan sampai pada hal-hal yang tertulis dalam surat dakwaan," katanya.

Selain itu, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman, sempat membeberkan percakapan Pinangki dengan Anita Kolopaking, seperti 'Bapakmu' dan 'Bapakku'.

"Itu kan belum didalami oleh Kejaksaan Agung. Bahkan, sampai kelompok tersebut melaporkan hal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dapat didalami lebih lanjut," kata Kurnia.

4. Kejagung diduga tidak berkoordinasi dengan KPK

Ilustrasi gedung KPK (IDN Times/Vanny El Rahman)

Kurnia menuturkan, penyidik atau Kejagung sendiri diduga tidak berkoordinasi dengan KPK, pada saat proses pelimpahan perkara ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Berdasarkan Pasal 6 huruf D juncto Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019, KPK berwenang melakukan supervisi terhadap penanganan tindak pidana korupsi pada lembaga penegak hukum lain.

Pada 4 September 2020, KPK resmi menerbitkan surat perintah supervisi terkait kasus Pinangki. Bahkan, gelar perkara dilaksanakan di Kejagung dan KPK.

"Pertanyaan lebih lanjut pasca-gelar perkara tersebut, ketika ada niat untuk melimpahkan perkara atau istilah Kejaksaannya P21 ke Pengadilan Tipikor, apakah pernah ada koordinasi dengan KPK?" tuturnya.

"Bahkan, ICW sudah menyuarakan bahwa perkara ini lebih baik ditangani oleh KPK, tetapi sudah terlambat. Karena, perkara sudah masuk di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi," sambungnya.

Dalam laporannya, ketiga jaksa penyidik itu diduga melanggar Pasal 5 huruf A Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Tahun 2012, tentang Kode Perilaku Jaksa.

"Kalau memang ditemukan adanya pelanggaran kode etik, maka kami mendesak agar Komisi Kejaksaan segera mengambil tindakan untuk merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung, agar terlapor dijatuhi hukuman sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia," ujarnya.

Share
Topics
Editorial Team
Axel Joshua Harianja
EditorAxel Joshua Harianja
Follow Us