Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di Tahun 2018 Hanya Naik Satu Poin

(Pemaparan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia di tahun 2018) IDN Times/Santi Dewi

Jakarta, IDN Times - Upaya pemberantasan korupsi mendapat sedikit angin segar di awal tahun 2019. Berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh organisasi Transparency International Indonesia (TII) pada Selasa (29/1), indeks persepsi korupsi Indonesia mengalami kenaikan di tahun 2018. Apabila semula di tahun 2017, IPK Indonesia ada di angka 37, maka tahun ini mengalami kenaikan walau hanya satu poin menjadi 38. 

Namun, apabila ditilik dari peringkat, Indonesia mengalami kenaikan sebanyak 7 angka, dari semula peringkat 96 kemudian menjadi 89. Menurut Manajer Departemen Riset TII, Wawan Suyatmiko, angka 0 dipersepsikan negara yang bersangkutan paling korup. Sedangkan, angka 100 menggambarkan negara tersebut bersih dari korupsi. 

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di peringkat keempat negara dilihat dari tingkat korupsinya. Tiga negara yang ada di atas Indonesia yaitu Malaysia dengan skor IPK 47, Brunei Darussalam dengan skor 62 dan Singapura dengan skor IPK 84. Kalian bisa melihat gap tingkat korupsi antara Indonesia dengan Negeri Singa begitu jauh. 

Wawan mengatakan definisi korupsi yang digunakan yaitu penyalahgunaan kewenangan untuk kepentingan pribadi. 

"Persepsi diambil dari sejumlah wawancara terhadap pakar dan pebisnis yang dikumpulkan dalam 13 indeks pemerintahan yang sudah dikeluarkan oleh 12 institusi global yang terpercaya," kata Wawan ketika memberikan pemaparan. 

Lalu, apa makna skor 38 bagi upaya pemberantasan korupsi Indonesia? Apakah KPK puas terhadap penilaian tersebut? Di sektor mana Indonesia harus berbenah supaya skor IPK bisa terus meningkat?

1. Indonesia mengalami kenaikan signifikan dari penilaian kemudahan pengurusan izin usaha

(Indeks Persepsi Korupsi 2018) IDN Times/Sukma Shakti

Menurut Wawan, secara umum, peningkatan peringkat Indonesia disumbang dalam hal kemudahan dalam pengurusan izin usaha. Dalam Global Insight Risk Ratings, Indonesia mendapat tambahan 12 poin apabila dibandingkan tahun sebelumnya. 

"Kenaikan ini dipicu dengan lahirnya sejumlah paket kemudahan berusaha dan sektor perizinan yang ramah investasi," kata dia ketika memberikan pemaparan pada siang tadi di gedung KPK. 

Namun, di saat yang sama, praktik korupsi di sektor politik malah menyebabkan Indonesia mengalami penurunan skor di IMD World Competitiveness. Skor Indonesia turun sebanyak 3 poin. 

Virus korupsi di dunia internasional juga berpengaruh terhadap demokrasi di masing-masing negara. Akibatnya, demokrasi menjadi rusak. 

"Korupsi terbukti telah mendorong demokrasi menghasilkan lingkaran setan di mana korupsi dapat merusak lembaga demokrasi tersebut," kata Sekretaris Jenderal TII, Dadang Trisasongko di gedung KPK. 

Lalu, apa makna peningkatan skor dalam kemudahan berusaha tersebut? Menurut Dadang investor memang mudah untuk menanamkan investasinya di Tanah Air. Tetapi, mereka kan juga membutuhkan kepastian hukum seandainya mereka terjerat kasus hukum di Indonesia. 

"Kalau saya berperkara di sini, fair gak prosesnya. Jadi, CPI bukan ditentukan dari berapa kasus yang dituntaskan oleh KPK, namun pengadilannya predictable gak hasilnya," kata Dadang menjawab pertanyaan IDN Times pada sore tadi. 

2. Sistem penegakan hukum di Indonesia masih buruk

Pixabay.com/succo

Menurut organisasi TII, upaya penegakan hukum di Indonesia masih buruk. Sebab, masih banyak terjadi praktik suap di lembaga penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga di pengadilan. 

"Maraknya praktik suap di kalangan lembaga penegak hukum menyebabkan proses peradilan menjadi tidak dapat diprediksi. Hal itu lah yang gak disukai oleh para pebisnis," kata Sekjen TII, Dadang Trisasongko. 

Ia menjelaskan investor memang tidak akan menemukan kesulitan ketika mengurus perizinan untuk membenamkan investasinya di Indonesia. Namun, ketika mereka ingin mengurus perizinan yang lain, alih fungsi lahan, maka baru di sana lah mereka menemukan hambatan," kata dia. 

Oleh sebab itu dibutuhkan metode baru dalam untuk merespons berbagai masalah dalam penegakan hukum. Sebelumnya, di pemerintahan telah mewajibkan agar menggunakan e-procurement untuk berbagai pengadaan barang. Namun, hal tersebut, kata Dadang, tidak mencegah terjadinya praktik mega korupsi seperti pengadaan KTP Elektronik yang telah merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun. 

"Korupsi di bidang hukum jelas membuat skor Indonesia semakin menurun. Kalau kebijakan yang menyangkut publik malah dipegang oleh mereka yang korup maka yang terancam adalah kesejahteraan publik," ujar Dadang. 

3. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sama dengan negara yang pernah mengalami konflik dan perang

Data yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan IPK Indonesia sama persis dengan negara-negara seperti Bosnia dan Herzegovina, Sri Lanka dan Swaziland. 

Sementara, apabila melihat ke lima negara yang selalu langganan peringkat teratas dalam IPK nya didominasi oleh negara-negara skandinavia yakni Denmark (88), Selandia Baru (87), Finlandia (85), Singapura (85), Swedia (85), Swiss (85), Norwegia (84) dan Belanda (82). 

4. Walau naik satu peringkat, KPK tetap merasa kecewa

Twitter/@kpk_ri

Ketika ditanya pendapatnya, Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif rupanya mengaku tidak sepenuhnya puas terhadap pencapaian IPK Indonesia itu. Sebab, semula Syarif menginginkan kenaikan yang diperoleh lebih dari satu poin. 

"Tapi, saya tetap mengucap syukur alhamdulilah karena peringkatnya naik hingga tujuh atau delapan peringkat," kata mantan aktivis lingkungan itu. 

Ia pun mengaku tidak memiliki pilihan lain selain menerima survei yang sudah dilakukan oleh TII. Tetapi, Syarif menduga ada kemungkinan TII keliru dalam mengartikan representasi data yang telah diperoleh. 

"Karena nilai komponen penilaian untuk Indonesia ada 9, namun untuk Timor Leste hanya 3 komponen," tutur Syarif. 

Ia juga sepakat dengan Dadang agar ke depannya pemerintah dan rakyat bersama-sama memperbaiki sektor penegakan hukum. Sebab, berdasarkan data World Justice Project Rule of Index, Indonesia masih ada di peringkat 20. Padahal, sebelumnya, ketika baru awal menjabat, Syarif sempat menjanjikan ia bisa mengangkat peringkat Indonesia hingga ke angka 50. 

5. TII merekomendasikan agar pemerintah memperkuat integritas lembaga pelayanan publik

Di bagian akhir pemaparannya, organisasi TII memberikan rekomendasi kepada beberapa pihak, mulai dari Presiden hingga ke masyarakat sipil dan media. Kepada Presiden, TII memberi empat rekomendasi. Pertama, memperkuat integritas lembaga yang bertanggung jawab pada pelayanan publik, pengawasan internal dan penegakan hukum. 

"Kedua, menutup kesenjangan antara regulasi dengan praktik penegakan hukum antikorupsi. Ketiga, mendukung dan melindungi masyarakat sipil, media yang bebas dari tekanan dan ancaman untuk mengungkap kasus korupsi," kata Dadang. 

Sementara, bagi KPK, TII menyarankan agar tetap menjadi lembaga yang independen. 

"Kemudian, KPK seharusnya memperkuat kelembagaannya melalui optimalisasi rencana strategis, anggaran dan peningkatan kemampuan serta memberikan proteksi kepada personelnya," katanya lagi. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us