IMS 2019: Kisah Inspiratif 4 Perempuan, Lawan Stereotip Raih Prestasi

Mereka menghilangkan stereotip perempuan lemah

Jakarta, IDN Times - Acara Indonesia Millennial Summit (IMS) 2019 yang digelar IDN Times sukses mendatangkan ribuan millennial. Acara dengan tema "Shaping Indonesia's Future" ini dilangsungkan pada 19 Januari 2019 lalu, di Grand Ballroom Hotel Kempinski Jakarta.

IMS 2019 menghadirkan sekitar 60 pembicara kompeten di berbagai bidang, mulai dari politik, ekonomi, bisnis, olahraga, budaya, lintas agama, sosial, lingkungan sampai kepemimpinan millennial. Sementara jumlah peserta yang hadir di ajang millennial terbesar di Tanah Air ini, lebih dari 2.500 orang.

IMS 2019 mengadirkan 3 panggung tempat pembicara. Panggung utama bernama Bhinneka, sementara dua panggung lainnya yakni Garuda dan Nusantara. Setelah acara dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla sekitar pukul 10.00 WIB, panel demi panel diskusi pun dilangsungkan di ketiga panggung tersebut.

Dari keseluruhan panel, ada satu yang menarik yakni panel "Meet the Wonder Women of Indonesia". Berlangsung di Bhinneka stage, pembicaranya semua perempuan hebat. Seperti apa keseruannya?

1. Menghadirkan empat perempuan tangguh

IMS 2019: Kisah Inspiratif 4 Perempuan, Lawan Stereotip Raih PrestasiDok.IDN Times

Ada empat perempuan yang dihadirkan dalam panel tersebut, yaitu Eka Sari Lorena (pimpinan perusahaan transportasi dan logistik PT Eka Sari Lorena atau ESL Express dan ESL Logistics), Angkie Yudistia (Founder Thisable Enterprise), Fransiska Dimitri Inkiriwang dan Mathilda Dwi Lestari (dua pendaki Seven Summits). Diskusi panel tersebut dipandu oleh Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis.

Keempat pembicara yang dijuluki "wonder women" itu kompak mengenakan pakaian kasual. Eka Lorena yang dikenal tomboi tampak enjoy dengan baju biru bermotif bunga-bunga dan celana hitam panjang. Angkie Yudistia mengenakan dress hitam selutut berbalut jaket hitam, sementara duo pendaki Everest kompak mengenakan seragam Mapala berwarna abu-abu.

Sebelum panel dimulai, Garuda stage tampak penuh. Peserta antusias menunggu acara dibuka. Bahkan, Eka Sari Lorena bersemangat mengikuti acara IMS 2019 sejak pagi. Padahal, ia dijadwalkan mengisi acara pada pukul 14.00 WIB.

"Ini acara bagus, gue gak mau ketinggalan, dong!" tuturnya saat itu.

2. Mathilda Dwi sempat diragukan bisa mendaki Everest

IMS 2019: Kisah Inspiratif 4 Perempuan, Lawan Stereotip Raih PrestasiDok.IDN Times

Sebagai seorang perempuan, Mathilda Dwi mengaku sempat diragukan banyak orang. Tak sedikit yang heran ketika tahu dia akan mendaki Puncak Everest. Tak hanya diremehkan, ia dan rekan seperjuangannya, Fransiska Dimitri Inkiriwang juga pernah ditolak ketika mencari sponsor.

Namun, hal tersebut justru memacu semangat mereka untuk membuktikan kemampuan sebagai pendaki perempuan. Anggota WISSEMU tersebut menuturkan, setiap orang memiliki kemampuan untuk mencapai apa pun yang diinginkan.

"Sebagai seorang perempuan, kita punya kapabilitas apa pun untuk mencapai apa yang kita inginkan, asalkan mau melewati prosesnya yang tidak mudah," kata perempuan yang akrab disapa Hilda tersebut.

3. Fransiska Dimitri: emosi perempuan adalah anugerah

IMS 2019: Kisah Inspiratif 4 Perempuan, Lawan Stereotip Raih PrestasiDok.IDN Times

Dalam sesi tanya jawab, seorang peserta mengajukan pertanyaan, "pernah gak baper dan galau? Impact-nya seperti apa terhadap kehidupan sehari-hari? Kan biasanya ada stereotip bahwa perempuan lebih emosian ketimbang laki-laki".

Menjawab pertanyaan tersebut, Fransiska Dimitri mengatakan, emosi perempuan adalah anugerah. Menurut dia, emosi sama pentingnya seperti kompas. Bawa perasaan (baper) adalah suatu kelebihan yang bisa memandu emosi ke arah tertentu.

"Kalau naik gunung yang tinggi, kondisi oksigen dan tekanan udara di sana itu bukan kondisi manusia hidup. Tubuh manusia harus bekerja keras untuk bertahan di kondisi seperti itu," paparnya.

Lewat emosi, ia bisa lebih realistis dan tidak memaksakan diri karena mempertimbangkan tenaga, tubuh serta medan berikutnya. Walaupun merasakan adanya efek positif dari emosi, perempuan yang akrab disapa Deedee itu tidak melupakan logika atau kecerdasan, untuk menuntun hidupnya. Bagi dia, keduanya harus punya porsi yang seimbang.

"Cewek harus punya confidence, harus mikir pakai otak. Tentang apa yang harus kita lakukan, kita harus cari tahu apa itu dan gimana. Itu penting banget," jelas perempuan dengan rambut dikuncir ini.

4. Disabilitas bukan alasan untuk tidak berkembang

IMS 2019: Kisah Inspiratif 4 Perempuan, Lawan Stereotip Raih PrestasiDok.IDN Times

Lain halnya dengan Angkie Yudistia. Ditakdirkan tuli sejak kecil, Angkie kerap menerima perundungan dari teman-teman seusianya. Menurut dia, isu perempuan dan disabilitas itu tidak mudah. Sebab, tak sedikit yang melihatnya sebagai sosok yang harus dikasihani. Padahal, ia mampu membuktikan bahwa ia bisa berkembang dan berprestasi seperti orang-orang normal lainnya.

"Untuk melawan persepsi itu memang butuh. Di-bully itu gak enak. Kadang kan kita suka dengar 'autis banget sih lo?'. Kedengarannya sepele, tapi itu menyakiti diri kita," tutur Angkie.

Oleh sebab itu, Angkie pun bertekad untuk membaur dengan semua orang. Jika teman-teman sesama disabilitas bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB), Angkie memilih sekolah umum meski kerap mendapatkan perundungan.

"Jumlah disabilitas itu ada 21 juta jiwa, 22 persen berusia produktif dan pengangguran. Aku gak mau kayak gitu. Maka aku lawan lewat pendidikan. Kalian bayangkan, aku yang tuli ini mengambil kuliah jurusan komunikasi. Aku belajar mendengar dengan mata, kalau komunikasi sama temen-temen lihatnya bibir," kata Angkie.

Dia menegaskan, setiap orang berhak untuk mengembangkan diri. Disabilitas tidak bisa dijadikan alasan untuk menyerah atau menerima nasib. Pernyataan Angkie itu sontak mengundang tepuk tangan seluruh hadirin.

5. Perempuan bisa sukses asal "pakai otak"

IMS 2019: Kisah Inspiratif 4 Perempuan, Lawan Stereotip Raih PrestasiDok.IDN Times

"Bu Eka kan pengusaha yang bidang usahanya itu macho. Gimana sih agar suara perempuan didengar?" Sebuah pertanyaan ditujukan kepada Eka Lorena.

Menanggapi pertanyaan itu, Eka sontak menyinggung para perempuan yang kerap tidak percaya diri saat bekerja di industri dengan karyawan mayoritas laki-laki. Jika seorang perempuan ditempatkan pada posisi strategis, kata dia, itu bukanlah kebetulan melainkan karena mampu.

"Saya percaya kita punya otak. Saya berpikir, apa pun yang kita punya harus dipakai. Di perusahaan, saya suka pakai istilah PO. Bukan pre order, melainkan pakai otak," ujar Eka yang disambut gelak tawa para hadirin.

Eka menambahkan, stigma bahwa perempuan itu lemah harus dihilangkan. Sebab, tak jarang para perempuan di-judge sebagai kaum moody yang hanya bisa mengandalkan perasaan semata. Menurut Eka, stigma tersebut dapat merusak pemikiran.

"Kalau kita punya otak pintar ya dipakai. Sekali lagi, PO, pakai otak! Perempuan itu bisa melakukan banyak hal dan berkapasitas tahan stres. Kalau gak paham sesuatu ya tanya, mau cari info dan bingung, ya tanya. Saat saya melakukan kunjungan ke pemerintah daerah, kadang isi pejabatnya 98 persen laki-laki semua, gak menyuarakan aspirasi perempuan," tutur mantan Ketua Organda tersebut.

6. Sesi diskusi berakhir, 4 perempuan tangguh diserbu millennial

IMS 2019: Kisah Inspiratif 4 Perempuan, Lawan Stereotip Raih PrestasiDok.IDN Times

Tak terasa, satu jam berlalu tanpa berkurang sedikitpun antusiasme peserta. Setelah sesi diskusi ditutup oleh Uni Lubis, keempat perempuan tangguh itu pun diserbu peserta untuk foto bersama. Bahkan, tak sedikit yang bertanya lebih lanjut kepada mereka lantaran tak kebagian sesi tanya jawab.

Usai foto bersama, Eka Lorena bergegas kembali masuk ke Bhinneka stage. Ia begitu antusias mengikuti diskusi selanjutnya. Perempuan energik itu mengaku tak mau rugi.

"Gak pa-pa lah gue seharian di sini. Acaranya keren-keren, sayang kalau dilewatkan," kata Eka sembari tergelak.

Baca Juga: IMS 2019: Laki-Laki Juga Dapat Kesetaraan di Sesi yang Bahas Perempuan

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya