Olah Rasa ala Napi

JAKARTA, Indonesia—Lampu sorot meredup. Derap langkah kaki menghentak. Belasan pria dan wanita berpakaian serba hijau melangkah masuk dari sisi kiri dan kanan panggung sembari mengeluarkan pekikan.
“Ji, ora minggir tabrak! Ro, ora minggir tabrak! Lu, ora minggir tabrak,” teriak mereka sembari melangkah ritmis memutari panggung teater kecil di Gedung Teater Taman Ismail Marzuki (TIM), kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin sore, 23 April 2018.
Syahdan, mereka bubar, menyebar mengisi sudut-sudut panggung. Di tengah panggung seorang perempuan duduk bersimpu seraya memeluk leher perempuan lainnya. Suara ratapan terdengar dari mulutnya. Disusul kemudian suara ratapan seorang pria. Bersahut-sahutan.
Tak lama muncul suara ketiga. Sebuah monolog. “Sudah nasib kita. Itu kan ya Tuhan? Walaupun susah. Ah, susah. Tetap bersabar. Dan jangan putus asa. Ini semua cobaan Tuhan. Mumpung masih bisa, marilah kita berbenah diri untuk bisa lebih baik lagi…”
Begitulah pentas teater bertajuk Rumah Kaca itu dimulai. Selanjutnya, dan ini cukup membingungkan, mereka bernyanyi ceria. Suara-suara ratapan menghilang. Drama teater itu ternyata memang hanya kumpulan sketsa.
Bermodalkan hanya empat buah meja kayu serta suara tepukan dan tabuhan, satu per satu sketsa dimainkan dengan apik. Yang satu seolah tak bertaut dengan yang lainnya. Terkadang bernuansa gembira dan bersemangat, terkadang bernuansa sedih dan putus asa.
Lebih dari 20 menit adegan-adegan Rumah Kaca dipentaskan. Tak butuh lama untuk memahami pesan yang ingin disampaikan, yakni keseharian, kegelisahan dan asa para narapidana (napi) yang hidup di balik jeruji. Setidaknya, itu tergambar jelas dari baris-baris lirik yang dinyanyikan seorang aktor di sebuah adegan.
“Wahai engkau yang ada di sana, maafkan kami yang sudah lalai. Dosa kami…Masih adakah sekali lagi kesempatan memperbaiki perilaku kami? Masih adakah sekali lagi?”
Dan, memang para pemeran dalam teater itu ialah para napi yang menghuni Lembaga Permasyarakatan (LP) Kelas I Surakarta. Di TIM, Rumah Kaca merupakan satu dari sekian banyak karya seni para napi yang disiapkan untuk menghibur para pengunjung dalam rangkaian Indonesian Prison Art Festival (IPAFest) 2018 yang dihelat pada 23-24 April 2018.
Tak kalah dari aktor profesional
Meskipun memiliki beragam kekurangan—salah satunya monolog yang tak lengkap dan tak jelas diucapkan—tak terasa sketsa-sketsa itu dimainkan oleh aktor-aktor amatir. Setidaknya itu pula yang dirasakan pegiat seni yang sudah puluhan tahun ‘menghuni’ TIM, Jose Rizal Manua.
“Tidak mudah membuat pertunjukan dari bunyi, suara dan musik saja. Apalagi seperti tidak ada cerita sama sekali. Tapi, terlihat sekali kerja sama yang bagus ditampilkan. Ini pertunjukan yang sangat kontemporer dan tidak kalah dengan pertunjukan profesional,” komentarnya.
Kepala LP Kelas I Solo Muhammad Ulin Nuha ikut sumbang suara. Ia mengaku bangga bisa menyaksikan warga binaannya tampil apik di pentas itu. “Warga binaan adalah manusia juga. Seperti kita, mereka suatu saat juga bisa melakukan kesalahan. Yang terpenting adalah bagaimana supaya bisa kembali lagi ke masyarakat,” ujarnya.

Total ada sekitar 450 napi dari 35 LP/rutan dari seluruh Tanah Air yang ikut serta dalam ajang akbar tersebut. Meskipun menampilkan ‘jualan’ yang berbeda, hampir tiap booth menitipkan pesan yang sama pada pengunjung, yakni agar para napi tidak selalu dipandang negatif dan diterima ‘pulang’.
Olah rasa
Saat berkunjung ke IPAFest 2018, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan, ajang tersebut istimewa dan tak biasa. Pasalnya, baru kali ini ada festival seni yang digelar para napi. Tak heran Museum Rekor Indonesia (MURI) turut mencatatnya di arsip MURI.
“Istimewanya yang melakukan itu adalah para napi di lapas. Artinya ini sesuatu yang sangat kontradiksi kan? Seni itu olah rasa, seni itu adalah luapan perasaan yang paling dalam dari manusia. Dan itu hanya dilakukan oleh orang-orang yang bebas. Orang-orang yang tenang. Tapi kali ini yang olah rasa itu para napi,” ujarnya.
Karena itu, Wiranto berharap, ajang tersebut dipertahankan dan dibuat rutin. Dengan berkesenian dan mengolah rasa, Wiranto yakin, para napi bakal lebih mudah kembali ke masyarakat. “Kalau perasaan itu tumpul, ya berkelahi terus nantinya. Kejahatan merajalela,” tandasnya.
—Rappler.com