Ini Tiga Alasan ACTA Gugat Aturan Presidential Treshold Saat Pemilu

Jakarta, IDN Times - Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) mengatakan akan kembali mengajukan uji materil presidential treshold ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Pembina ACTA, Habiburokhman ketika memberikan keterangan pers pada Senin (18/6) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
"Saya selaku Ketua Dewan Pembina ACTA dan selaku pribadi warga negara Indonesia segera kembali mendaftarkan uji materil ketentuan presidential treshold ke Mahkamah Konstitusi," ujar Habiburokhman.
Menurut ACTA, pengajuan uji material ini memiliki dasar hukum yang jelas. Walaupun pada awal tahun ini, uji materi serupa telah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Lalu, apa yang menyebabkan mereka percaya diri kalau uji materi kali ini akan diterima oleh MK?
1. Presidential treshold 20 persen bertentangan dengan pasal 6 UUD 1945

ACTA mengaku memiliki dasar hukum yang jelas untuk mengajukan uji material kali ini. Yang menjadi dasar hukum adalah presidential treshold bertentangan dengan dasar hukum di pasal 222 UU Pemilu.
"Di sana bertentangan dengan pasal 6 dan 6a UUD 1945. Masalahnya, di dalam pasal 6 dan 6a, tidak diatur terkait adanya syarat dukungan 20 persen suara partai politik di parlemen atau 25 persen dukungan nasional. Hal tersebut diatur di dalam UU pemilu," kata Habiburokhman dalam keterangan pers siang tadi.
Ia menjelaskan dengan adanya presidential treshold maka pemerintah sudah membatasi hak masyarakat yang ingin mengajukan diri menjadi presiden pada 2019 mendatang. Sebab, berdasarkan syarat itu maka partai yang mengusung capres harus memiliki suara sebanyak 20 persen di DPR atau 25 persen suara sah nasional.
"Seharusnya secara teknis, tata cara pencalonan tidak membuat syarat tambahan yang malah menyimpang," kata dia.
2. Situasi ketika mengajukan gugatan ke MK sudah berbeda

ACTA menegaskan situasi saat ini dengan ketika pengajuan pada awal tahun 2018 lalu berbeda. Habiburokhman merasa saat ini sudah semakin banyak masyarakat yang ingin mengganti presidennya pada tahun 2019.
Aspirasi itu dinilai semakin besar dan terdengar. Situasi itu berbeda ketika Mahkamah Konstitusi menolak uji materi sebelumnya.
"Kami menyerukan kepada masyarakat yang menginginkan pergantian presiden pada pemilu tahun 2019 agar bisa bergabung dan mendukung permohonan ini. Yang kami lakukan adalah memperjuangkan hak politik yang sah dan dilindungi oleh konstitusi," kata Habiburokhman.
Menurut Habiburokhman, pihak Indrayana Centre juga mengajukan uji material terhadap soal presidential treshold ini.
"Itu bukti bahwa kami tidak sendiri," kata dia.
3. ACTA bantah uji materi ini kepentingan Prabowo

ACTA berpendapat pasal 222 mengenai batas ambang pemilihan Presiden jelas telah menghalangi publik yang ingin mencalonkan diri sebagai Presiden.
"Saat ini aspirasi masyarakat besar (untuk jadi Presiden). Dan mereka menginginkan perubahan. Sekarang, banyak yang mencalonkan calonnya dan sulit terealisasi kalau pasal 222 tidak dibatalkan," kata Habiburokhman.
Ia membantah mengajukan uji materi itu ke MK demi kepentingan pribadi. Seperti yang diketahui Habiburokhman merupakan Ketua DPP Partai Gerindra. Sementara, sudah sejak lama Prabowo ingin mencalonkan diri sebagai Presiden di pemilu 2019.
Sayangnya, kursi Partai Gerindra di DPR gak cukup. Mereka memiliki 11,81 persen suara di DPR atau 14.760.371. Artinya, mereka perlu berkoalisi dengan partai politik lainnya.
"Jika ini sudah dikabulkan ya kami persilakan masyarakat mencalonkan calon presiden. Kalau ACTA kan memang pendukung Prabowo sejak awal," kata dia tanpa basa-basi.