PKS Ungkap Pasal Karet soal Penyelenggara Umrah dalam UU Cipta Kerja

Sanksi berlapis dalam Pasal Penyelenggara Haji dan Umroh

Jakarta, IDN Times - Anggota Baleg Fraksi PKS, Bukhori Yusuf mengungkapkan bahwa UU Cipta Kerja menyimpan pasal karet di dalamnya. Temuan ini ia peroleh setelah melakukan penyisiran pada Pasal 68 UU Cipta Kerja terkait perubahan beberapa ketentuan dalam UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU).

PKS menemukan perubahan terkait syarat Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Dalam UU No 8/2019 existing, disebutkan bahwa syarat menjadi PPIU adalah WNI dan Muslim.

“Sebab sebelumnya, dalam draf RUU versi 1029 halaman, pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat Muslim dan WNI tersebut dan menggantinya dengan klausul persyaratan yang ditetapkan pemerintah pusat,” kata Bukhori lewat keterangan tertulisnya, Senin (2/10/2020).

1. Ada sanksi berlapis dalam Pasal 125 dan 126

PKS Ungkap Pasal Karet soal Penyelenggara Umrah dalam UU Cipta KerjaSuasana Masjidil Haram, Makkah di musim haji (IDN Times/Umi Kalsum)

Sebelumnya, Fraksi PKS bersikeras untuk mempertahankan syarat PPIU pada aturan semula. Hal itu akhirnya berhasil terakomodasi kendati harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg.

Namun, pembahasan perihal sanksi atas aturan ini, dibahas oleh pemerintah dan DPR secara terpisah. "Khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU No 8/2019 dengan menambahkan batas waktu 5 hari," imbuhnya.

Sebagai konsekuensi, di UU Cipta Kerja yang terbaru, muncullah pasal tambahan, yakni pasal 118A dan 119A. Kedua pasal pasal sisipan ini mengatur pengenaan sanksi administratif ini nyatanya memiliki kaitan dengan pasal 125 dan 126 terkait sanksi pidana.

"Sehingga memunculkan potensi sanksi berlapis,” ujarnya.

Baca Juga: Menyudahi Polemik UU Cipta Kerja, PKS Desak Presiden Terbitkan Perppu

2. Pasal sisipan memiliki niat baik mengantisipasi penyimpangan pihak penyelenggara haji dan umrah

PKS Ungkap Pasal Karet soal Penyelenggara Umrah dalam UU Cipta KerjaIlustrasi kasus First Travel (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Ketua DPP PKS ini menilai pasal sisipan tersebut sesungguhnya memiliki maksud yang baik. Pasal ini sebenarnya bermaksud memberikan proteksi bagi jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara haji dan umrah yang merugikan sebagaimana kasus penipuan biro haji dan umrah First Travel.

"Namun anehnya, di dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 125 dan pasal 126 disebutkan bahwa PIHK maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118A dan 119A juga bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar," ujarnya.

Pasal 118A dan 119A mencakup sanksi administratif, dari yang ringan yaitu berupa denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha. Selain itu, ditambah kewajiban pengembalian biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan/atau PIHK serta kerugian immateriil lainya.

“Bila dicermati lebih lanjut, sebenarnya pasal 125 dan pasal 126 memiliki maksud yang absurd akibat definisinya yang tidak jelas. Karena tampaknya pembentukan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU/PIHK nakal,"kata dia.

"Akan tetapi sangat disayangkan rumusan pasalnya menjadi ambigu karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A yang berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran,” tambah Bukhori.

Mekanisme sanksi, kata dia, sebelumnya sudah diatur dalam bentuk sanksi administratif,  baik dalam bentuk denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin ditambah pengembalian setoran jemaah.

3. Tumpang tindih pasal existing dengan pasal UU Ciptaker

PKS Ungkap Pasal Karet soal Penyelenggara Umrah dalam UU Cipta KerjaMenko Perekonomian Airlangga Hartarto didampingi Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menerima laporan akhir pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi ini menurut Bukhori akan membuka celah bagi terjadinya multitafsir atau pasal karet. Sebab, menurutnya, penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau sanksi administratif sekaligus.

“Berat sekali konsekuensinya bila kedua sanksi dikenakan sekaligus, yakni denda administratif bahkan ditambah hukuman penjara maksimal 10 tahun. Sedangkan di sisi lain, saya melihat ada potensi atau celah bagi permainan hukum disini,” katanya.

4. Kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya

PKS Ungkap Pasal Karet soal Penyelenggara Umrah dalam UU Cipta KerjaIlustrasi kasus First Travel (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Dari sisi etika hukum, Bukhori menganggap pemberlakuan sanksi berlapis ini tidak pada tempatnya alias tidak adil karena melampaui batas kewajaran. Sebab, kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya di waktu bersamaan. Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut tidak termasuk yang pasti menimbulkan kematian.

“Kami menduga munculnya ambiguitas terkait pengenaan sanksi berlapis untuk satu perbuatan dalam UU ini sesungguhnya tidak lepas sebagai akibat dari ketergesa-gesaan selama proses penyusunannya,” ujarnya.

Anggota Komisi VIII ini mengusulkan pasal pidana dicabut agar tidak membuka ruang spekulasi bagi para penegak hukum sehingga memberikan kepastian hukum bagi PIHK dan PPIU sesuai dengan asas keadilan.

Baca Juga: Sudah Dibuka, Ini Aturan Umrah di Tengah Pandemik COVID-19

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya