Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jakarta Feminist: Pembunuhan Wanita Terborgol di Cisauk Bentuk Femisida

IMG-20250722-WA0005.jpg
Rekontruksi pembunuhan mayat terborgol di Cisauk (Dok. IDN Times/Mbah)
Intinya sih...
  • Korban femisida intim dan eskalasi kekerasan berbasis genderEskalasi kekerasan berbasis gender dan seksual di dalam relasi intim sering diabaikan, menyebabkan femisida. Korban femisida intim meliputi istri, pacar, pasangan selingkuh, mantan istri/pacar, dan teman kencan.
  • Pembunuhan ini masuk kategori sadistisAPSD mengalami sejumlah kekerasan seperti dicekik hingga dipiting, bahkan pemerkosaan. Tindakan ini masuk kategori sadistis. Pemeriksaan forensik harus memastikan kapan perkosaan terjadi.
  • Hambatan hukum terkait femisida seksualKUHP dan UU TPKS tidak menjangkau kekerasan seks

Jakarta, IDN Times - Pembunuhan seorang perempuan berinisial APSD, 22 tahun, yang jenazahnya ditemukan terborgol di Cibogo, Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu, 16 Juli 2025, dianggap masuk ranah femisida. Tiga pelaku akhirnya ditangkap, mereka berinisial RRP (19), IF (21), dan AP (17).

Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta atau Jakarta Feminist dan Indonesian Legal Resource Center (ILRC) menyatakan, kasus yang menimpa APSD dikategorikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan, karena gendernya atau biasa dikenal dengan istilah femisida.

"Pada kasus Cisauk yang diduga dilakukan oleh mantan pacar, menunjukkan upaya pelaku untuk mengontrol dan menguasai korban, dengan alasan sakit hati karena ditagih utang, hal ini jelas menunjukkan pola femisida relasi intim itu sendiri, yang bahkan sarat akan kekerasan berbasis gender dan seksual sebelumnya," kata Direktur Program Jakarta Feminis, Anindya Restuviani, dalam keterangan tertulis, Kamis (24/7/2025).

1. Korban femisida intim dan eskalasi kekerasan berbasis gender

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Eskalasi kekerasan berbasis gender dan seksual yang menimpa korban di dalam relasi intim, kata Anindya, kerap diabaikan atau bahkan tak diperhatikan. Baik itu dari masyarakat sendiri atau utamanya aparat penegak hukum (APH). Eskalasi kekerasan yang terjadi pada perempuan, justru kerap berujung femisida.

"Korban femisida intim, mereka adalah istri, pacar, pasangan selingkuh, mantan istri atau pacar, dan teman kencan. Ini mencerminkan hubungan yang dianggap paling 'dekat' secara emosional, namun ternyata sarat dengan dinamika kuasa, kontrol, dan kekerasan," kata dia.

2. Pembunuhan ini masuk kategori sadistis

Ilustrasi kekerasan seksual (Foto: IDN Times)

APSD meninggal dunia usai mengalami sejumlah kekerasan seperti dicekik hingga dipiting, bahkan korban juga mengalami pemerkosaan. Dia ditemukan dalam keadaan terborgol. Direktur Eksekutif ILRC, Siti Aminah Tardi, mengatakan tindakan ini masuk kategori sadistis.

"Pemeriksaan forensik dan kepolisian harus memastikan kapan perkosaan itu dilakukan, apakah sebelum, sepanjang atau setelah korban meninggal, atau bahkan berlapis sejak korban hidup sampai meninggal,” ungkap Siti Aminah.

3. Hambatan hukum terkait femisida seksual

IMG-20250722-WA0004.jpg
Rekontruksi pembunuhan perempuan terborgol di Cisauk (Dok. IDN Times/Mbah)

Dalam kasus ini korban sudah meninggal, haknya secara hukum hilang. KUHP dan UU TPKS tidak menjangkau kekerasan seksual setelah meninggal, impelentasinya juga masih minim. Anindya menjelaskan ini adalah hambatan hukum terkait femisida seksual. Padahal keluarga korban juga berhak mendapat perlindungan dan pemulihan.

“Jika korban diperkosa sebelum meninggal, menjadi tidak cukup dengan menyangkakan para pelaku dengan Pasal 340 dan 339 KUHP, tapi harus diperkuat dengan Pasal 285 tentang perkosaan dan Pasal 4 UU TPKS. Namun terdapat kekosongan hukum jika kekerasan seksual dilakukan setelah korban meninggal. Menjadi penting untuk mulai memikirkan hukum pidana khusus femisida yang dapat menjangkau kondisi ini,” kata dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us