Jeirry Sumampow Ungkap Skenario Jabatan DPRD Diperpanjang

Intinya sih...
Jeirry Sumampow mengungkap tiga skenario perpanjangan masa jabatan DPRD imbas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda membuka opsi jabatan Anggota DPRD diperpanjang untuk mengatasi kekosongan jabatan kepala daerah serta anggota DPR.
Putusan MK Nomor 135/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah/lokal akan jadi acuan dalam Revisi UU Pemilu menurut Rifqinizamy.
Jakarta, IDN Times - Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow mengungkap tiga skenario perpanjangan masa jabatan DPRD imbas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan pemilu nasional dan daerah/lokal dipisah.
Berdasarkan Putusan MK itu, Jeirry menyampaikan, pemilu nasional yang mencakup Pemilihan Presiden, DPR RI, dan DPD RI akan tetap digelar pada tahun 2029. Sementara pemilu lokal yang mencakup Pilkada Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Pemilihan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota akan diselenggarakan pada tahun 2031.
Menurutnya, garis waktu ini menimbulkan persoalan konstitusional yang serius. Sebab, anggota DPRD hasil Pemilu 2024 seharusnya mengakhiri masa jabatan pada tahun 2029, sesuai amanat Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPRD dipilih dalam pemilu setiap lima tahun. Tapi karena Pemilu DPRD berikutnya baru akan digelar tahun 2031, sesuai putusan MK, maka secara otomatis masa jabatan mereka diperpanjang hingga 7,5 tahun atau lebih dari dua tahun setengah dari masa jabatan yang sah secara konstitusi.
1. Tiga skenario yang bisa dilakukan
Jeirry menjelaskan, untuk menjaga agar transisi DPRD tetap berada dalam koridor konstitusional dan demokratis serta tidak menjadi presedan buruk ke depan, ada beberapa formula atau skenario dapat dipertimbangkan.
Pertama, perpanjangan jabatan DPRD sebagai transisi sekali saja (one-time exception). Masa jabatan DPRD hasil Pemilu 2024 dapat diperpanjang secara khusus hingga 2031 hanya untuk satu kali periode, sebagai bagian dari penyesuaian menuju jadwal Pemilu Lokal Serentak. Namun perpanjangan dalam kerangka ini tentu harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu diatur secara eksplisit dalam undang-undang; ditegaskan sebagai transisi sistemik, bukan norma baru; dan tidak dijadikan preseden permanen.
Kedua, melakukan amandemen terbatas terhadap UUD 1945 atau penegasan tafsir MK. Jika ketegangan konstitusional ini ingin diakhiri secara tuntas, maka dapat ditempuh juga opsi amandemen terbatas terhadap Pasal 18 UUD 1945 untuk memberi ruang pengecualian dalam masa transisi sistem pemilu; atau penegasan melalui tafsir lanjutan MK bahwa ketentuan masa jabatan dalam Pasal 18 dapat dilenturkan untuk satu kali transisi sistemik.
Kemudian ketiga, menjaga legitimitas demokrasi dan kedaulatan rakyat. Jeirry mengatakan, perpanjangan atau pemendekan masa jabatan tanpa pemilu harus dijaga ketat dalam kerangka legitimasi rakyat. Karena itu, seluruh proses transisi ini harus dilandasi oleh undang-undang yang jelas; melibatkan partisipasi publik yang luas; dan menghindari kesan bahwa perubahan ini dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek.
"Dengan desain baru pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal yang dijadwalkan pada 2029 dan 2031, Indonesia memasuki fase penting dalam menata ulang sistem kepemiluan yang lebih efisien dan demokratis. Namun, keberhasilan desain ini bergantung pada komitmen semua pihak untuk menjaga konstitusionalitas, menghormati prinsip kedaulatan rakyat, dan menghindari tafsir hukum yang oportunistik," ucap Jeirry.
"Oleh karena itu, kami mendorong agar setiap langkah transisi dilakukan secara terbuka, legal, dan akuntabel agar reformasi pemilu tidak justru menggerus legitimasi demokrasi itu sendiri," sambungnya.
2. Ketua Komisi II DPR buka opsi jabatan DPRD diperpanjang
Senada, Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda pun mengungkap kemungkinan jabatan Anggota DPRD diperpanjang. Sebab, dipisahnya pemilu nasional dengan daerah menimbulkan adanya kekosongan jabatan kepala daerah serta anggota DPR.
Menurutnya, jabatan mereka sudah habis, namun gelaran pemungutan suaranya baru digelar sekitar dua hingga tiga tahun kemudian.
"Salah satu misalnya pertanyaan teknisnya adalah bagaimana kita bisa melaksanakan pemilu lokal setelah terlaksananya pemilu nasional tahun 2029 misalnya. Secara asumtif pemilunya baru bisa dilaksanakan pada tahun 2031 jeda waktu 2029 sampai 2031 untuk DPRD provinsi kabupaten kota termasuk untuk jabatan gubernur bupati walikota itu kan harus ada norma transisi. Kalau bagi pejabat gubernur bupati walikota kita bisa tunjuk penjabat seperti yang kemarin, tetapi untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan," kata dia kepada IDN Times, Kamis (26/6).
"Hal-hal inilah yang nanti akan jadi dinamika dalam perumusan rancangan undang-undang pemilu yang tentu kami masih menunggu arahan dan keputusan pimpinan DPR untuk diberikan kepada Komisi II DPR RI," sambungnya.
3. Putusan MK akan jadi acuan Revisi UU Pemilu
Lebih lanjut, Rifqinizamy memastikan Putusan MK Nomor 135/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah/lokal akan jadi acuan dalam Revisi UU Pemilu.
"Hal tersebut tentu akan menjadi bagian penting untuk kami menyusun revisi undang-undang pemilu yang akan datang. Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini menjadi salah satu concern bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi, terutama sekali lagi dalam politik hukum nasional yang menjadi kewenangan konstitusional kami," ucap dia.
Adapun, MK mengabulkan sebagian permohonan perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gugatan ini dilayangkan Perludem sebagai Pemohon.
Dalam amar putusan yang dibacakan, MK menginstruksikan agar pemilu tingkat nasional dan daerah/lokal dipisah, dengan jeda paling cepat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan. Adapun pemilu nasional itu meliputi pemilihan presiden-wakil presiden, DPR RI, DPD RI. Sementara, pemilu daerah meliputi pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota.
Dengan demikian, pemilu daerah baru diselenggarakan 2 tahun atau 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK, Suhartoyo dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Kamis (26/6).
"Menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, 'Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional'," ucap Suhartoyo.