Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari bersama sejumlah komisioner di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Sistem proposional pemilu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sempat digugat ke MK. Uji materi dengan perkara nomor 114/PUU-XIX/2022 itu diajukan oleh sejumlah pemohon yakni Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Para pemohon itu merupakan anggota partai politik yang sudah terdaftar sebagai peserta Pemilu 2024. Mereka mengajukan uji materi pasal-pasal yang berkaitan sistem proporsional terbuka pada UU Pemilu.
Menurut para pemohon, sistem pemilu proporsional terbuka akan melemahkan pelembagaan sistem kepartaian. Loyalitas calon anggota legislatif yang terpilih cenderung lemah dan tidak tertib pada garis komando partai politik.
Selain itu, mereka juga berpandangan seharusnya ada kewenangan partai untuk menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen.
Para pemohon meminta MK untuk membatalkan pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka, yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Apabila MK mengabulkan permohonan ini, maka masyarakat Indonesia hanya akan mencoblos partai politik, karena tidak ada lagi nama-nama calon anggota legislatif (caleg) di surat suara pada Pemilu 2024.
Kendati begitu, MK menolak permohonan judicial review atau uji materi terkait sistem proporsional tersebut. Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Berdasarkan amar putusan, menolak permohonan para pemohon seluruhnya," ujar Ketua MK, Anwar Usman, Kamis (15/6/2023).
Meski demikian terjadi dissenting opinion hakim konstitusi Arief Hidayat. Dalam putusan itu, MK menegaskan politik uang bisa saja terjadi dalam semua sistem pemilu. Baik lewat proporsional terbuka atau pun proporsional tertutup.
Sementara, pengacara sekaligus pengguggat sistem Pemilu pada 2008, Muhammad Sholeh menilai, jika proporsional tertutup diberlakukan maka menguntungkan parpol besar yang sudah mengakar dan dikenal publik.
Sebagaimana diketahui, jika pileg menggunakan sistem proporsional tertutup, maka nantinya para pemilih diperkenankan coblos partai politik. Sehingga caleg yang terpilih berdasarkan nomor urut sesuai dengan jatah yang didapat parpol.
Oleh sebab itu, pihak yang diuntungkan dari proporsional tertutup ialah partai besar. Karena pemilih tak bisa memilih langsung tokoh-tokoh caleg yang diajukan parpol. Di sisi lain, nama-nama tokoh caleg jadi nilai jual bagi partai kecil dan partai baru.
"Yang diuntungkan tentu adalah partai besar yang sudah mengakar, contoh begini, andai MK kabulkan gugatan kembali ke nomor urut, tentu saya gak ada gunanya memilih. Bisa jadi banyak orang beranggapan merasa tak perlu memakai pilihan," kata dia dalam acara Ngobrol Seru bareng IDN Times, dikutip Jumat (20/1/2023).
Sholeh menjelaskan, sistem proporsional terbuka akan menguntungkan banyak pihak, termasuk caleg dan parpol yang mengusung. Dia menjelaskan, proporsional terbuka memungkinkan caleg berkompetisi dengan sehat. Mereka berlomba-lomba membuat program dan mendekati rakyat. Sehingga akan terlihat caleg mana yang bekerja, dan yang tidak.
Sementara, jika mengacu pada proporsional tertutup maka yang diuntungkan hanya caleg dengan nomor teratas karena peluang terpilihnya lebih besar.
"Tetapi kalau itu mekanisme proporsional terbuka yang diuntungkan parpol dan semua caleg. Baik caleg nomor urut satu maupun terakhir. Proporsional terbuka adalah sebuah sistem di mana kedaulatan itu ada di tangan rakyat, maka rakyat atau pemilih dia yang menentukan caleg A, caleg B, siapa pun," kata dia.
Adapun dalam polemik sistem proporsional ini, Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari juga mendapat sanksi peringatan dari DKPP. Hasyim diadukan karena dinilai bersikap tidak mandiri, lantaran mengeluarkan pernyataan bersifat partisan tentang kemungkinan sistem proporsional tertutup. Pernyataan itu dinilai menciptakan kondisi yang tidak kondusif untuk pemilih.