Kemendikbud Didesak Cabut Permen yang Jadi Penyebab Biaya UKT Naik

Intinya sih...
- Kenaikan biaya kuliah disoroti oleh mayoritas mahasiswa dan mendapat keluhan kepada Komisi X DPR RI.
- JPPI menemukan data bahwa pendidikan di Indonesia masih berbayar, menyebabkan jumlah anak tidak sekolah yang masih tinggi.
- Hanya 10,15 persen penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas melanjutkan studi ke pendidikan tinggi, karena dianggap sebagai kebutuhan tersier.
Jakarta, IDN Times - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mendesak Kemendikbudristek mencabut Peraturan Mendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 mengenai Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOP). Sebab, permen tersebut menjadi biang kerok biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mengalami kenaikan yang signifikan dalam waktu serentak.
Kenaikan biaya kuliah dalam waktu serentak itu dikeluhkan oleh mayoritas mahasiswa. Pada pekan lalu, mereka mengeluhkan soal hal tersebut kepada Komisi X DPR RI.
Koordinator JPPI, Ubaid Matraji juga menyayangkan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Tjitjik Sri Tjahkandarie yang disampaikan saat memberikan keterangan pers. Tjitjik mengatakan pendidikan di universitas masuk tertiary education.
"Pernyataan itu melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah," ujar Ubaid di dalam keterangan tertulis pada Senin (20/5/2024).
Ia menambahkan, pandangan bahwa pendidikan universitas masuk ke dalam kebutuhan tersier merupakan kekeliruan besar.
"Jika PT adalah kebutuhan tersier, lalu negara lepas tangan soal pembiayaan, bagaimana dengan nasib pendidikan dasar dan menengah. Padahal, itu masuk ke dalam program wajib belajar yang merupakan kebutuhan primer. Apakah pemerintah sudah membiayai semuanya?" tutur dia.
1. Jumlah anak tidak sekolah capai lebih dari 3 juta
JPPI menemukan data bahwa untuk wajib belajar tidak sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah. Mereka hanya didanai Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Akibatnya, ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS) yang masih menggunung.
"Berdasarkan data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang. SD (0,67 persen), SMP (6,93 persen), dan SMA/SMK (21,61 persen). Bila dikalkulasi, JPPI mengestimasi ATS mencapai 3 juta lebih. Angka ini sangat besar," kata Ubaid.
Ia mengatakan, faktor utama penyebab ATS lantaran isu ekonomi sehingga mereka tidak mampu membayar biaya sekolah.
"Artinya, sekolah di Indonesia hari ini masih berbayar. Pendidikan bebas biaya seperti yang diamanahkan di dalam UUD 1945 Pasal 31 dan UU Sisdiknas Pasal 34 masih sebatas retorika," tutur dia.
2. Hanya 10,15 persen dari penduduk Indonesia yang kuliah
Mengutip data Biro Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas yang melanjutkan studi ke pendidikan tinggi. Angka tersebut sangat kecil.
"Tentu hal itu karena biaya yang mahal. Apalagi pemerintah menganggap perguruan tinggi sebagai kebutuhan tersier," ujar Ubaid.
Oleh karena itu, JPPI menuntut pemerintah mengembalikan pendidikan termasuk pendidikan tinggi masuk ke kebutuhan publik. JPPI, kata Ubaid, menolak segala bentuk komersialisasi di perguruan tinggi khususnya di Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).
Ia menambahkan, pendidikan merupakan kebutuhan publik karena menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi.
"Amanah itu jelas termaktub di dalam pembukaan UUD 1945 aliena 4 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan utama berdirinya NKRI adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," tutur dia lagi.
Ubaid mengingatkan, bila ingin anak-anak Indonesia memiliki daya saing global maka pendidikan hingga di tingkat SMA atau SMK saja tidak cukup. Mereka harus bisa mendapatkan layanan pendidikan hingga perguruan tinggi.
"Maka, negara harus hadir dan berpihak kepada semua dalam menjalankan amanah konstitusi dan bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi," katanya.
3. Kebijakan kampus merdeka harus dirombak total
Selain itu, JPPI mendorong DPR dan Kemendikbud untuk merombak total kebijakan kampus merdeka. Sebab, kebijakan itu dinilai mendorong perguruan tinggi negara menjadi PTN berbadan hukum sehingga berperan besar mengerek naik biaya pendidikan.
"Karena pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan lalu mengalihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT," tutur Ubaid.
Sementara, Presiden BEM Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Maulana Ihsanul Huda di dalam audiensi tersebut mengatakan, kenaikan UKT di kampusnya menembus 500 persen. Ia mengambil contoh fakultas tempatnya menuntut ilmu, Fakultas Peternakan.
"UKT di Fakultas Peternakan yang sebelumnya Rp2,5 juta menjadi Rp14 juta. Itu untuk tingkatan paling tinggi. Bagaimana kami tidak marah, dengan hasil seperti itu?" ujar Maulana seperti dikutip dari YouTube komisi X DPR pada Minggu kemarin.
Ia mengaku pihak mahasiswa Unsoed sudah melakukan audiensi dengan pihak rektorat. Namun hasilnya belum memuaskan dan tidak ada pergantian kebijakan yang signifikan.
"UKT di fakultas peternakan hanya turun Rp81 ribu. Itu benar-benar menjadi keresahan kami. Hal semacam ini juga terjadi di banyak kampus, mulai dari Universitas Mataram, Universitas Bengkulu, UNS, Universitas Diponegoro, UIN Jakarta, hingga Universitas Brawijaya. Ini serentak (pemberlakuan UKT) di Indonesia," kata dia.
Para mahasiswa pun mempertanyakan alasan di balik kenaikan serentak UKT. Pihak rektorat mengacu kepada Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 dan dilanjutkan dengan Kepmen nomor 54 tahun 2024. "Peraturan itu mengatur tentang SSBOPT (Satuan Standar Biaya Operasional Perguruan Tinggi)," katanya lagi.