PKB: Kalimat Kemendikbud Tebalkan Opini cuma Orang Kaya yang Kuliah

- Ketua Komisi X DPR prihatin dengan pernyataan Plt Sekretaris Dirjen Dikti terkait pendidikan tinggi sebagai pilihan, bukan wajib.
- Politisi menegaskan bahwa pendidikan tinggi sudah menjadi kebutuhan wajib karena mayoritas lowongan pekerjaan meminta minimal lulusan sarjana.
- Kenaikan UKT hingga 500% di banyak kampus menuai protes dari mahasiswa dan DPR, yang mempertanyakan alasan di balik kenaikan tersebut.
Jakarta, IDN Times - Ketua Komisi X DPR, Syaiful Huda mengaku prihatin dengan pernyataan yang disampaikan oleh Plt Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Tjitjik Sri Tjahjandarie ketika memberikan keterangan pers pada pekan ini. Di dalam pernyataannya, Tjitjik mengatakan tertiary education atau pilihan. Pendidikan tinggi di universitas tidak ada di dalam program wajib belajar 12 tahun yang anggarannya harus didanai oleh pemerintah.
Bagi Huda, pernyataan tersebut tidak peka dan semakin menebalkan persepsi bahwa pendidikan tinggi hanya untuk kalangan kaum berada. "Jadi, persepsi orang miskin dilarang kuliah itu semakin menguat. Bahwa kampus itu elit dan hanya untuk mereka yang punya duit dan mampu membayar uang kuliah tunggal (UKT)," ujar Huda di dalam keterangan tertulis pada Sabtu (18/5/2024).
Pernyataan yang disampaikan oleh Tjitjik itu menanggapi kenaikan UKT di hampir semua kampus di Tanah Air. Bahkan, kenaikan UKT ada yang mencapai 500 persen.
Lebih lanjut, Huda mengatakan pernyataan bahwa pendidikan tinggi bersifat tersier dapat dimaknai pemerintah lepas tangan terhadap nasib mahasiswa yang tetap ingin kuliah tetapi tidak memiliki biaya. "Padahal, di sisi lain pemerintah gembar-gembor ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045. Ingin memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi," kata dia.
1. Ketua Komisi X DPR minta pejabat Kemendikbud cabut ucapannya

Lebih lanjut, menurut politisi dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu sulit menafikan pendidikan tinggi sudah menjadi kebutuhan yang wajib. Sebab, mayoritas lowongan pekerjaan yang ada mengisyaratkan minimal pendidikan lulusan sarjana.
"Kita tahu persis kalau kita melamar pekerjaan, semua yang membuka job, gak ada yang kriterianya pendidikan akhir minimal SMP atau SMA. Semua (lowongan pekerjaan) meminta minimal pendidikan akhir S1 atau sarjana," kata Huda.
Oleh sebab itu, ia meminta kepada Kemendikbud untuk mengoreksi pernyataan pejabat tingginya tersebut.
2. Komisi X DPR akan panggil Nadiem Makarim untuk jelaskan kenaikan UKT

Sementara, Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf mengatakan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sangat mendadak dan tidak manusiawi. "Kalau kenaikannya 10 atau 20 persen sangat mungkin ditolerir. Tapi, kalau kenaikannya 300 sampai 500 persen tidak manusiawi," ujar Dede ketika menerima audiensi dengan Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) pada 16 Mei 2024 lalu.
Ia pun mempertanyakan alasan kenaikan UKT yang serentak dalam waktu yang bersamaan di sejumlah perguruan tinggi negeri. Untuk mendapatkan jawaban itu, ia mengatakan komisi X bakal memanggil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.
"Besok Menteri (Nadiem Makarim) akan kami panggil. UKT ini harus dilakukan secara bijak dan perlu di-review," kata politisi dari Partai Demokrat itu.
3. Kenaikan UKT di kampus negeri sampai 500 persen

Sementara, mahasiswa berusaha mencari solusi agar kebijakan kenaikan UKT dibatalkan oleh pihak rektorat. Salah satunya dengan mengadakan audiensi bersama komisi X DPR.
Presiden BEM Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Maulana Ihsanul Huda di dalam audiensi tersebut mengatakan kenaikan UKT di kampusnya menembus hingga ke angka 500 persen. Ia mengambil contoh fakultas tempatnya menuntut ilmu di Fakultas Peternakan.
"UKT di Fakultas Peternakan yang sebelumnya Rp2,5 juta menjadi Rp14 juta. Itu untuk tingkatan paling tinggi. Bagaimana kami tidak marah, dengan hasil seperti itu?" ujar Maulana seperti dikutip dari YouTube komisi X DPR pada Minggu (19/5/2024).
Ia mengaku pihak mahasiswa Unsoed sudah melakukan audiensi dengan pihak rektorat. Tetapi, hasilnya belum memuaskan mahasiswa. Tidak ada pergantian kebijakan yang signifikan.
"UKT di fakultas peternakan hanya turun Rp81 ribu. Itu benar-benar menjadi keresahan kami. Hal semacam ini juga terjadi di banyak kampus, mulai dari Universitas Mataram, Universitas Bengkulu, UNS, Universitas Diponegoro, UIN Jakarta, hingga Universitas Brawijaya. Ini serentak (pemberlakuan UKT) di Indonesia," tutur dia.
Para mahasiswa pun mempertanyakan alasan di balik kenaikan serentak UKT. Pihak rektorat mengacu kepada Permendikbud nomor 2 tahun 2024 dan dilanjutkan dengan Kepmen nomor 54 tahun 2024.
"Peraturan itu mengatur tentang SSBOPT (Satuan Standar Biaya Operasional Perguruan Tinggi)," katanya lagi.