KemenPPPA: Penyandang Difabel Rentan Alami Kekerasan Berlapis

Jakarta, IDN Times - Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Nahar, mengatakan penyandang difabel adalah kelompok yang rentan mengalami tindakan diskriminatif dalam berbagai kehidupan, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, hingga kesehatan.
Dia juga mengatakan, penyandang difabel juga rentan mengalami eksploitasi dan berbagai bentuk kekerasan lainnya.
“Kerentanan berlapis atas kejadian tersebut pun harus dialami oleh perempuan dan anak perempuan penyandang difabel. Hal itu karena identitas ganda mereka sebagai bagian dari kelompok-kelompok rentan di masyarakat," kata dia, dikutip Jumat (11/2/2022).
1. Selama 2021 ada 987 kasus kekerasan pada anak difabel

Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat, sepanjang 2021 terjadi 987 kasus kekerasan pada anak difabel, dengan rincian 264 kasus dialami anak laki-laki dan 764 anak perempuan.
Data yang sama mengungkap, jenis kekerasan yang paling tinggi jumlah korbannya adalah kekerasan seksual, yaitu 591 korban.
“Anak penyandang difabel rentan dijadikan korban kekerasan seksual, bahkan oleh orang terdekatnya. Hal ini membuat anak difabel merasa hidupnya tidak aman dan merasa tertekan,” ujar dia.
2. Upaya penghapusan kekerasan seksual penyandang difabel

Upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan, terutama kekerasan seksual terhadap penyandang difabel, khususnya di lingkungan pendidikan tengah digalakkan KemenPPPA. Di antaranya pembentukan Forum Koordinasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas, penyusunan buku panduan, hingga melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis dengan berbagai tema.
“Hal ini kami lakukan karena hasil kajian cepat terkait pemantauan perlindungan peserta didik penyandang difabel di satuan pendidikan inklusi menunjukkan, sebanyak 22,6 persen peserta didik penyandang difabel mengaku pernah mengalami kekerasan,” ungkap Nahar.
Selain itu, pemerintah telah mengupayakan regulasi sanksi pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak penyandang difabel.
“Pasal 81 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tegas menyebutkan, hukuman maksimal dapat diterapkan terhadap pelaku, yaitu pidana mati, seumur hidup, dan penjara antara 10 hingga 20 tahun penjara, apabila korbannya lebih dari seorang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,” kata dia.
3. Minta pemerintah daerah lebih aktif sosialisaskian pencegahan kekerasan

Pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik dan Pengumuman Identitas. Ketentuan ini dapat menjadi hukuman pidana tambahan, apabila pelaku melakukan persetubuhan berulang atau pernah dipidana sebelumnya.
“KemenPPPA berharap agar pemerintah daerah lebih aktif melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan kepada anak difabel, termasuk menyosialisasikan berbagai peraturan yang ada,” ujarnya.
Nahar pun menekankan pentingnya partisipasi masyarakat untuk melapor kepada lembaga terkait apabila mengetahui atau melihat adanya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang difabel.
“Masyarakat juga dapat menghubungi layanan Sahabat Perempuan dan Anak 129 (SAPA129) melalui Call Center 129 atau Whatsapp 08111-129-129,” tutup Nahar.