Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Pada persidangan ini, KPU Provinsi Papua Pegunungan (Termohon) menghadirkan Aswanto sebagai ahli. Dalam keterangannya, Aswanto menjelaskan permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formil karena apa yang diminta tidak diuraikan dalam posita.
“Tidak boleh meminta sesuatu pada petitum kalau tidak diurai di posita atau dengan kata lain, positalah yang menjadi dasar untuk mengajukan sesuatu,” ujar Aswanto.
Lebih lanjut, Aswanto juga memberi keterangan berkenaan dengan tidak terpenuhinya ambang batas selisih suara dalam PHPU Gubernur Papua Pegunungan tersebut. Menurutnya, apa yang didalilkan oleh Pemohon tidak terdapat kejadian khusus sehingga tidak ada alasan bagi Mahkamah untuk kembali ke Pasal 158 UU 10/2016.
“Menurut saya apa yang didalilkan oleh Pemohon itu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu kejadian yang khusus, sehingga menurut saya, Majelis Hakim Yang Mulia tidak ada halangan atau kendala untuk kembali ke Pasal 158 bahwa permohonan ini tidak bisa diterima karena tidak memenuhi syarat formil, syarat formil ambang batas dan syarat formil sebuah permohonan yaitu ada kesesuaian antara posita dan petitum,” jelas Aswanto.
Selain menghadirkan Aswanto, Termohon juga menghadirkan Nur Hidayat Sardini. Dalam keterangannya, ia mengatakan kuantitas suara rakyat dalam Pemilu adalah suara yang benar-benar menjadi suara yang tidak terbantahkan kecuali ditemukan hal-hal lain yang menjadi penghalangnya atau kemudian yang membatalkannya.
“Siapapun yang mencoba untuk tidak mengakui hasil pemilu dan atau pilkada tentu saja berarti berusaha untuk merusak hukum tertinggi termasuk kekuatan negara,” ujar Hidayat.
Lebih lanjut, Hidayat menuturkan bahwa UU Pemilu dan termasuk juga UU Pilkada telah menunjuk Bawaslu sebagai lembaga yang berwenang untuk menangani pelanggaran administrasi dan sengketa proses Pemilu dan Sentra Gakkumdu sebagai lembaga yang berwenang untuk menangani tindak pidana Pemilu. Artinya, dalam sistem keadilan Pemilu semua dapat diselesaikan keberatannya dengan mekanisme komplain secara berjenjang.
“Jadi sistem keadilan pemilu mensyaratkan secara formil, formilnya harus dilihat siapa Pemohonnya, Termohonnya, pelanggarannya apa, dan seterusnya yang pada intinya semua apa yang dituduhkan, semua yang didalilkan, semua hal yang disampaikan itu tetap harus diuji dan pengujian itu melalui jenjang-jenjang yang sudah ditentukan oleh UU,” ujar Hidayat.
Adapun Pasangan Calon Nomor Urut 1 John Tabo dan Ones Pahabol selaku Pihak Terkait menghadirkan Maruarar Siahaan sebagai ahli. Senada dengan Aswanto, Maruarar juga memberi keterangan berkenaan dengan syarat formil permohonan.
Bahkan, Maruarar juga menuturkan, Pemohon tidak bisa mendalilkan dengan pas dari sudut prosedural formil dan juga dari sudut materiil serta tidak bisa mendukung apa yang sudah didalilkan. Terutama terkait dengan prosedur tentang pelanggaran-pelanggaran yang seharusnya sudah ada lebih dulu di tangan Bawaslu. Oleh karena itu, Maruarar berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak ada jalan untuk masuk dan tidak bisa melewati pintu treshold.
“Dari sudut formal juga tidak dapat kita katakan lolos apalagi dari sudut materiil untuk membuktikan fakta-fakta yang diuraikan di dalam permohonan, tidak ada jalan masuk, pak ketua. Oleh karena itu, untuk permohonan saya kira ya bisa dipikirkan oleh majelis apa yang terbaik tetapi menurut saya tidak bisa melewati pintu treshold,” ujar Maruarar.