Oleh Habil Razali
BANDA ACEH, Indonesia — Minggu pagi, 3 Juni 2018, Akhun duduk sembari berbincang dengan dua temannya. Ketiganya duduk melingkar di muka sebuah warung kopi. Pagi itu, pria berusia 56 tahun itu baru saja menyantap sarapan pagi dan segelas kopi di sebuah warung kopi di Pasar Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
"Kami sering minum kopi di sini, tapi jam 09:00 harus tutup warungnya," kata Akhun.
Bulan Ramadan, Pemerintah Kota Banda Aceh mengeluarkan imbauan agar warganya menutup semua warung minuman dan makanan.
Mereka baru diperbolehkan buka pukul 16:00 WIB, menjelang berbuka puasa. Kemudian tutup lagi saat salat Isya hingga selesai pelaksanaan salat Tarawih. Seruan itu juga berlaku bagi non Muslim.
Provinsi Aceh memiliki kewenangan untuk menerapkan syariat Islam. Sejak tahun 2014, Aceh memiliki qanun atau peraturan daerah tentang hukum jinayah. Dalam qanun itu diatur tentang cara pelaksanaan syariat Islam yang melarang perjudian, zina, minum minuman-minuman beralkohol, dan khalwat. Pelanggar qanun akan dihukum cambuk di muka umum.
Memasuki Ramadan, Wilayatul Hisbah (WH) atau polisi syariat akan menindak tegas warga Aceh yang melanggar imbauan pemerintah. Mereka rutin melakukan razia ke warung-warung. Mereka memantau jika ada warga yang melanggar membuka warung pada siang hari.
Usai minum kopi, Akhun tidak langsung pulang. Pagi itu, Ramadan masih hari ke-18. Minum kopi di warung pada pagi hari di bulan puasa bukanlah hal yang lumrah di Aceh. Mereka terus digeluti rasa was-was akan kedatangan polisi syariat yang melakukan patroli. "Kalau jam 09:00 masih panas kompornya ditegur," kata Akhun.
Akhun adalah satu di antara puluhan warga etnis Tionghoa yang menyantap sarapan pagi di warung kopi. Menjelang bulan Ramadan, Pemerintah Kota Banda Aceh telah membuat sebuah kesepakatan dengan warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Banda Aceh.
Khusus untuk warung milik keturunan Tionghoa, mereka boleh buka dan menjajakan makanannya dari pukul 05:00 hingga 09:00 WIB. Jika lewat jam tersebut, maka polisi syariat akan merazia dan mengangkut barang jualan mereka sebagai sitaan.
Akhun sehari-hari menjual rempah-rempah di Pasar Peunayong. Dia tidak setuju dan keberatan dengan aturan harus menutup warung yang diterapkan. "Kalau tidak mau ikuti peraturan, jangan tinggal di sini," kata petugas polisi syariat kepada Akhun suatu kali dia memprotes.
Akhun kemudian menunjukkan seorang perempuan kepada Rappler. Namanya Ayen. Dia etnis Tionghoa yang membuka usaha restoran. Selama Ramadan, restoran miliknya terpaksa tutup. "Tinggal di Aceh enak, tapi susahnya waktu bulan puasa," kata Ayen. "Kami di sini kalau bulan puasa, seperti tikus dikejar-kejar sama kucing," tamsil Ayen.
Perempuan itu mengibaratkan tikus adalah etnis Tionghoa dan kucing adalah polisi syariat.
Sama seperti Akhun, dia juga pernah mendapat jawaban "Kalau tidak ikuti aturan, jangan tinggal di sini". Ayen tampak geram dengan jawaban itu. "Enggak usah suruh pindah, kami pasti pindah," kata Ayen. "Seharusnya kami non Muslim kan boleh jualan."