Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-07-21 at 15.35.05.jpeg
Ketua Dewan Pers, Prof. Komaruddin Hidayat saat wawancara program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Intinya sih...

  • Pidato Prabowo memiliki dua sisi, yakni orasi yang memotivasi dan kekuatan untuk menyampaikan kondisi riil.

  • Fenomena tagar #IndonesiaGelap bukan hanya karena pidato pesimistis, tapi juga refleksi psikologis masyarakat terhadap kondisi sosial ekonomi.

  • Kompleksitas masalah pengangguran dan ketimpangan di masyarakat menjadi perhatian utama Ketua Dewan Pers.

Jakarta, IDN Times — Ketua Dewan Pers, Prof. Komaruddin Hidayat, mengungkapkan perasaannya yang cukup unik setiap kali Presiden Prabowo Subianto hendak berpidato. Menurutnya, ada perasaan was-was yang muncul bercampur harapan besar, sebuah sensasi yang mengingatkannya pada gaya Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Hal itu Komaruddin sampaikan dalam program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times.

“Setiap Pak Prabowo naik mimbar, saya itu agak was-was campur harap,” ujar Komaruddin di Studio IDN Times, di kantor IDN HQ, Jakarta, Senin (21/7/2025).

1. Pidato Prabowo dinilai memiliki dua sisi

Ketua Dewan Pers, Prof. Komaruddin Hidayat saat wawancara program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Komaruddin menilai, gaya pidato Presiden Prabowo memang khas. Sebagai mantan jenderal dan pemimpin, Prabowo memiliki kekuatan orasi yang membakar semangat audiens. Namun, Komaruddin juga mengingatkan, pidato seorang presiden memiliki dua sisi, antara menyampaikan kondisi riil yang terjadi atau sekadar membakar motivasi publik.

“Mana yang deskriptif menyuarakan kenyataan, dan mana yang sekadar slogan harapan ke depan? Itu dua hal yang berbeda,” kata dia.

2. Singgung soal Indonesia Gelap

Ketua Dewan Pers, Prof. Komaruddin Hidayat saat wawancara program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Ia juga menyoroti fenomena tagar #IndonesiaGelap yang sempat ramai di media sosial. Menurut Komaruddin, munculnya ungkapan “Indonesia gelap” bukan semata-mata karena pidato atau narasi pesimistis, melainkan refleksi psikologis masyarakat terhadap kondisi sosial ekonomi yang mereka rasakan sehari-hari.

“Tanpa pidato pun, tanya saja mahasiswa atau masyarakat, memang terasa gelap dalam artian banyak yang pesimis. Tamat kuliah susah cari kerja, bahkan sarjana juga banyak menganggur,” ucap dia.

Komaruddin menjelaskan, kondisi itu semakin terasa ketika masyarakat membandingkan kondisi Indonesia dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, Singapura, Jepang, atau China.

“Indonesia ini kaya sumber daya, banyak penduduknya, tetapi masih stagnan. Kita masih menjadi pasar, bukan produsen,” ujar dia.

3. Masih ada ketimpangan di masyarakat

Ketua Dewan Pers, Prof. Komaruddin Hidayat saat wawancara program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Masalah pengangguran, menurutnya, semakin kompleks dengan data yang menunjukkan jutaan sarjana menganggur. Tidak heran, banyak generasi muda merasakan kegelapan masa depan. Bahkan, banyak mahasiswa penerima beasiswa luar negeri pun mengaku lebih sejahtera saat menjadi mahasiswa dibanding ketika sudah bekerja di Tanah Air.

Komaruddin juga menyinggung soal ketimpangan dalam distribusi jabatan publik.

Editorial Team