Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times)
Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times)

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menyayangkan putusan hakim di tingkat kasasi, yang mengurangi hukuman terpidana kasus kekerasan seksual sekaligus pengasuh pondok pesantren di Jember, Jawa Timur, FM.

FM bebas bersyarat usai menjalami hukuman penjara selama setahun, dari total vonisnya delapan tahun penjara dari Pengadilan Negeri (PN) Jember. Vonis FM disunat menjadi dua tahun, dan disebut sudah menjalani dua pertiga masa penahanan, usai kasasinya dikabulkan Mahkamah Agung (MA).

MA meringankan hukuman yang dijatuhkan PN Jember menjadi dua tahun penjara, dan denda Rp50 juta subsider dua bulan penjara. Namun, dia tetap wajib lapor hingga 16 Januari 2024.

1. Keputusan pengurangan hukuman bisa menimbulkan preseden buruk

Ilustrasi kekerasan seksual. (IDN Times/Mardya Shakti)

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan pemeriksaan hakim tingkat pertama dan banding di Pengadilan Negeri (PN) Jember, yang memeriksa fakta-fakta Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), seharusnya diperkuat hakim kasasi.

Perempuan yang akrab disapa Ami itu menekankan pentingnya mempertimbangkan relasi kuasa yang tebal, antara kiai FM dan santri, serta potensi keberulangan kasus serupa.

"Sehingga tujuan lembaga pendidikan keagamaan, termasuk pesantren sebagai ruang aman dari kekerasan seksual sulit terwujud," kata dia kepada IDN Times, Selasa (23/7/2024).

Langkah yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah Kementerian Agama, termasuk Dirjen Pesantren untuk bisa memastikan pesantren terkait telah melaksanakan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2022, mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan.

"PMA 73/2022 penting untuk disosialisasikan dan pesantren disupervisi untuk penyusunan SOP PPKS. Karena jika tidak dilakukan, kekerasan seksual di lingkungan pesantren akan terus terjadi," kata dia.

2. Khawatir korban TPKS bungkam

Ilustrasi kekerasan pada perempuan dan anak. (IDN Times/Nathan Manaloe)

Ami mengatakan ada dampak potensial dari putusan MA, yang mengurangi hukuman tinggi dalam kasus TPKS terhadap kepercayaan korban pada sistem peradilan pidana.

"Kekhawatirannya korban TPKS dengan pelaku yang memiliki kuasa yang kuat seperti tokoh agama, akan memilih bungkam akan kekerasan yang di dalamnya," kata dia.

3. Perlunya penanganan TPKS yang lebih cermat

Komnas Perempuan meluncurkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2024 tentang Data Kasus Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan Tahun 2023 di Jakarta, Kamis (7/3/2024). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Komnas Perempuan, kata Ami, merekomendasikan agar seluruh hakim bisa meningkatkan pertimbangan secara cermat dan komprehensif, dalam menangani kasus TPKS yang diperiksa. Terutama dengan mengedepankan kepentingan korban.

Perlu diketahui, ustaz FM dinyatakan bersalah melanggar Pasal 82 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 76 huruf E UU RI Nomor 17 Tahun 2017, tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002.

FM terbukti melakukan kekerasan seksual pada santrinya sendiri dan divonis pada 16 Agustus 2023 dengan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan penjara. Dia kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan dikabulkan dengan pemangkasan hukuman menjadi dua tahun.

Editorial Team