Kisah Giri, Mahasiswa Difabel Netra Raih Sarjana di UGM

Jakarta, IDN Times - Senyum Giri Trisno Putra Sambada (25) terus mengembang usai diwisuda. Dia tidak menyangka, dengan keterbatasan fisiknya bisa menyandang gelar Sarjana Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM).
Giri merupakan disabilitas netra yang membuktikan kekurangan fisik tak menjadi hambatan untuk menorehkan prestasi.
Rabu, 23 Februari 2022 merupakan hari bersejarah baginya. Sebab, di hari itu ia berhasil diwisuda dengan Indeks Prestasi 3,43 atau sangat memuaskan dari prodi Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.
"Momen wisuda ini menjadi kado ulang tahun bagi ayah yang berulang tahun tepat di hari ini," ujarnya dikutip laman resmi UGM, Jumat (25/2/2022).
1. Penglihatan Giri mulai hilang di semester dua

Perjalanan Giri untuk meraih gelar sarjana memang tidak mudah. Awalnya dia merupakan remaja yang normal seperti anak-anak lainnya. Namun, ia mulai kehilangan pengelihataan saat berada di bangku kuliah pada 2015 silam.
“Saat masuk UGM masih bisa melihat, hingga semester dua Allah mengambil pengelihatan saya secara total. Seolah runtuh semua cita-cita, hilang semua harapan, seperti tak mungkin lagi menjadi apa-apa. Namun, dengan motivasi dan tekad yang tinggi serta keterbukaan UGM melayani pendidikan yang inklusif, hari ini saya bisa berada di wisuda ini bersama teman-teman,” papar Giri.
Giri merupakan putra pertama pasangan Sutrisno (55) dan Ngersi Suprihatin (45) yang tinggal di Minggiran MJII/1197, Matrijeron, Yogyakarta. Kedua orang tuanya sehari-hari berjualan soto di daerah Tamanan, Bantul.
Sebelumnya, ayahnya sempat memiliki usaha event organizer, namun karena kondisi kesehatan mengidap diabetes dan jantung koroner memaksanya berhenti menjalankan usaha tersebut dan memilih membantu istrinya berjualan soto.
Sementara sang adik, Avitrsina, saat ini tengah menempuh pendidikan sarjana masuk semester empat di salah satu perguruan tinggi swasta Yogyakarta.
2. Giri didiagnosis ada peradangan pada saraf mata
.jpg)
Giri menceritakan fungsi pengelihatannya menurun saat ia mengikuti perkuliahan di kelas. Tanpa merasa sakit, secara tiba-tiba, ia mulai tidak bisa melihat lagi. Semua terlihat samar, dan semua wajah teman-temannya hanya berwarna putih.
Ia pun menjalani perawatan di RSUP Dr. Sardjito sekitar 4 bulan dengan diagnosis ada peradangan pada saraf mata, dengan penyebab yang masih belum bisa diketahui.
“Waktu itu kan rawat inap pertama sekitar 10 hari lalu pulang kerumah, itu masih masa masa ujian akhir semester (UAS). Saya nekat ngampus untuk UAS, tapi sampai kelas nangis karena tidak bisa membaca dan nulis akhirnya pulang dijemput bapak,” ungkap Giri, yang merupakan mahasiswa angkatan 2014.
3. Giri tidak menyerah dengan keadaan

Ia sempat sedih ketika menyadari sudah tidak bisa melihat seperti sedia kala. Ia bingung bagaimana nantinya menjalani perkuliahan dengan kondisi difabel. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk cuti kuliah selama lima semester.
Selama masa cuti tersebut, ia menjalani terapi di berbagai tempat, namun hasilnya nihil. Pengelihatannya memburuk hingga semua terasa hitam dan gelap.
Namun, ia tidak menyerah dengan keadaan. Ia terus memotivasi diri dengan keterbatasan yang ada, tidak boleh menjadi batu sandungan untuknya melangkah lebih jauh.
“Saya berusaha untuk menunjukkan pada semua orang, meski penyandang difabel tapi bisa berprestasi yaitu dengan kembali kuliah,” jelasnya.
4. Suasana kuliah inklusi bagi difabel

Ia pun memutuskan untuk kembali masuk kuliah pada 2018. Namun, masih ada kecemasan yang menggelayut di benaknya, apakah ia nantinya bisa mengikuti kuliah. Tak hanya teman-teman yang semua baru, tetapi juga soal akses dalam pembelajaran.
Ia terus berkomunikasi terkait tantangan belajar dan kebutuhan penunjangnya. Dengan bantuan teman-temannya, dosen, fakultas, serta dukungan universitas, persoalan yang dihadapinya akhirnya terurai satu per satu.
"Saat masuk, itu kepedulian terhadap difabel belum seperti saat ini, tetapi dengan usaha dan komunikasi yang baik, bisa terbentuk suasana inklusif bagi difabel," katanya.
5. Tantangan saat ikuti perkuliahan daring

Pandemik COVID-19, yang menuntut perkuliahan daring, menjadi tantangan baru baginya. Sebab, masih ada beberapa dosen yang menggunakan platform yang kurang aksesibel bagi penyandang difabel.
"Saat kuliah daring cukup kesulitan karena banyak yang harus dilakukan secara mandiri, tapi lagi-lagi dengan komunikasi semua bisa berjalan baik. Untuk mata kuliah yang kuantitatif ada fasilitasi asisten dosen yang datang ke rumah," sebutnya.
Menurutnya, UGM merupakan kampus yang ramah bagi penyandang difabel. Namun, ia berharap ke depan UGM bisa terus mengembangkan pendidikan dan lingkungan yang semakin inklusif bagi mahasiswa penyandang difabel.
6. Giri raih beragam prestasi di tengah keterbatasannya

Giri merupakan sosok yang penuh prestasi. Berbagai prestasi tingkat daerah hingga nasional pernah diraihnya sejak bangku SD hingga SMA. Beberapa di antaranya adalah juara lomba dongeng tingkat DIY, OSN IPS SMP Tingkat Kota Yogyakarta, OSN Ekonomi SMA tingkat Kota Yogyakarta, dan juara nasional Duta Budaya dan Tradisi Indonesia. Lalu masuk ke UGM pun melalui jalur prestasi, yakni SNMPTN Undangan.
Menjadi difabel tak mematahkan semangatnya untuk tetap berprestasi. Ia berhasil mendapatkan beasiswa pendidikan sarjana dari Tanoto Foundation. Saat ini, ia kembali bisa memperoleh beasiswa dari lembaga tersebut untuk melanjutkan pendidikan jenjang S2 di FEB UGM. Giri telah dinyatakan diterima kuliah program Magister Sains FEB UGM.
Dinilai sebagai mahasiswa difabel berprestasi, ia terpilih menerima penghargaan dari Presiden yang diserahkan oleh staf khusus presiden Angkie Yudistia pada Desember 2021 lalu.
Lalu, hasil penelitiannya untuk tugas akhir atau skripsi berjudul 'Manajemen di Era Digitalisasi' juga terpilih masuk menjadi book chapter yang akan diterbitkan Departemen Manajemen FEB UGM. Ia pun banyak diundang menjadi pembicara di berbagai kesempatan terkait menumbuhkan lingkungan inklusif bagi difabel.