Koalisi Masyarakat Sipil Desak Ketum Parpol Dukung RUU Perampasan Aset

Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi mendesak para ketua umum partai politik agar segera mengganti kader mereka yang duduk di Komisi III DPR namun tak bersedia mendukung pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. Sebab, RUU itu sudah sejak lama didorong oleh pemerintah agar segera disahkan. Dengan memiliki RUU itu, pemerintah nantinya bisa lebih mudah merampas aset dari para tersangka kasus korupsi yang terbukti dibeli dengan uang hasil tindak kejahatannya.
Pernyataan koalisi itu merupakan tindak lanjut dari pendapat yang disampaikan oleh politisi PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto di ruang rapat Komisi III DPR pada 29 Maret 2023 lalu. Saat itu, pria yang akrab disapa Bambang Pacul, menyebut upaya pemerintah untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset bakal terbentur tembok besar. Hal itu lantaran belum ada instruksi yang masuk ke dirinya dari ketum parpol agar segera membahas RUU tersebut.
"Pak Mahfud tanya kepada kami, 'tolong dong RUU Perampasan Aset dijalani, republik di sini gampang kok. Lobinya jangan di sini, Pak. Ini Korea-Korea yang ada di sini (Komisi III) nurut ke bosnya masing-masing.' Di sini boleh ngomong galak, tapi kalau tiba-tiba Bambang Pacul ditelepon ibu 'Pacul (berhenti bahas RUU Perampasan Aset)', ya harus jawab siap. Saya siap laksanakan," ungkap Bambang ketika itu.
Menurut koalisi, pernyataan Bambang Pacul menjadi penjelasan mengapa produk hukum bermasalah yang lebih dulu disahkan. Produk hukum itu antara lain revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), UU Cipta Kerja, UU Minerba, hingga pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang.
"Keseluruhan produk hukum itu menjadi bukti konkret bahwa pembentukan regulasi merupakan hasil dari konsolidasi elit politik dan bisnis yang telah berhasil mengekang demokrasi," kata Koalisi Masyarakat Sipil di dalam keterangan tertulisnya dan dikutip pada Rabu (5/4/2023).
"Atas dasar tersebut, maka kami mendesak setiap ketua umum partai politik untuk mengganti anggota DPR di komisi III yang tidak mendukung percepatan pengundangan RUU Perampasan Aset," tutur mereka lagi.
Apa yang menyebabkan RUU Perampasan Aset tidak begitu mendesak untuk disahkan oleh anggota parlemen?
1. RUU Perampasan Aset lambat dibahas karena bakal dianggap senjata makan tuan

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil mengakui pada kenyataannya di lapangan RUU Perampasan Aset memang mengalami kendala dalam proses pembahasannya. Ia menyebut ada sejumlah kekhawatiran dari sejumlah pihak seandainya RUU itu disahkan menjadi undang-undang. Maka, tak heran bila pembahasannya lambat bak siput.
RUU Perampasan Aset sudah sempat masuk ke dalam prolegnas 2022. Namun, tiba-tiba malah dikeluarkan oleh parlemen.
"Seingat saya pada tahun 2022 yang lalu, tepatnya di bulan 9, kami juga bicara soal ini. Memang hari ini perjalanannya seperti siput. Jadi, perjalanannya seperti siput, mungkin juga pakai falsafah alon-alon asal kelakon, biar lambat asal selamat," ungkap Nasir pada 1 Maret 2023 lalu.
Ia menjelaskan bahwa pihak yang memiliki aset di Tanah Air adalah orang-orang yang memiliki kuasa. Mereka khawatir seandainya RUU itu disahkan maka bisa berbalik merugikan diri mereka sendiri.
"Karena memang ada kekhawatiran seperti senjata makan tuan atau ke mana undang-undang ini mau diarahkan. Sebab yang punya aset adalah orang yang punya kuasa," kata dia.
Maka, tak heran, katanya lagi, bila parlemen terkesan lambat membahas RUU Perampasan Aset. Karena memang, para anggota DPR RI ini memiliki kuasa yang notabene juga mempunyai banyak aset.
2. RUU Perampasan Aset bisa memudahkan penelusuran harta yang diperoleh dengan cara tak sah

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan RUU Perampasan Aset diharapkan bisa membuat pengusutan perolehan harta seperti dalam kasus Rafael Alun tidak berbelit atau bahkan tidak akan terulang di masa yang akan datang.
"Harapannya RUU Perampasan Aset bisa menjembatani norma illicit enrichment (kekayaan yang diperoleh dengan tidak sah) yang sebetulnya ada di UNCAC (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Melawan Korupsi). Tapi, belum ada dalam undang-undang kita," ungkap Lalola seperti dikutip dari YouTube ICW pada Selasa (4/4/2023).
Saat ini, sebelum RUU Perampasan Aset disahkan, perampasan aset bisa dilakukan bila seseorang terbukti melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindak pidana pencucian uang (TPPU). Lalola mengatakan harus ada pembuktian pidana asal.
Bila RUU Perampasan Aset nantinya disahkan, maka tindak pidana asal tidak lagi dibutuhkan. Sebab, dikutip dari naskah akademik RUU Perampasan Aset, ada beberapa kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan.
Misalnya tidak ditemukannya atau meninggalnya atau adanya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak bisa menjalani pemeriksaan di pengadilan atau tidak ditemukannya bukti yang cukup untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan, dan sebab yang lainnya.
"Kalau ada harta-harta yang diduga berasal dari kejahatan, dugaan tersebut, salah satunya kok tidak sesuai profil pendapatannya, atau tidak sesuai dengan besaran pajak yang disetorkan dan lain-lain, itu bisa jadi dianggap sebagai dugaan tindak pidana sehingga asetnya bisa diproses," tutur dia.
3. Koalisi masyarakat sipil sentil anggota parlemen yang seharusnya wakili rakyat, bukan ketum parpol

Sementara, di dalam pernyataan itu, Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi menyentil anggota parlemen yang justru menempatkan kedaulatan rakyat di bawah kedaulatan elite partai. Padahal, secara jelas ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan kedaulatan rakyat, bukan berdasarkan kedaulatan partai politik.
Selain itu, pembentukan sejumlah regulasi bermasalah dalam beberapa waktu terakhir memperlihatkan pola yang sama, yaitu pembahasan hingga pengesahannya dilakukan secara cepat dan tertutup. "Sebagai wakil rakyat, DPR seharusnya memiliki keberpihakan kepada publik sebagai konstituennya, tidak lagi berada di bawah bayang-bayang elit partai pengusungnya," kata mereka.
Maka, kini menjadi tanda tanya di benak publik, apakah pembahasan produk hukum yang kontroversial sejalan dengan mandat dan keinginan dari para ketum parpol. "Seandainya memang itu yang terjadi, maka wajar bila publik menilai setiap keputusan DPR adalah keputusan segelintir elite partai, bukan pada kapasitas wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilu," tuturnya.
Maka, realita ini, kata mereka diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pertimbangan dalam pemilu 2024. "Supaya mereka menggunakan hak suaranya secara berhati-hati," ujar koalisi lagi.