Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Jakarta, IDN Times – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) mencerminkan bahwa pembuat kebijakan tidak melibatkan masyarakat dalam menyusun regulasi.

Sebagai informasi, MK menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat atau tidak sesuai dengan UUD 1945. Salah satu alasannya adalah metode dan sistematika pembuatan undang-undang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Keputusan MK yang mau disuarakan (adalah) bahwa rumusan yang disebut kepentingan umum, kepentingan rakyat, memajukan negara, itu tidak hanya bisa disuarakan oleh struktur negara, Presiden, DPR, tapi juga bisa disuarakan oleh rakyat,” kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Choirul Anam dalam diskusi terbatas yang digelar di Hotel Royal Kuningan, Jumat (26/11/2021).

“Artinya, jika itu menyangkut kepentingan rakyat, partisipasi publik harus dipastikan ada. Dalam proses omnibus kemarin kan partisipasinya (rakyat) minim sekali,” tambah dia.

1. Pemerintah jangan memaksakan makna kesejahteraan versi penguasa

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam. (dok. Humas Komnas HAM)

Terkait substansi, Choirul juga mengkritik paradigma satu arah yang menjadi prinsip dasar UU Ciptaker. Dengan kata lain, UU Ciptaker mendefinisikan makna kesejahteraan dan kepentingan umum sesuai penafsiran penguasa.

Hal itu menjelaskan mengapa banyak kritik soal Omnibus Law yang menguntungkan pengusaha besar.

“Rakyat sebagai penikmat pembangunan merasa desain yang ada dalam kebijakan omnibus itu tidak dekat dengan kepentingan mereka. Tapi kan waktu itu tidak memiliki ruang yang pas, sehingga terabaikan suara-suara itu,” ujar Choirul.

2. Selama proses revisi aspirasi masyarakat harus didengar

Infografis UU Cipta Kerja Usai Ketuk Palu (IDN Times/Arief Rahmat)

Putusan inkonstitusional bersyarat mewajibkan pemerintah untuk memperbaiki atau merevisi UU Ciptaker dalam 2 tahun ke depan.

Choirul menyarankan supaya pemerintah lebih mendengarkan masyarakat selama proses perbaikan. Lebih jauh lagi, dia berharap pemerintah bisa membedakan makna sosialisasi dan menyerap aspirasi dalam proses pembuatan kebijakan.  

“Paling gampangnya, kalau yang protes adalah orang yang mengajukan gugatan di MK, itulah yang didengarkan. Minimal catatan itu yang juga dijadikan rujukan. Itu minimal, bisa maksimal bagus. Jadi bukan partisipasi pokoknya semua orang diundang, gak kaya gitu,” beber dia.

3. Pembangunan harus berorientasi pada kepentingan rakyat

Infografik Draf UU Cipta kerja (IDN Times/Sukma Shakti)

Pesan terakhir yang ingin dia sampaikan adalah pemerintah harus lebih mendengarkan suara rakyat, supaya kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Sebab regulasi yang dihasilkan para stakeholder sangat mempengaruhi hajat hidup masyarakat.

“Yang namanya keadilan, kesejahteraan itu ya mendengarkan, siapa yang mau menikmati keadilan dan kesejahteraan? Bukan merumuskan sendiri, terus orang lain harus menanggung. Itu penting, apalagi di masa transisional kaya begini, kesejahteraannya tidak jelas, sumbernya nanti dari mana, kepastian hukum, dan sebagainya,” papar Choirul.

Editorial Team