Dua penyanyi kenamaan, Hendra Samuel Simorangkir (Sammy Simorangkir) dan Lestiani (Lesti Kejora) saat menjadi Saksi gugatan UU Hak Cipta di Gedung MK (dok. Humas MK)
Sementara, Lesti mengaku menerima surat somasi dari kuasa hukum Yonni Dores, pencipta lagu berjudul Ranting pada 1 Maret 2025. Hal itu lantaran Lesti pernah membawakan lagu tersebut sekitar 2016-2018 atas permintaan pihak penyelenggara acara sebagai bagian dari daftar lagu yang disepakati. Peristiwa itu berujung ancaman pidana dan gugatan perdata, karena ketentuan UU Hak Cipta yang multitafsir.
“Tidak berhenti sampai di situ, pada 18 Mei 2025, saya mendapatkan informasi bahwa Yonni Dores secara resmi telah membuat laporan polisi terhadap diri saya ke Polda Metro Jaya, dengan tuduhan melakukan pelanggaran hak cipta atas penggunaan lagu ciptaannya tanpa izin. Hal ini menimbulkan perspektif negatif terhadap diri saya, karena dengan adanya laporan tersebut, saya seakan-akan telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Hak Cipta, sekaligus menunjukkan kegamangan norma hukum terhadap pelaku pertunjukan seperti saya,” ujar dia.
Lesti mengaku memang tidak pernah mengurus langsung perizinan atau pembayaran royalti atas lagu-lagu yang dibawakan. Sebagai penyanyi profesional, Lesti menyebut hanya menjalankan tugas untuk memberikan jasa tampil atau pertunjukan sesuai kesepakatan dengan pihak yang mengundangnya, tidak memiliki akses maupun kapasitas untuk mengetahui variabel-variabel komersial yang menjadi dasar perhitungan royalti, seperti jumlah penonton, harga tiket, atau skala dan kategori acara sebagaimana dipersyaratkan dalam sistem lisensi yang berlaku.
Selain itu, Lesti menyebut, somasi dan laporan pidana yang dibuat pencipta lagu merupakan bentuk nyata kekaburan norma dan ketidakseimbangan posisi hukum antara pencipta lagu dan pelaku pertunjukan. Menurut dia, jika penyanyi yang hanya menjalankan tugasnya sebagai pelaku pertunjukan dapat dituduh melanggar hukum pidana hanya karena membawakan lagu populer, maka praktik ini menciptakan kebiasaan buruk bagi dunia pertunjukan dan industri hiburan nasional.
Sebagai informasi, selain Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025, sidang pengujian UU Hak Cipta ini juga digelar sekaligus untuk Perkara Nomor 37/PUU-XXIII/2025. Dalam permohonannya, para pemohon Perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 terdiri dari Tubagus Arman Maulana atau dikenal Armand Maulana, Nazriel Irham atau akrab disapa Ariel, bersama 27 musisi lainnya sebagai pelaku pertunjukan yang telah berkarya di industri musik Indonesia, berpotensi mengalami masalah hukum dari pasal-pasal yang diuji tersebut.
Pengujian ini berangkat dari beberapa kasus, misalnya yang dialami Agnes Monica alias Agnez Mo. Agnez digugat dan dilaporkan pidana oleh Ari Bias, pencipta dari lagu “Bilang Saja”, karena Agnez Mo dianggap tidak meminta izin secara langsung dan tidak membayar royalti langsung kepada Ari Bias. Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun memutus gugatan tersebut dengan menghukum Agnez Mo mengganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias dan Agnez Mo pun dilaporkan secara pidana ke Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tuduhan pelanggaran Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta.
Sementara, Perkara Nomor 37/PUU-XXIII/2025 dimohonkan lima pelaku pertunjukan yang tergabung dalam grup musik Terinspirasi Koes Plus atau T’Koes Band serta Saartje Sylvia, pelaku pertunjukan ciptaan yang dijuluki sebagai Lady Rocker pertama. T’Koes Band kerap menampilkan lagu-lagu lawas yang dulu dinyanyikan orang lain seperti Koes Plus, D’Mercys, hingga Everly Brothers dan The Beatles. Akan tetapi kemudian T’Koes Band dilarang mempertunjukan lagu-lagu dari Koes Plus per 22 September 2023 melalui para ahli waris dari Koes Plus.
Menurutnya, hal tersebut membuktikan penerapan Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta yang berbunyi “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta” telah merugikan pemohon dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam memperoleh izin.
Padahal, kata pemohon, setiap pertunjukan T’Koes Band telah meminta license dan/atau membayar royalti kepada LMK di Indonesia dan melakukan pendekatan dengan menyerahkan sejumlah nominal uang tertentu kepada sebagian ahli waris Koes Plus walaupun mungkin tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta yang hadir langsung di ruang sidang mengatakan penolakan ahli waris sebagai pemegang hak cipta kepada pemohon, untuk mempertunjukan karya dari Koes Plus merupakan persoalan konkret dan implementasi penerapan dari ketentuan UU Hak Cipta. Karena itu, menurutnya, perlu penyelesaian bersama antara para pemohon, pemegang hak cipta, dan LMK/LMKN yang menjadi wadah para pemohon untuk membayar royalti.