Korban Kekerasan Seksual di Sumsel Dikriminalisasi Pejabat Usai Melapor

- Perempuan berinisial BA dilaporkan usai mengunggah bantahan atas klaim pelaku kekerasan seksual AHP
- Laporan pada BA tidak seharusnya diproses
- Korban tidak dapat dituntut secara hukum atas kesaksian dan laporannya
Jakarta, IDN Times - Empat organisasi masyarakat sipil mengecam keras proses kriminalisasi terhadap BA, perempuan korban kekerasan seksual di Kabupaten Empat Lawang, Sumatra Selatan. BA sebelumnya melaporkan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan AHP.
AHP yang merupakan mantan lurah yang kini menjabat sebagai pejabat eselon III dan Koordinator Sekretaris Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) setempat, melaporkan balik BA dengan dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Langkah hukum ini kami pandang merupakan bentuk kriminalisasi terhadap BA sebagai korban TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), yang bertentangan dengan semangat dan ketentuan dalam Pasal 69 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS,” sebut organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari LBH APIK Jakarta, LBH Palembang, SAFEnet, dan KOMPAKS dalam siaran pers bersama, Rabu (16/7/2025).
Kasus yang awalnya dilaporkan BA ke Bareskrim Polri tersebut, kini dibalikkan dengan laporan oleh AHP ke Polres Empat Lawang. Proses laporan balik ini berlangsung cepat dan terkesan dipaksakan.
“Ketimpangan ini menunjukkan adanya ketidakadilan dan bias institusional yang sangat merugikan korban,” tulis empat organisasi itu.
1. BA dilaporkan usai mengunggah bantahan
.png)
BA dilaporkan usai mengunggah bantahan soal AHP yang disebut-sebut menerima penghargaan lurah berprestasi dari Kementerian Hukum dan HAM. Klaim tersebut terbukti tidak benar, berdasarkan penelusuran media dan surat keputusan kementerian.
“Konten tersebut merupakan fakta hukum yang mencakup pengalaman yang dialami oleh korban, ketika menjadi korban manipulasi dan tindak pidana kekerasan seksual,” tulis mereka.
2. Laporan pada BA tidak seharusnya diproses

Merujuk Surat Keputusan Bersama tiga institusi negara soal implementasi UU ITE, mereka menegaskan, unggahan BA tak melanggar hukum karena memuat fakta dan pengalaman pribadi.
“Selama proses klarifikasi dengan Polres Empat Lawang, BA juga telah menyampaikan bukti-bukti kuat bahwa kalimat yang disampaikan dalam konten merupakan fakta,” kata organisasi masyarakat sipil.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024 menyatakan, Pasal 27A UU ITE tidak berlaku terhadap kritik terhadap jabatan publik. Maka, laporan terhadap BA tidak seharusnya diproses.
3. Korban tidak dapat dituntut secara hukum atas kesaksian dan laporannya

LBH APIK Jakarta, LBH Palembang, SAFEnet, dan KOMPAKS juga menyebut tindakan kriminalisasi ini mencederai komitmen Indonesia dalam meratifikasi ICCPR dan CEDAW, yang menjamin kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap perempuan dari kekerasan berbasis gender.
“Kami mengapresiasi keputusan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) yang sudah menetapkan BA sebagai salah satu terlindung,” tulis mereka.
Empat organisasi ini juga menyatakan berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban, korban tidak dapat dituntut secara hukum atas kesaksian dan laporannya.
4. Minta SP3 dikeluarkan untuk laporan balik pada korban

Selain itu, keempat lembaga ini mendesak Bareskrim Polri memprioritaskan penanganan laporan BA, dan berkoordinasi dengan Polres Empat Lawang, untuk menghindari tumpang tindih penanganan kasus kekerasan sesksual ini. Mereka juga meminta kepolisian segera keluarkan SP3 untuk laporan balik terhadap korban.
“Kami juga mengajak masyarakat, khususnya komunitas digital, untuk tidak menghakimi korban yang bersuara, menunjukkan keberpihakan kepada korban dengan berempati atas situasi korban, serta ikut mengawal proses hukum agar berpihak pada korban, bukan pada pelaku,” tulis mereka.