Sebelumnya, Lili mengatakan, pihaknya mengidentifikasi sejumlah titik rawan korupsi terkait penanganan COVID-19. Hal itu dia sampaikan dalam Konferensi pers Kinerja KPK Semester I 2020.
"Di antaranya terkait pengadaan barang/jasa pemerintah (PBJ). Ada potensi terjadi kolusi, mark-up harga, kickback, konflik kepentingan dan kecurangan," kata Lili di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 18 Agustus 2020.
Terkait pengadaan barang/jasa pemerintah, langkah pencegahan yang dilakukan KPK adalah dengan mengeluarkan SE Nomor. 8 Tahun 2020 tanggal 2 April 2020, tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Barang/Jasa (PBJ) Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 Terkait Pencegahan Korupsi, sebagai rambu-rambu dan panduan bagi pelaksana.
Selain itu, KPK juga mengidentifikasi potensi kerawanan pada pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan dan penyelewengan bantuan/hibah dari masyarakat ataupun swasta yang diberikan kepada Gugus Tugas dan seluruh kementerian/lembaga/pemda.
"Sebagai langkah antisipatif, KPK menerbitkan Surat KPK Nomor B/1939/GAH.00/0 1-10/04/2020 Tanggal 14 April 2020, ditujukan kepada Gugus Tugas dan seluruh kementerian/lembaga/pemda tentang Penerimaan Sumbangan/Hibah dari Masyarakat," ucapnya.
Lili melanjutkan, potensi kerawanan lainnya ada pada alokasi sumber dana dan belanja, serta pemanfaatan anggaran dalam proses refocusing dan realokasi anggaran Covid-19 pada APBN dan APBD. Demikian juga pada penyelenggaraan bantuan sosial (Social Safety Net) oleh pemerintah pusat dan
daerah.
"KPK mengidentifikasi titik rawan pada pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, serta pengawasan. Untuk itu, KPK menerbitkan Surat Edaran Nomor. 11 Tahun 2020 tanggal 21 April 2020 tentang Penggunaan DTKS dan Data non-DTKS dalam Pemberian Bantuan Sosial ke Masyarakat," ujarnya.