KPK Sindir Anggota DPR yang Enggan Memperbarui Laporan Harta Kekayaan

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mewanti-wanti kepada penyelenggara negara agar segera memperbarui laporan harta kekayaannya. Terakhir, para penyelenggara negara ini harus melaporkan harta kekayaan yang mereka peroleh pada periode 2018 lalu. Tenggat waktunya yakni pada 31 Maret 2019.
Lalu, siapa saja yang masuk kategori penyelenggara negara dan wajib memperbarui LHKPN tersebut? Berdasarkan UU nomor 28 tahun 1999 mengenai penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, maka yang wajib melapor yakni pejabat negara pada lembaga tertinggi negara, pejabat negara pada lembaga tinggi negara, Menteri, Gubernur, hakim, pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya penyelenggara negara.
Apakah ini berarti pemimpin BUMN dan BUMD ikut termasuk yang wajib melaporkan? Juru bicara KPK, Febri Diansyah membenarkannya.
"Kalau dilihat dari tingkat eselonnya maka wajib dilakukan oleh pejabat eselon I," ujar Febri melalui pesan pendek pada Senin sore (25/2).
Lalu, jelang satu bulan menuju tenggat waktu, sudah sejauh mana tingkat pelaporannya? Bagaimana tingkat kepatuhan penegak hukum yang lain? Sebab, KPK tidak mencantumkan informasi itu secara detail.
1. DPR menjadi institusi yang paling rendah melaporkan harta kekayaan

Menurut data per Senin (25/2), total sudah ada 58.598 penyelenggara negara yang melaporkan atau memperbarui harta kekayannya. Yang paling banyak melaporkan merupakan penyelenggara negara di tingkat eksekutif.
Dari data sementara KPK, sudah ada 48.294 penyelenggara negara yang sudah melaporkan harta kekayaan mereka. Namun, yang belum melapor, angkanya juga tinggi yakni 212.166 orang.
Sementara, apabila melihat institusi yang paling rendah melaporkan adalah DPR. Dari 524 anggota DPR yang seharusnya sudah melaporkan atau memperbarui harta kekayaan mereka, baru 40 orang saja yang melapor.
Salah satu alasan yang mereka sampaikan ketika itu yakni format pelaporan di data LHKPN tergolong rumit. Namun, hal itu dibantah oleh Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif yang menyebut hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan.
"Apalagi saat ini di format LHKPN online sudah jauh lebih mudah dan sudah disesuaikan. Bahkan, bisa dikoreksi juga setiap saat oleh mereka. Jadi, misalnya ada tambahan selain gaji, ada tambahan usaha lain yang halal (bisa langsung dimasukan ke sana). Kecuali, kalau usaha lain yang tidak halal ya itu memang susah," kata Syarif yang ditemui di gedung KPK pada siang tadi.
2. Mabes Polri baru satu orang yang melapor, sedangkan hanya dua orang pejabat kejaksaan agung yang melapor harta kekayaan

Lalu, bagaimana dengan tingkat kepatuhan para penegak hukum? Ternyata setelah dicek tidak lebih baik dari anggota legislatif di DPR.
Dari peta kepatuhan pelaporan harta kekayaan, terlihat dari 177 orang yang wajib lapor di Mabes Polri, baru 1 orang saja yang sudah lapor. Sementara, di Kejaksaan Agung, dari 335 yang seharusnya melapor atau memperbarui harta kekayaan, baru 2 orang saja yang sudah memenuhi itu. Sayangnya, di dalam sistem peta kepatuhan, KPK tidak mencantumkan berapa banyak pegawai mereka yang belum memperbarui harta kekayaannya.
Walaupun, juru bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, semua yang terdaftar menjadi pegawai lembaga antirasuah sudah wajib mencantumkan harta kekayaannya. Bagi kalian yang penasaran untuk mengecek institusi atau pemprov lain bisa mengakses situs ini: https://elhkpn.kpk.go.id/portal/user/petakepatuhan
3. KPK mewanti-wanti agar semua penyelenggara negara mematuhi aturan untuk melaporkan harta kekayaannya

Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif mengaku lembaga tempatnya bekerja tidak pernah bosan-bosan untuk mengingatkan para penyelenggara negara agar memperbarui secara berkala harta kekayaan mereka. Apalagi dengan rutin memperbarui laporan harta kekayaan tersebut, sudah menunjukkan kontribusi nyata mencegah korupsi.
Memang, harus diakui data yang tertera di laporan harta kekayaan tersebut bisa saja tidak lengkap atau diisi tidak tepat. Walaupun KPK mengaku sudah memverifikasi data-data tersebut. Namun, mereka sering mengingatkan LHKPN tidak bisa dijadikan acuan apakah seorang penyelenggara negara korup atau tidak.
"Tapi, dengan melaporkan harta kekayaan itu menunjukkan niat bahwa semua penyelenggara negara mengikuti semua regulasi yang ada di Indonesia," kata Syarif di gedung KPK.
Ia kemudian menyindir anggota DPR yang tingkat kepatuhannya tergolong rendah dalam pelaporan harta kekayaan. Padahal, mereka turut serta dalam membuat aturan tersebut.
"UU itu kan dibuat oleh DPR, berarti kalau DPR tidak melaporkan harta kekayaannya berarti tidak menjalankan UU yang mereka buat sendiri," kata pria yang sempat menjadi aktivis lingkungan tersebut.
4. KPK tengah mempertimbangkan untuk mendatangi institusi agar bisa membantu mereka isi LHKPN

Untuk membantu para penyelenggara mengisi laporan harta kekayaannya, KPK tengah mempertimbangkan untuk mendatangi secara langsung beberapa institusi. Salah satu institusi yang kemungkinan akan disambangi oleh petugas lembaga antirasuah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
"Karena tingkat kepatuhan DPRD pada tahun lalu 0 persen. Ada kemungkinan akan kami datangi agar bisa membantu PN (Penyelenggara Negara) di sana untuk lebih mudah melaporkan LHKPN," kata Febri menjawab pertanyaan IDN Times pada sore tadi.
5. Kalau tidak memenuhi kewajiban lapor, KPK tetap tidak bisa menjatuhkan sanksi

Sayangnya, kendati KPK memiliki data siapa saja penyelenggara negara yang tidak patuh dalam melaporkan harta kekayaannya, lembaga antirasuah tidak bisa serta merta memberikan sanksi. Sesuai dengan aturan yang tertera di Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nomor 7 tahun 2016 pasal 21, di sana tercantum aturan lembaga antirasuah hanya bisa memberikan rekomendasi kepada atasan langsung atau pimpinan lembaga tempat penyelenggara negara berdinas.
"Sanksi itu bisa berupa sanksi administratif kepada penyelenggara negara yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku," demikian yang tertuang di aturan tersebut.
Sementara, di ayat 2 pasal 21 tertulis apabila penyelenggara negara menulis harta kekayaannya secara tidak benar, barulah mereka bisa dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," demikian isi pasal tersebut.
Aturan untuk melaporkan harta kekayaan juga berlaku bagi calon penyelenggara negara yang berdasarkan UU diwajibkan untuk melaporkan hartanya.