Proses pengangkutan logistik kotak suara oleh KPU Batam (Dok:KPU Batam)
Anjar menjelaskan, dalil pemohon berkenaan dengan pelanggaran yang bersifat TSM dalam kontestasi Pilkada Batam tidak jelas (obscuur). Hal ini karena pemohon mendalilkan adanya pelanggaran TSM di seluruh kecamatan di Kota Batam, tetapi dalam petitumnya pemohon hanya meminta dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di 8 kecamatan.
Terlebih, kata Anjar, pemohon tidak menyebutkan secara jelas soal pelanggaran TSM tersebut terjadi di TPS mana.
“Permohonan pemohon semakin rancu dan tidak jelas karena tidak menguraikan kenapa terhadap sebagian TPS atau sejumlah 1.436 TPS saja yang harus dilakukan pemungutan suara ulang? Padahal jelas menurut Pasal 135 A Ayat 1 UU Pilkada yang dimaksud masif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian,” ujar Anjar
Kemudian, terkait tudingan adanya pelanggaran TSM dalam bentuk ketidaknetralan aparat pemerintah, KPU Batam menganggap pihaknya bukanlah yang memiliki kewenangan dalam menindaklanjuti dugaan pelanggaran tersebut, karena hal tersebut merupakan kewenangan Bawaslu Kota Batam.
Terlebih, Bawaslu Kota Batam tidak pernah menerbitkan rekomendasi atau putusan berkenaan dengan dalil Pemohon tersebut.
“Sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara hingga diterbitkannya Penetapan Hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Batam 2024 tidak ada rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu mengenai sanksi administrasi pemilihan perihal peristiwa yang dipersoalkan pemohon,” ujar Anjar.
Atas dasar hal tersebut, KPU Batam dalam petitumnya memohon agar MK menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya serta menyatakan benar dan tetap berlaku Keputusan Termohon tentang Penetapan Hasil Pilwalkot Batam 2024.