Jakarta, IDN Times - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menilai kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan yang hanya menaikkan upah minimum 2022 sebesar 1,09 persen lebih memihak kelompok pengusaha dibandingkan buruh. Sebab, nominal kenaikan upah itu tidak sesuai dengan kondisi saat ini. Menurut Iqbal, kebijakan ini tak lebih dari legalisasi pemberian upah murah bagi buruh.
Alih-alih menaikkan 1,09 persen, KSPI dan serikat buruh lainnya menuntut agar penetapan kenaikan upah berkisar 7-10 persen. Tetapi, bagi kelompok pengusaha yang tidak mampu bisa menangguhkan pembayaran upah minimum asalkan membuktikan laporan keuangan perusahaan terus merugi selama dua tahun berturut-turut.
"Tapi, ini kan pemerintah malah melindungi pengusaha-pengusaha besar. (Buruh) yang bekerja di pengusaha batu bara, masak kenaikan upah hanya Rp37 ribu. Itu kan gak masuk akal. Begitu juga bagi buruh yang bekerja di industri kelapa sawit, masak kenaikan upah cuma Rp37 ribu?" tanya Iqbal ketika menyampaikan keterangan pers secara virtual dengan tajuk "2 Juta Buruh Tegaskan Siap Mogok Nasional" pada Jumat (19/11/2021).
Ia juga mewanti-wanti pemerintah agar tidak menjadikan UMKM sebagai alasan bagi batas bawah penerapan upah minimum. Sebab, sejak zaman Soeharto dulu, tidak pernah ada penentuan upah minimum dengan menggunakan pendapatan UMKM.
"Akhirnya perusahaan multi nasional pun boleh menurunkan standar gaji bagi karyawan baru. Aturan ini memang tidak berlaku bagi pegawai lama, tetapi boleh gak pegawai baru hanya digaji Rp3 juta? Ya, boleh," kata dia.
Menurut Iqbal nominal kenaikan upah minimum sangat tidak sesuai dengan keuntungan sejumlah perusahaan yang diterima berlipat-lipat di masa pandemik. Contoh perusahaan yang dinilai untung oleh Iqbal yakni kelompok perusahaan Djarum.
"Kekayaannya kelompok Djarum itu bertambah hingga Rp10 triliun," tutur dia lagi.
Lalu, apa yang bakal dilakukan oleh kelompok buruh bila pemerintah berkukuh menerapkan kenaikan upah minimum 1,09 persen pada tahun depan?