Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-07-27 at 16.57.34_1f710b69.jpg
DPP PDIP dalam Peringatan 29 tahun Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) pada Minggu (27/7/2025)

Intinya sih...

  • Kader PDIP tabur bunga dan potong tumpeng untuk mengenang peristiwa Kudatuli

  • Pemerintah diminta akui Kudatuli sebagai pelanggaran HAM

  • Perjuangan Megawati dalam mempertahankan PDIP dari upaya rezim Orde Baru

Jakarta, IDN Times - Di pelataran Kantor DPP PDI Perjuangan pada Minggu (27/7/2025) pagi, puluhan kader banteng berdiri dalam keheningan—mengenang peristiwa berdarah 27 Juli 1996. Peristiwa ini dikenal sebagai Kudatuli: Kerusuhan Dua Tujuh Juli.

Di antara mereka, ada wajah-wajah yang tak asing bagi perjuangan partai berlambang banteng moncong putih itu, seperti Ribka Tjiptaning, Bonnie Triyana, hingga Wiryanti Sukamdani dan Deddy Yevri Sitorus. Semuanya berkumpul untuk satu tujuan yang sama.

Suasana haru langsung terasa sejak acara dibuka dengan doa bersama. Isak tangis terdengar lirih dari sudut-sudut halaman kantor yang menjadi simbol perlawanan pada peristiwa Kudatuli. Mereka yang hadir bukan sekadar kader, tapi juga para penyintas, saksi mata, dan keluarga korban yang hingga kini masih menyimpan luka mendalam.

Prosesi tabur bunga dimulai dari gerbang depan kantor DPP PDIP, lalu menyusuri halaman dan area parkir. Lagu “Gugur Bunga” ciptaan Ismail Marzuki mengalun lembut mengiringi jejak langkah para kader pagi itu. Suara lagu itu tak hanya menambah khidmat suasana, tapi juga membuka kembali ingatan akan derap sepatu, teriakan, dan desing peluru yang pernah mengoyak tempat ini hampir tiga dekade silam.

Ribka Tjiptaning, tokoh senior PDIP, memimpin jalannya tabur bunga. Ia mengajak peserta menabur di titik-titik yang dipercaya sebagai lokasi gugurnya para korban Kudatuli.

“Kader itu harus tidak boleh lupa dengan Kudatuli. Tonggak terjadinya reformasi itu dimulai dari sini,” teriak Ribka dalam orasinya di acara itu.

1. Kader ungkit lagi upaya perampasan kantor PDIP

DPP PDIP dalam Peringatan 29 tahun Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro No. 58, Menteng, Jakarta., pada Minggu (27/7/2025)

Usai tabur bunga, acara dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng—sebuah simbol penghormatan kepada arwah korban dan pengingat bahwa perjuangan mereka belum selesai.

Ribka juga menyinggung pentingnya menata arsip dan narasi peristiwa Kudatuli, agar tidak hilang ditelan waktu atau disamarkan oleh penguasa. Ia menyebut bagaimana saat itu Megawati Soekarnoputri menjadi simbol perlawanan terhadap kediktatoran Orde Baru.

“Saat itu Megawati dizalimi Soeharto, lalu diadu dengan bonekanya, Suryadi. Terjadilah perlawanan rakyat. Di tempat ini terjadi perampasan gedung, dan peristiwa serupa meluas ke daerah-daerah,” kata Ribka.

Perampasan ke kantor-kantor PDIP bukan hanya terjadi di Jalan Diponegoro 58—markas pusat PDIP, melainkan brutal dilakukan di beberapa daerah.

“Bukan cuma Diponegoro 58. Di daerah-daerah pun terjadi perampasan kantor-kantor partai. Harusnya seluruh fraksi ingat akan hal ini," ujarnya.

2. Pemerintah diminta akui peristiwa Kudatuli sebagai pelanggaran HAM

DPP PDIP dalam Peringatan 29 tahun Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) pada Minggu (27/7/2025)

Seorang saksi mata peristiwa Kudatuli yang hadir dalam acara itu mendesak pemerintah mengakui penyerangan 27 Juli sebagai pelanggaran HAM berat. Dengan suara penuh emosi, ia mengajak kader banteng untuk memperjuangkan seluruh kader partai yang gugur dalam insiden Kudatuli.

Bagi PDIP, tanggal 27 Juli adalah hari yang sakral secara ideologis. Perjuangan mempertahankan partai tak akan pernah lekang oleh waktu. Kudatuli terus tercatat dalam memori sejarah.

“Hari ini hari yang sakral. Kita harus terus perjuangkan kawan-kawan kita yang gugur. Kami tidak lupa, 27 Juli,” kata dia sambil mengepalkan tangan kiri.

3. Kudatuli: perjuangan Megawati pertahankan PDIP

Megawati Soekarnoputri saat hadiri pertunjukan teater musik bertajuk 'Imam Al-Bukhari dan Sukarno' yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta, Selasa (15/4/2025) malam (dok. PDIP)

Sebagai informasi, pada 27 Juli 1996, massa pendukung PDI kubu Soerjadi, yang didukung oleh unsur aparatur negara, menyerang kantor DPP PDI yang saat itu diduduki oleh para pendukung Megawati Soekarnoputri.

Penyerangan ini menjadi bagian dari upaya rezim orde baru menggulingkan kepemimpinan Megawati. Kerusuhan kemudian meluas ke berbagai titik di Jakarta, terutama di Jalan Diponegoro, Salemba, dan Kramat.

PDI merupakan fusi dari lima partai politik yaitu Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Murba.

Pada 1993, Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi ketua umum hingga 1998. Namun, terpilihnya Mega tak mendapat restu dari pemerintah, sehingga muncul konflik internal. Pada 1996, PDI menggelar kongres pemilihan ketua umum di Medan, Sumatera Utara yang diprotes Megawati.

Kongres ini lantas memilih Soerjadi sebagai ketua umum dan Buttu Hutapea selaku sekretaris jenderal. Kemudian, pemerintah hanya mengakui PDI versi Soerjadi. Buntut campur tangan pemerintah terhadap PDI, massa pendukung Megawati mengadakan 'Mimbar Demokrasi' di halaman kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.

Ujungnya, pada 27 Juli 1996, kantor DPP PDI diserbu ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih kantor DPP PDI. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan peristiwa 'Sabtu Kelabu 27 Juli' yang banyak menelan korban jiwa.

Laporan Komnas HAM menyebutkan, sedikitnya 5 orang pendukung Megawati tewas, 149 orang luka-luka, dan 23 orang hilang. Pemerintah saat itu menuduh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai dalang kerusuhan, dan banyak dari mereka kemudian dijebloskan ke penjara. Peristiwa ini lantas dikenal dengan sebutan Kudatuli, singkatan dari Kerusuhan Dua Tujuh Juli, atau Sabtu Kelabu.

Saat era reformasi 1998, Megawati kembali mendapat tempat di partai berlambang banteng itu dan diakui sebagai ketua umum. Ia menjabat hingga 2003. Pada 1999, Megawati mengganti nama PDI menjadi PDI Perjuangan (PDIP), yang kemudian dideklarasikan pada 14 Februari 1999 di Istora Senayan, Jakarta. Pergantian nama tersebut dilakukan agar PDI versi Megawati bisa ikut pemilu 1999. Sejak saat itu, nama Megawati masih tidak bergeser dari kursi ketua umum PDIP hingga kini.

Editorial Team