Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-07-01 at 14.31.12.jpeg
HUT Bhayangkara ke-79 di Silang Monas, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025) (YouTube/Divisi Humas Polri)

Intinya sih...

  • Rumusan rangkap jabatan dalam Undang-Undang Polri dinilai sumir dan multitafsir

  • Kejaksaan Republik Indonesia memiliki aturan yang lebih tegas terkait larangan dan batasan rangkap jabatan

  • Undang-Undang No 2 Tahun 2002 menyatakan anggota Polri harus mengundurkan diri sebelum menduduki jabatan di luar kepolisian.

Jakarta, IDN Times - Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan mutasi besar-besaran personel Polri dari level perwira tinggi hingga menengah. Tak sedikit anggota Polri aktif menempati jabatan sipil di kementerian, lembaga, gingga komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Padahal, dalam Undang-Undang Polri, setiap anggota Polri yang menduduki jabatan di luar kepolisian, harus mengundurkan diri atau pensiun. Hal itu tertuang dalam Pasal 28 ayat 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 yang berbunyi, "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian."

Namun rangkap jabatan ini juga menuai sorotan dari berbagai pihak. Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti tumpang tindih dan lemahnya pengaturan rangkap jabatan aparat penegak hukum, khususnya di tubuh Polri. Dalam Research Brief berjudul Konflik Kepentingan: Rangkap Jabatan, ICW menilai aturan yang ada masih multitafsir dan memberi ruang diskresi terlalu besar.

“Contoh paling nyata adalah Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal ini pada prinsipnya melarang rangkap jabatan, tetapi penjelasannya justru membuka pengecualian umum,” tulis ICW dalam laporan penelitiannya, dikutip Senin (7/7/2025).

1. Rumusan dinilai sumir dalam pasal dan bagian penjelasan

Robot Polri (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Pengecualian ini menurut ICW sumir, karena membolehkan anggota Polri merangkap jabatan selama ditugaskan Kapolri atau tidak berkaitan langsung dengan tugas kepolisian. Hal itu memang termuat dalam penjelasan UU Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 28 ayat 3.

“Rumusan yang tumpang tindih ini bukan hanya multitafsir, tetapi juga membuka celah konflik kepentingan,” tulis ICW.

2. Kejaksaan Republik Indonesia mengatur larangan rangkap jabatan dan batasan rangkap jabatan

Kapolri Jendral Pol Listyo Sigit saat menghadiri Bakti Kesehatan dan Donor Darah bertempat di PT Adis Dimension Footwear, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten pada Rabu (2/7/2025). (Dok. Humas Polri)

Berbeda dengan Polri, aturan rangkap jabatan di Kejaksaan dan Kekuasaan Kehakiman diatur lebih tegas. Larangan dan batasannya tercantum jelas dalam Undang-Undang Kejaksaan dan UU Kekuasaan Kehakiman.

ICW juga menduga jabatan ganda perwira tinggi Polri yang merangkap sebagai Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara (BIN) maupun Komisaris BUMN dilakukan demi kepentingan pengamanan.

ICW menjelaskan hal itu termuat dalam Pasal 11, Pasal 11A ayat (1), dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

"Sedangkan Kekuasaan Kehakiman atau lembaga pengadilan mengatur hal serupa dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman," tulis laporan itu.

3. Aturan dalam Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 multitafsir

Ilustrasi Polri (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Lebih detil dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 28 ayat (3) menyebutkan setiap anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian, setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Namun, penjelasan pasal ini justru memperbolehkan jika jabatan tersebut tidak berkaitan dengan kepolisian atau atas penugasan Kapolri.

Ketentuan ini dinilai multitafsir dan berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Pasal 28 juga mengatur prinsip netralitas Polri dari politik praktis dan larangan menggunakan hak memilih maupun dipilih.

Editorial Team