Layak Gak Sih Tim Pemburu Koruptor Dibentuk Kembali?

Jakarta, IDN Times - Meski masih menjadi wacana, dibentuknya kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK) menjadi pro dan kontra. Tim yang diusulkan dibentuk lagi oleh Menko Polhukam, Mahfud MD ini, dinilai tidak efektif dalam menjalankan tugasnya oleh sejumlah pihak.
Bahkan, di antara pimpinan KPK pun menimbulkan pro kontra atas wacana ini. Lantas, apa itu TPK?
1. TPK dibentuk pada masa pemerintahan SBY
Dilansir dari pemberitaan Kompas tahun 2005, TPK dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tim ini dibentuk pada akhir tahun 2004 oleh Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla (JK).
TPK bertugas untuk mencari tersangka sekaligus terpidana kasus tindak pidana korupsi (Tipikor). Tim ini terdiri dari unsur Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Polri. TPK saat itu dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Intelijen, Basrief Arief. Pada tahun 2007, Basrief Arief pensiun. Dia pun digantikan oleh wakilnya, yakni Muchtar Arifin.
Dibentuknya TPK ini juga berlandaskan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang diterbitkan Presiden SBY.
2. Sejumlah prestasi yang pernah diraih TPK
Sejak pertama kali dibentuk, TPK fokus memburu enam terpidana dan tujuh tersangka kasus korupsi, yang berstatus buron. TPK pernah memburu aset milik mantan Presiden Komisaris PT Bank Harapan Sentosa, almarhum Hendra Rahardja di Hong Kong. Kala itu, aset buronan kasus korupsi tersebut bernilai 9,3 juta dollar AS.
Hendra sendiri divonis penjara seumur hidup terkait kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp1,95 triliun.
TPK juga pernah memburu aset milik mantan Direktur Utama Bank Global, Irawan Salim yang berasa di Swiss. Aset itu bernilai Rp500 miliar. Irawan Salim pada saat itu terjerat kasus korupsi Bank Global.
TPK juga berhasil menangkap mantan Direktur Bank Sertivia, David Nusa Wijaya. Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi BLBI senilai Rp1,3 triliun. Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2003 memvonisnya 8 tahun penjara.
Namun, dia kabur ke Amerika Serikat sebelum dieksekusi. Berkat kerja sama dengan FBI, TPK berhasil menangkap David di San Francisco pada 13 Januari 2006.
3. TPK hanya mampu menangkap 4 dari 16 buronan
Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menilai, Tim Pemburu Koruptor saat ini belum dibutuhkan oleh pemerintah.
"Data ICW menunjukkan setelah 8 tahun (2004-2012) dibentuk, faktanya tim ini hanya berhasil menangkap empat buronan dari 16 target penangkapan," ucap Wana Alamsyah dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 10 Juli 2020.
Selain itu, evaluasi terhadap TPK juga tak pernah dipublikasikan oleh pemerintah. Tak hanya itu, berdasarkan catatan ICW, hingga saat ini ada 40 buronan kasus korupsi yang belum juga ditangkap.
"Artinya, yang harus diperkuat dalam hal ini adalah aparat penegak hukumnya. Kebijakan untuk membuat tim baru malah berpotensi tumpang-tindih dari segi kewenangan," ucap Wana.
4. Beda pendapat soal TPK antara pimpinan KPK
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango sebelumnya memberikan respons terkait wacana dibentuknya TPK. Menurutnya, tim tersebut sudah pernah dibentuk, tetapi tak memberikan hasil yang optimal.
"Pembentukan tim ini di tahun 2012 dan senyatanya tidak memberi hasil optimal. Cukup untuk menjadi pembelajaran untuk tidak diulangi lagi," ujar Nawawi saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa, 14 Juli 2020.
Nawawi mengatakan, daripada membentuk Tim Pemburu Koruptor, akan lebih bijak jika pemerintah meningkatkan koordinasi dan supervisi antar-lembaga penegak hukum, serta lembaga terkait lainnya.
Lain halnya bagi Ketua KPK, Firli Bahuri. Menurutnya, wacana itu perlu dilihat dalam perspektif yang positif. Hal ini karena, TPK juga berupaya memberantas korupsi di tanah air.
“Sudah barang tentu harus disambut baik. Seluruh komponen bangsa berkewajiban untuk berupaya keras mencegah dan memberantas korupsi di negeri ini. Karena korupsi adalah extraordinary crime,'' kata Firli dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 15 Juli 2020.
Firli menjelaskan, modus para pelaku korupsi yang melarikan diri ke luar negeri, tentu sangat merepotkan para penegak hukum. Oleh karena itu, mengoptimalkan dan bersinergi dengan setiap instansi penegak hukum sangat diperlukan.
“Jadi jika tim tersebut ada dan terbentuk, kita bisa berkoordinasi dalam upaya menangkap para tersangka DPO kasus korupsi," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata meyakini, TPK tak akan menghalangi kinerja dari lembaga antirasuah. Dia juga menilai, tidak akan terjadi tumpang tindih.
"Kalau dilihat dari tumpang tindihnya apakah penyidikan yang dilakukan Kejaksaan tumpang tindih dengan KPK? Gak kan, pasti ada pembagian pekerjaan. Gak akan tumpang tindih," katanya di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 16 Juli 2020.
Alexander mencontohkan, ketika ada seseorang yang masuk daftar pencarian orang (DPO) oleh KPK, maka pihak Kepolisian akan ikut membantu. Meski dibantu, KPK tidak akan diam saja. Mereka bakal tetap mencari DPO tersebut.
"Nanti kalau misalnya pemerintah jadi membentuk Tim Pemburu Koruptor, kita akan berkoordinasi dengan mereka. Ini loh orang-orang yang masuk dalam pencarian oleh KPK. Bukan berarti kita menyerahkan mereka semua (ke Tim Pemburu Koruptor), dari KPK sendiri kita tetap berusaha," jelasnya.
5. Eks Komisioner nilai TPK bisa memperkuat KPK
Eks Komisioner KPK, Indriyanto Seno Adji menilai, Tim Pemburu Koruptor (TPK) perlu dibentuk. Menurutnya, yang diperlukan sebenarnya adalah penguatan sistem dan regulasi yang sudah ada di KPK.
"(TPK) Tetap diperlukan. Inpres ini diperlukan bagi penguatan sistem dan regulasi tersebut, khususnya perbaikan sistem koordinasi di antara lembaga penegak hukum dan lembaga terkait dalam pemburuan subjek dan objek kejahatan tersebut. Jadi, memang diperlukan penguatan sistem koordinasi di antara lembaga terkait," katanya kepada IDN Times, Senin, 20 Juli 2020.
6. Pakar hukum pidana pesimistis dengan TPK
Dikonfirmasi terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar memandang TPK dalam dua perspektif. Dari perspektif harapan dan doa, semoga TPK berhasil.
Namun dari perspektif realitas penegakan hukum, masih menjadi pertanyaan.
"Realitasnya, buron kakap sekelas DT (Djoko Tjandra) bisa bolak balik 'ngentutin' aparat keluar masuk Indonesia tanpa beban status buron. Artinya apa? Artinya ada banyak oknum birokrasi pemerintahan dan penegak hukum yang masih berpihak pada kepentingan sempit dan receh. Sehingga, rela menegasikan penegakan hukum," ucapnya.
Abdul menuturkan, meski pun Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan hukum timbal balik sudah ditandatangani, tidak adanya perjanjian ekstradisi sering sekali menggagalkan pengejaran buronan. Menurut Abdul, negara-negara tempat pelarian buronan korupsi atau tindak pidana pencucian uang (TPPU), cenderung lebih melihat pada kepentingan investasi di negaranya.
"Karena itu lebih menguntungkan. Contoh, kasus Maria Paulina gagal diekstradisi di Singapura dan Belanda, meski pun sudah ada Asean MLA Treaty UU No.15/2008. Jadi dengan dasar realitas seperti itu, saya pesimistis Tim Pemburu Koruptor dapat mencapai targetnya," tuturnya.
7. Menko Polhukam tetap upayakan bentuk Tim Pemburu Koruptor
Sebelumnya diberitakan IDN Times, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pihaknya bakal tetap membentuk Tim Pemburu Koruptor, meski sempat dikritik oleh Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
"Saya akan terus mengerjakan secara serius tentang tim pemburu koruptor ini, tapi tetap memperhatikan saran-saran dari masyarakat," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu 15 Juli 2020.
Menurut dia, adanya kritikan dari KPK merupakan hal yang wajar dalam berdemokrasi. Kritikan itu pun baru dikatakan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, belum keputusan seluruh pimpinan KPK.
"Di negara demokrasi apa pun ada pro kontra. Kalau KPK agak kurang setuju, itu kan Pak Nawawi, dan itu bagus. Tapi kalau saya baca, Pak Firli (Ketua KPK) mendukung. KPK kan banyak orang juga dan itu tandanya demokrasi," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.