Rekam Jejak Tim Pemburu Koruptor yang Dibentuk pada Era SBY-JK

Jakarta, IDN Times - Meski masih menjadi wacana, dibentuknya kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK) menimbulkan pro dan kontra. Tim yang diusulkan dibentuk lagi oleh Menko Polhukam Mahfud MD ini dinilai tidak efektif dalam menjalankan tugasnya oleh sejumlah pihak.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menyebut tim tersebut sudah pernah dibentuk, tetapi tak memberikan hasil yang optimal.
"Cukup untuk menjadi pembelajaran untuk tidak diulangi lagi," ujar Nawawi saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa 14 Juli 2020.
Lantas, seperti apa rekam jejak Tim Pemburu Koruptor yang nantinya akan dipimpin oleh Menko Polhukam itu? Berikut ulasan selengkapnya yang telah dirangkum IDN Times dari berbagai sumber.
1. TPK dibentuk pada masa pemerintahan SBY-JK

Dilansir dari pemberitaan Kompas tahun 2005, TPK dibentuk pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tim ini dibentuk pada akhir 2004 oleh Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla (JK).
TPK bertugas untuk mencari tersangka sekaligus terpidana kasus tindak pidana korupsi (Tipikor). Tim ini terdiri dari unsur Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Polri. TPK saat itu dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Intelijen, Basrief Arief. Pada 2007, Basrief Arief pensiun. Dia pun digantikan oleh wakilnya, yakni Muchtar Arifin.
Dibentuknya Tim ini juga berlandaskan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang diterbitkan SBY.
2. Sejumlah prestasi yang pernah diraih TPK

Sejak pertama kali dibentuk, TPK fokus memburu enam terpidana dan tujuh tersangka kasus korupsi, yang berstatus buron. TPK pernah memburu aset milik mantan Presiden Komisaris PT Bank Harapan Sentosa, almarhum Hendra Rahardja di Hong Kong. Kala itu, aset buronan kasus korupsi tersebut bernilai US$9,3 juta.
Hendra sendiri divonis penjara seumur hidup terkait kasus korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp1,95 triliun.
TPK juga pernah memburu aset milik mantan Direktur Utama Bank Global, Irawan Salim yang berasa di Swiss. Aset itu bernilai Rp500 miliar. Irawan Salim pada saat itu terjerat kasus korupsi Bank Global.
TPK juga berhasil menangkap mantan Direktur Bank Sertivia, David Nusa Wijaya. Dia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi BLBI senilai Rp1,3 triliun. Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2003 memvonisnya 8 tahun penjara. Namun, dia kabur ke Amerika Serikat sebelum dieksekusi. Berkat kerja sama dengan FBI, TPK berhasil menangkap David di San Francisco pada 13 Januari 2006.
3. TPK hanya mampu menangkap empat dari 16 buronan

Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah menilai, Tim Pemburu Koruptor saat ini belum dibutuhkan oleh pemerintah.
"Data ICW menunjukkan setelah 8 tahun (2004-2012) dibentuk, faktanya tim ini hanya berhasil menangkap empat buronan dari 16 target penangkapan," ucap Wana Alamsyah dalam keterangan tertulisnya, Jumat 10 Juli 2020.
Selain itu, evaluasi terhadap TPK juga tak pernah dipublikasikan oleh pemerintah. Tak hanya itu, berdasarkan catatan ICW, hingga saat ini ada 40 buronan kasus korupsi yang belum juga ditangkap.
"Artinya, yang harus diperkuat dalam hal ini adalah aparat penegak hukumnya. Kebijakan untuk membuat tim baru malah berpotensi tumpang-tindih dari segi kewenangan," ucap Wana.
4. Eks Komisioner nilai TPK bisa memperkuat TPK

Eks Komisioner KPK, Indriyanto Seno Adji menilai Tim Pemburu Koruptor (TPK) perlu dibentuk. Menurutnya, yang diperlukan sebenarnya adalah penguatan sistem dan regulasi yang sudah ada di KPK.
"(TPK) Tetap diperlukan. Inpres ini diperlukan bagi penguatan sistem dan regulasi tersebut, khususnya perbaikan sistem koordinasi di antara lembaga penegak hukum dan lembaga terkait dalam pemburuan subjek dan objek kejahatan tersebut. Jadi, memang diperlukan penguatan sistem koordinasi di antara lembaga terkait," katanya kepada IDN Times, Senin, 20 Juli 2020.
5. Pakar hukum pidana pesimistis dengan TPK

Dikonfirmasi terpisah, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar memandang TPK dalam dua perspektif. Dari perspektif harapan dan doa, semoga TPK berhasil. Namun dari perspektif realitas penegakan hukum, masih menjadi pertanyaan.
"Realitasnya, buron kakap sekelas DT (Djoko Tjandra) bisa bolak balik 'ngentutin' aparat keluar masuk Indonesia tanpa beban status buron. Artinya apa? Artinya ada banyak oknum birokrasi pemerintahan dan penegak hukum yang masih berpihak pada kepentingan sempit dan receh. Sehingga, rela menegasikan penegakan hukum," ucapnya.
Abdul menuturkan, meskipun Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan hukum timbal balik sudah ditandatangani, tidak adanya perjanjian ekstradisi sering kali menggagalkan pengejaran buronan.
Menurut Abdul, negara-negara tempat pelarian buronan korupsi atau tindak pidana pencucian uang (TPPU), cenderung lebih melihat pada kepentingan investasi di negaranya.
"Karena itu lebih menguntungkan. Contoh, kasus Maria Paulina gagal diekstradisi di Singapura dan Belanda, meskipun sudah ada Asean MLA Treaty UU No.15/2008. Jadi dengan dasar realitas seperti itu, saya pesimis Tim Pemburu Koruptor dapat mencapai targetnya," tuturnya.