Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi anak sekolah (pexels.com/Agung Pandit Wiguna)

Intinya sih...

  • Revisi UU Sisdiknas diperlukan untuk menyesuaikan dengan tantangan zaman dan kondisi nyata di lapangan.
  • Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pembebasan biaya sekolah swasta menjadi peluang evaluasi skema pembiayaan pendidikan secara menyeluruh.
  • Komisi X menemukan ketimpangan alokasi dana pendidikan antar kementerian non-teknis dan teknis, serta urgensi lembaga pendidikan tinggi di luar Kemendikbudristek.

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Demokrat, Sabam Sinaga, menilai Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merupakan kebutuhan yang mendesak. Ia menekankan, regulasi yang sudah cukup lama ini perlu disesuaikan dengan tantangan zaman dan kondisi nyata di lapangan.

Menurut Sabam, kondisi pendidikan Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai persoalan mendasar, seperti intimidasi terhadap guru, bullying di kalangan siswa, hingga ketimpangan infrastruktur pendidikan antarwilayah, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Hal tersebut disampaikan Sabam dalam Forum Legislasi membahas revisi UU Sisdiknas, bertempat di Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, di Jakarta.

“Banyak hal yang menjadi perhatian, dari intimidasi terhadap guru, bullying siswa, hingga sarana prasarana yang belum memadai. Belum lagi soal perbedaan kualitas pendidikan antarwilayah yang masih besar,” ujar Sabam, Rabu (4/6/2025). 

1. Putusan MK terkait sekolah gratis menjadi berkah

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menggelar program pemutihan ijazah tahap ketiga untuk 827 peserta didik di Jakarta, Selasa (3/6/2025). (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sabam juga menyinggung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pembebasan biaya sekolah swasta. Ia menyebut, keputusan itu sebagai peluang untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap skema pembiayaan pendidikan.

“Putusan MK itu menjadi berkah menurut saya. Ini waktu yang tepat untuk merevisi pembiayaan pendidikan secara menyeluruh, termasuk memetakan kembali pos-pos anggaran lintas kementerian,” katanya.

Dalam kajian Komisi X, Sabam menemukan bahwa alokasi dana pendidikan di sejumlah kementerian non-teknis jauh lebih besar dibanding yang dialokasikan untuk kementerian teknis. Ia menyebut rasio pembiayaan per mahasiswa bisa mencapai 1 banding 14.

“Informasi yang kami dapat, biaya per mahasiswa di lembaga lain bisa 14 kali lebih tinggi dibanding PTN atau PTS. Ini ketimpangan yang harus dibenahi,” kata dia.

2. Pertanyakan adanya perguruan Tinggi di luar Kemendikristek

Kampus VII Poltekkes (dok.poltekkes-smg.ac.id)

Lebih jauh, Sabam mempertanyakan urgensi lembaga pendidikan tinggi yang berada di luar Kemendikbudristek, padahal program serupa telah tersedia di PTN dan PTS.

“Kalau di kementerian kesehatan ada poltekkes di hampir semua provinsi, padahal universitas negeri dan swasta juga punya jurusan yang sama. Apakah ini masih relevan untuk diteruskan?” ucapnya.

Selain membahas struktur sistem pendidikan, Sabam juga menyoroti program makan bergizi gratis yang dicanangkan Presiden Prabowo.

Menurutnya, sekolah sebagai titik utama pelaksanaan program ini harus diperkuat perannya dalam mendukung kualitas gizi dan kesehatan siswa.

“Makan bergizi gratis ini peluang besar untuk tekan angka stunting. Dulu ada program UKS, mungkin bisa kita aktifkan kembali sebagai alat ukur dampaknya,” ungkap Sabam.

Komisi X DPR RI, lanjut Sabam, akan terus membuka ruang diskusi dengan publik dan pemangku kepentingan lainnya untuk memastikan revisi UU Sisdiknas benar-benar menyentuh akar persoalan dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara merata. 

3. RUU Sisdiknas harus akomodir daerah 3T

Ilustrasi anak-anak di sekolah (Foto oleh andros1234 dari Pixabay)

Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai NasDem, Nilam Sari Lawira berharap RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bisa memangkas kesenjangan kualitas pendidkan khususnya di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

Nilam menegaskan, ketimpangan tenaga pendidik di wilayah 3T selama ini dipicu oleh kurangnya perhatian dan keterbatasan anggaran. Situasi semakin kompleks dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. 

"Masalah paling mendasar saat ini adalah kurangnya fokus dan perhatian dalam menangani kesenjangan, apalagi di tengah efisiensi anggaran. Ini menjadi tantangan besar: apakah dalam kondisi efisiensi seperti ini kita masih bisa tetap fokus atau justru melenceng dari sasaran,” ujar Nilam.

Editorial Team