Buzzer Politik Dinilai Lebih Paham Algoritma Media Sosial

Kontennya lebih personal dan targetkan sesuai lokasi

Jakarta, IDN Times - GM product lembaga monitoring Binokular Oleg Widiyoko mengungkapkan, ada pergeseran pola disinformasi terkait isu politik jelang Pemilu 2024. Dia menjelaskan kini konten politik lebih personal dan menggunakan strategi marketing politik berjenis microtargeting yakni berdasarkan lokasi.

“Sepertinya dari pelaku pembuat hoaks dan buzzer-buzzer tim sudah mengenal perubahan algoritma dari sosial media, yang dimana lebih personalize dan lebih micro targeting dari lokasi,” kata dia dalam diskusi Cek Fakta Bulanan “Hoaks Seputar Bakal Calon Presiden 2024."

 

1. Meningkatnya pertumbuhan buzzer sebanding dengan konten negatif

Buzzer Politik Dinilai Lebih Paham Algoritma Media SosialWarga melintas di dekat baliho ajakan memilih kotak kosong pada masa kampanye Pilkada serentak 2020 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (26/11/2020). ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Dia mengatakan, semakin banyak konten akan semakin besar jangkauannya. Maka dari itu potensi viralnya juga akan semakin tinggi.

Selain itu dia mengatakan, aktivitas buzzer mulai meningkat sejak awal tahun. Pertumbuhan buzzer sebanding dengan konten negatif.

“Walaupun serangan-serangan konten negatifnya masih seputar semacam black campaign untuk pasangan lain ataupun mempertanyakan aktivitas atau isu-isu sebelumnya,” katanya.

Baca Juga: Menko Mahfud Akui Sulit Tindak Buzzer di Medsos karena Minim Bukti

2. Tim buzzer berupaya memperpanjang siklus informasi

Buzzer Politik Dinilai Lebih Paham Algoritma Media SosialIlustrasi Provokator (IDN Times/Mardya Shakti)

Selain itu, lembaga monitoring Binokular juga melihat jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 Februari nanti konten-konten seputar politik akan semakin massif.

Binokular mencatat selama Juli hingga September 2023, tipe hoaks yang tertangkap paling masif adalah kabar palsu, foto editan, penyampaian informasi keliru, narasi pada foto atau video dan pemotongan video.

Ada juga kecenderungan tim buzzer berupaya memperpanjang siklus suatu informasi agar lebih lama berada di media sosial.

“Jadinya dengan pengulangan-pengulangan narasi,” kata Oleg.

3. Branding positif tapi berlebihan

Buzzer Politik Dinilai Lebih Paham Algoritma Media SosialIlustrasi kampanye (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Oleg juga mengatakan, saat ini ada kecenderungan branding positif yang disebarkan melalui media sosial pada satu sosok. Namun, pencitraan positif ini juga dirasa terlalu berlebihan. 

Konten jelang Pilpres juga cenderung menciptakan proses misleading dalam penyebarannya. Apalagi saat konten tersebar di komunitas yang lebih kecil dan punya kekuatan merubah persepsi.

Sementara itu dari media sosial monitoring, Binokular menangkap sangat sedikit akun organik yang membicarakan isu politik.

“Ini memang banyak dari semacam affiliator, buzzer dan lainnya,” katanya.

Baca Juga: Era Jokowi Tak Lebih Baik dari SBY, Demokrat: Mungkin Karma Buzzer 

Topik:

  • Ilyas Listianto Mujib

Berita Terkini Lainnya