Komnas Perempuan Laporkan Pantauan Restorative Justice di 9 Provinsi

Kasus KDRT ringan diselesaikan dengan keadilan restoratif

Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan melaksanakan pemantauan mekanisme keadilan restoratif dalam penanganan kekerasan perempuan. Pasalnya keadilan restoratif digunakan sebagai beberapa upaya peradilan, salah satunya menangani over capacity lapas dan membuat kasus selesai lebih cepat, apalagi jumlah perkara yang meningkat tidak sebanding dengan jumlah aparat penegak hukum hingga mahalnya biaya perkara.

Meski demikian, Komnas Perempuan menilai kehadiran UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi amunisi baru dalam meningkatkan langkah-langkah penanganan, serta pemulihan korban yang datang dengan berbagai kompleksitas. Salah satu yang kerap ditemukan dalam kondisi peradilan kasus kekerasan perempuan adalah keadilan restoratif atau restorative justice.

“Pemantauan ini bekerja sama dengan organisasi layanan pendamping korban kekerasan di 9 provinsi, dan mendokumentasikan praktik-praktik keadilan restoratif di 23 kabupaten/kota termasuk praktik-praktik di tingkat provinsi,” kata kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin dalam agenda Peluncuran Laporan Nasional Hasil Pemantauan Pelaksanaan Mekanisme Keadilan Restoratif, Selasa (19/9/2023).

1. Pemantauan ini diharapkan bisa kenali praktik pelaksanaan keadilan restoratif

Komnas Perempuan Laporkan Pantauan Restorative Justice di 9 ProvinsiKomisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin di kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat pada Senin (25/11) (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Perlu diketahui, keadilan restoratif jadi salah satu indikator pembangunan hukum, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024

Pemantauan ini juga dilakukan dengan melihat urgensi lainnya yakni pengamatan pada praktik keadilan restoratif yang berpotensi merintangi pemenuhan hak korban dan jadi cara pelaku menghindari tanggung jawab serta kecurigaan pada objektivitas aparat penegak hukum.

Diharapkan pemantauan ini bisa mengenali praktik pelaksanaan keadilan restoratif di Indonesia saat ini, apakah melalui mekanisme formal, adat, agama, sosial dan pendamping. Serta, mengenali perbedaan, tantangan dan hambatan pelaksanaan praktik in, mengenali dampak pelaksanaannya  pada pemenuhan hak perempuan korban kekerasan dan merumuskan usulan kebijakan untuk perbaikan praktik kebijakan restoratif agar lebih dapat memenuhi hak perempuan korban kekerasan dan tujuan keadilan restoratif.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Banyak Sasar Anak Muda, Ini Pesan Komnas Perempuan

2. Mayoritas polisi pernah gunakan mekanisme keadilan restoratif

Komnas Perempuan Laporkan Pantauan Restorative Justice di 9 ProvinsiPelaku pencabulan terhadap anak di Sumenep saat berasa di kantor polisi. (Dok. Humas Polres Sumenep)

Dalam laporan ini ada 449 narasumber dan 23 kabupaten atau kota di 9 provinsi yang dipantau. Ketua Subkom Pengembangan Sistem Pemulihan Theresia Iswarini menjabarkan hampir semua narasumber di kepolisian di 9 lokasi pemantauan menyatakan pernah melakukan penanganan kasus dengan pendekatan keadilan restoratif atau 97 persen. Sebanyak 94 persen anggota polisi mengetahui tentang adanya aturan keadilan restoratif.

3. Kasus KDRT ringan diselesaikan dengan keadilan restoratif

Komnas Perempuan Laporkan Pantauan Restorative Justice di 9 ProvinsiIlustrasi Kekerasan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Kebanyakan kasus-kasus KDRT ringan seperti penelantaran ekonomi, kekerasan psikis dan fisik seperti pemukulan yang dianggap ringan dan tidak mengancam keselamatan diselesaikan dengan keadilan restoratif atau sejenisnya.

“Ada 15 kasus kekerasan seksual, 10 diantaranya adalah pelecehan seksual dan masing-masing satu kekerasan seksual siber serta satu kekerasan seksual dalam pacaran dan 3 kasus perkosaan yang diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif,” kata dia.

Theresia menjelaskan, hal ini sangat dimungkinkan karena tidak ada batasan yang dengan tegas dalam Perkapolri untuk mengecualikan kasus kekerasan seksual, apalagi perkosaan. Sementara rentang waktu pengumpulan data memungkinkan bahwa kasus-kasus ini ditangani sebelum UU TPKS berlaku.

Baca Juga: Penegak Hukum Diminta Hati-Hati Terjebak Persepsi Keadilan Restoratif

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya