Komnas Perempuan Sebut Negara Abai Hak Lansia, UU Perlu Ditinjau Ulang

Lansia rentan menjadi penyandang disabilitas

Jakarta, IDN Times - Pemenuhan hak perempuan lanjut usia atau lansia masih diabaikan negara. Hal ini dibahas berkenaan dengan peringatan Hari Lansia Internasional pada 1 Oktober. 

Komnas Perempuan mengungkapkan perhatian pada lansia karena memang sudah ada dalam  Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang diundangkan pada 8 Agustus 2023. Namun, harus didorong secara rinci berdasarkan kebutuhan spesifik gender perempuan lansia.

“Setiap orang lansia berhak memperoleh akses ke fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, dalam keterangannya, dilansir Senin (2/10/2023).

"Termasuk di dalamnya adalah hak pemenuhan gizi lansia, sarana dan prasarana umum yang layak, seperti sarana ibadah, tempat parkir, ruang tunggu, atau kamar mandi yang aman bagi lansia. Jaminan ini harus didorong secara lebih rinci, termasuk berdasarkan kebutuhan spesifik gender perempuan lansia dalam peraturan pelaksana undang-undang ini," sambungnya.

Baca Juga: 2 Ibu Lansia Bawa Mobil Kepergok Ngutil di Minimarket Pringsewu

1. UU Kesejahteraan Lansia perlu ditinjau ulang

Komnas Perempuan Sebut Negara Abai Hak Lansia, UU Perlu Ditinjau UlangGunung Merapi siaga, 133 lansia mulai diungsikan pada Sabtu (7/11/2020). IDN Times/Tunggul Damarjati

Sementara, Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, menyebut kesehatan lansia masih diabaikan negara, termasuk dari sisi anggaran. Layanan kesehatan belum ramah lansia, khususnya digitalisasi yang menghambat lansia dalam mengakses karena gagap teknologi. 

Hal ini, kata dia, justru menambah ketergantungan perempuan lansia pada orang lain dan sekaligus merentankan mereka terhadap kekerasan. Jumlah posyandu lansia di tingkat rukun warga juga masih terbatas, program lebih difokuskan pada anak balita. 

“Undang-Undang Kesejahteraan Lansia perlu ditinjau ulang agar selaras dengan Undang-Undang Kesehatan, dan mampu merespons perubahan pesat sosial budaya, teknologi digital dan internet. Kesejahteraan perempuan lansia perlu diarahkan kepada pemandirian lansia, termasuk dalam menghadapi digitalisasi global dan perubahan nilai atau pandangan hidup,” ujar Rainy.

Baca Juga: Pasutri Lansia di Kalbar Tewas Bersimbah Darah, Diduga Motif Pencurian

2. Lansia rentan menjadi penyandang disabilitas

Komnas Perempuan Sebut Negara Abai Hak Lansia, UU Perlu Ditinjau Ulangilustrasi vaksinasi COVID-19 untuk lansia (IDN Times/Aditya Pratama)

Rainy mengungkapkan, kondisi lansia secara alami memengaruhi kapasitas fisik dan juga mental. Lansia meningkatkan potensi ketergantungan pada orang lain, bukan hanya soal finansial tapi juga fisik.

“Lansia juga rentan menjadi penyandang disabilitas, baik karena penyakit seperti serangan stroke yang mengakibatkan kelumpuhan anggota tubuh, maupun penurunan kondisi fisik seperti pendengaran, penglihatan, dan kemampuan berpikir. Dengan demikian kerentanan perempuan lansia semakin berlapis, baik karena gendernya, usianya, kondisi ekonominya maupun kondisi fisik yang berakibat diskriminasi secara sosial,” kata dia.

3. Dorong adanya pelibatan lansia dalam pembuatan aturan

Komnas Perempuan Sebut Negara Abai Hak Lansia, UU Perlu Ditinjau UlangIlustrasi lansia (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)

Komnas Perempuan juga mendorong agar Kementerian Kesehatan bisa melibatkan perempuan lansia, pendamping lansia, hingga lembaga-lembaga HAM menyusun aturan tentang kesehatan lansia.

Kementerian Sosial juga didorong untuk merevisi UU Kesejahteraan Lansia, dengan melibatkan Lembaga HAM dan organisasi masyarakat sipil dalam Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lansia (RAN Kesehatan Lansia) 2020-2024.

Selain itu, perlu adanya dorongan lembaga penyedia layanan melakukan pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan lansia, sebagai suara korban yang harus didengar dan disikapi negara.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya