Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?

Seharusnya yang patut khawatir adalah petugas medis

Jakarta, IDN Times – Indonesia sampai saat ini masih menghadapi virus corona atau COVID-19. Sejumlah daerah berjuang dengan banyaknya kasus virus corona mulai dari pasien positif, pasien dalam pengawasan (PDP), orang dalam pemantauan (ODP) hingga mengurus jenazah pasien COVID-19.

Menurut data resmi yang dipublikasikan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona, Achmad Yurianto, pada Minggu (12/4), jumlah kasus positif virus corona di Indonesia mencapai 4.241orang dengan total kematian sebanyak 373 orang. Angka ini kian meningkat hari demi hari.

Di balik angka kematian tersebut banyak kisah yang tersingkap. Salah satunya adalah proses pemakaman jenazah pasien COVID-19. Di sejumlah daerah, masih ada warga yang menolak pemakaman jenazah pasien virus corona. Seperti yang menimpa jenazah seorang perawat di Semarang, Jawa Tengah. 

Baca Juga: Hampir Terlupakan saat Corona, 80 Waria Akhirnya Dibantu 2 Komunitas

1. Nasib jenazah perawat yang ditolak di Semarang, harus pindah ke TPU lain

Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?Petugas mengoperasikan alat berat saat pemakaman jenazah pasien COVID-19 di pemakaman Macanda, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (5/4/2020). Jumlah pasien positif COVID-19 di Sulsel per hari Minggu (5/4) telah mencapai 80 kasus, pasien yang telah dinyatakan sembuh sebanyak sembilan orang, sementara kasus kematian sebanyak enam orang (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Semarang menjadi salah satu kota tempat terjadinya penolakan pemakaman jenazah pasien COVID-19. Sejumlah warga di Sekawul Timur, Ungaran, Kabupaten Semarang menolak pemakaman jenazah perawat RSUP dr Kariadi.

Liang lahat telah digali, namun sejumlah warga datang entah dari mana meminta agar jenazah tidak dimakamkan di tempat itu. Humas Gugus Tugas Pencegahan COVID-19 Kabupaten Semarang, Alexander Gunawan, menjelaskan bahwa sebelumnya tidak ada persoalan lagi terkait masalah pemakaman.

Namun, dengan berbagai pertimbangan akhirnya jenazah dipindahkan ke pemakaman lain, yakni ke TPU Bergota Semarang.

“Selanjutnya atas rembungan dengan keluarga, jenazah kita bawa ke Bergota. Pemindahan dilakukan saat itu juga,” kata Alex kepada IDN Times, Kamis (9/4).

2. Peristiwa serupa terjadi di Karawang, liang lahat sudah tersedia, tapi jenazah tak boleh dimakamkan

Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?Liang lahat untuk jenazah COVID-19 memiliki ke dalaman berbeda dari liat lahat untuk jenazah pada umumnya (DN Times/Candra Irawan)

Selain di Semarang, kisah penolakan jenazah COVID-19 juga terjadi di Kecamatan Pedes, Karawang, Jawa Barat, pada Minggu (5/4). Warga menghadang mobil ambulans yang membawa jenazah positif COVID-19 yang akan dikebumikan. Duka keluarga semakin bertambah, karena meski sudah melakukan mediasi, warga tetap menolak, padahal liang lahat sudah disiapkan.

Sebagai jalan keluar, akhirnya jenazah pasien positif corona dimakamkan di taman pemakaman wilayah Kecamatan Klari. Atas kejadian ini, Juru Bicara Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Karawang Fitra Hergyana mengatakan, harusnya keluarga yang ditinggalkan perlu diberi dukungan.

Masyarakat diminta memiliki empati kepada jenazah, juga kepada keluarganya, yang saat kehilangan justru membutuhkan dukungan dan kekuatan dari lingkungan sekitar, bukan penolakan.

3. Kecewa ada penolakan, Gubernur Ganjar minta warga rogoh hati nurani

Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?Dok. Humas Pemprov Jateng

Atas kejadian di Semarang, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sampai meminta maaf kepada dokter, perawat, dan tenaga medis yang terluka akibat penolakan pemakaman jenazah perawat tersebut. Ganjar, melalui sebuah video mengatakan, dia sakit hati mendengar kabar penolakan ini.

“Para perawat, dokter, tenaga medis tidak pernah menolak pasien, kenapa kita tega menolak jenazah mereka yang telah berkorban menyelamatkan kita,” ujar Ganjar lewat akun Instagram pribadinya, @ganjar_pranowo, Jumat (10/4).

Dia meminta agar masyarakat bisa lebih menggunakan hati nurani untuk membantu keluarga jenazah yang tengah menghadapi kedukaan.

“Saya mendapatkan laporan yang mengejutkan, peristiwa yang membuat tatu ati (sakit hati). Sekelompok warga Ungaran menolak pemakaman pasien COVID-19. Ini kejadian kesekian kali. Dan saya mohon maaf, saya ingin kembali mengajak bapak ibu untuk ngrogoh rasa kamanungsan (rasa kemanusiaan) yang kita miliki," kata Ganjar.

Ganjar pun menegaskan agar masyarakat tidak perlu khawatir dengan jenazah COVID-19, karena prosedur pengurusan jenazah telah dilakukan dengan standar yang  baik. Dengan nada pelan Ganjar kembali menegaskan bahwa pengurusan jenazah telah dilakukan dengan aman mulai dari segi agama maupun medis.

“Mulai dari penyucian secara syar’i, kemudian dibungkus kantong plastik yang tidak tembus air, hingga dimasukkan peti,” kata dia.

Tak ketinggalan, dengan tegas dia juga memberikan penjelasan sesuai yang dipaparkan oleh para ahli, bahwa jenazah yang sudah dikuburkan tidak lagi memiliki virus, karena inangnya sudah turut mati.

4. Diduga penolakan karena kurangnya sosialisasi dan kepercayaan masyarakat yang tidak rasional

Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?IDN Times/Sukma Shakti

Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida mengatakan, penolakan pemakaman jenazah COVID-19 yang terjadi di tengah masyarakat memang sangat disesali. Tapi, ujar dia, peristiwa ini terjadi bukan tanpa sebab. 

Menurut dia, akar masalah ini salah satunya bersumber dari sosialisasi yang tidak menjangkau hingga ke level bawah masyarakat.

“Akar masalahnya bisa jadi memang sosialisasi yang kurang intens di level bawah, tapi yang jadi persoalan, masyarakat sudah punya belief yang kadang tidak rasional,” kata Ida kepada IDN Times, Sabtu (11/4).

5. Penolakan jenazah lebih kepada perilaku kolektif, ada orang-orang yang menjadi provokator

Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?Tahapan kondisi pasien virus corona dari hari ke hari (IDN Times/Sukma Shakti)

Menurut Ida, penolakan jenazah lebih kepada perilaku kolektif, tentu akan ada orang-orang yang menjadi provokator untuk menggerakkan dan memengaruhi masyarakat agar tidak rasional.

Sikap masyarakat Indonesia yang seperti ini, kata Ida, mencerminkan bahwa daya kritis masyarakat masih rendah. Kisah diskriminatif seperi ini pun bukan kali pertama terjadi. Ida mengingatkan bagaimana dulu pasien pengidap HIV/AIDs juga mengalami perlakuan yang sama, bahkan oleh tenaga medis.

“Sementara kini, masih banyak anggota masyarakat yang juga kurang paham, tidak mau paham bahwa sehatnya tenaga medis merupakan isu mendasar bagi kita semua. Dalam masyarakat Indonesia yang berkultur reaktif, berkembang anggapan jika tidak mengalaminya sendiri tidak akan percaya atau belum yakin,” kata dia.

6. Hoaks soal virus corona laris manis di media sosial

Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?hoaks terkait virus corona (Dok. Kemenkominfo)

Masyarakat Indonesia, kata Ida, mudah dirangsang dengan info-info yang kurang tepat. Selama masa pandemik virus corona ini saja, Kementerian Komunikasi dan Informasi telah mencatat lebih dari 1.096 hoaks muncul terkait virus corona. Angka ini membuktikan bahwa hoaks soal COVID-19 masih laris manis.

“Hingga saat ini sudah ada total 1.096 isu hoaks terkait COVID-19 yang tersebar di platform Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate dalam keterangan resmi, Rabu (8/4).

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh IDN Times dalam laporan berjudul “Indonesia Millennial Report 2019,” ditemukan fakta bahwa senior millennial lebih sering terpapar hoaks melalui WhatsApp, sedangkan junior millennial melalui Facebook dan Instagram.

Junior millennial adalah mereka yang lahir pada tahun 1991-1998 dan senior millennial adalah mereka yang lahir antara tahun 1983-1990. Artinya, pengguna media sosial paling masif seperti millennial masih mudah terpapar hoaks.

7. Takut tertular virus corona, padahal virus akan ikut mati begitu inangnya sudah tak bernyawa

Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?IDN Times/Candra Irawan

Disebutkan, masyarakat yang menolak pemakaman jenazah COVID-19 di TPU sekitar wilayah mereka karena takut tertular virus asal Wuhan, Tiongkok itu. Padahal, kata peneliti bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sugiyono Saputra, jenazah pasien COVID-19 tidak bisa menyebarkan virus jika sudah dikebumikan.

"Hasil studi itu mengindikasikan bahwa jika meninggal karena infeksi berbahaya, harus segera dimakamkan. Karena kalau gak, malah ditakutkan akan menular," kata Sugiyono saat dihubungi IDN Times, Senin (6/4).

Masih kata Sugiyono, virus corona tidak dapat hidup jika tidak memiliki inang. Virus akan ikut mati ketika inangnya mati.

"Untuk istilahnya mengubur organisme penyebab kematian itu sekaligus," ujarnya.

Karena itu, ketika pasien penderita virus corona meninggal, harus segera dimakamkan untuk meminimalisasi penyebaran virus. Bila semakin ditunda, jenazah bisa membusuk dan membahayakan pihak-pihak di sekitarnya.

"Karena nanti akan ada proses pembusukan, kalau semakin ditolak semakin tertunda," ujarnya.

8. Pemakaman jenazah COVID-19 sudah sesuai prosedur

Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?Menggunakan sarung tangan, petugas TPU mengangkat peti jenazah yang dibungkus plastik keluar dari ambulans. (IDN Times/Candra Irawan)

Sugiyono meminta masyarakat untuk tidak khawatir tertular virus corona melalui jenazah. Menurut dia, prosedur pemakaman jenazah terinfeksi COVID-19 sudah sesuai prosedur, salah satunya adalah dengan membungkus jenazah, peti bagian dalam hingga luar dengan menggunakan plastik. Jenazah dan peti dibungkus plastik agar tidak ada bagian dari jenazah yang bocor ketika sudah dikebumikan. 

"Jadi kalau misalnya pakai kain kafan biasa itu terus pembusukan terjadi, bisa jadi ada kebocoran dan ditakutkan mungkin virusnya masih hidup. Makanya harus pakai plastik, biar kebocoran sangat minimal," ujar dia.

Seperti jenazah pada umumnya, jenazah pasien positif virus corona akan terurai dan jika terbungkus plastik jenazah akan terpisah dari tanah di luar. 

9. Siapa yang seharusnya khawatir tertular virus corona?

Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?IDN Times/Candra Irawan

Dalam kasus ini, justru yang seharusnya lebih khawatir terpapar virus corona adalah para tenaga medis seperti dokter dan perawat, petugas kesehatan, supir ambulans, hingga para penggali kubur yang memakamkan jenazah.

Di Jakarta sendiri ada dua tempat pemakaman khusus jenazah COVID-19, yakni di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur dan TPU Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat.

Seorang petugas penggali kubur di TPU Pondok Ranggon bernama  Minar menjelaskan, selama pandemik virus corona dia dan rekan-rekannya dalam sehari bisa memakamkan 10 bahkan lebih jenazah COVID-19.

"Hari ini informasi sepuluh, informasi sama administrasi," kata Minar saat dihubungi IDN Times, Sabtu (4/4).

Banyaknya jenazah COVID-19 yang harus dikuburkan tak jarang membuat Minar dan kawan-kawannya harus bekerja hingga menjelang malam. Minar dan timnya menerima jenazah dari berbagai rumah sakit di Jakarta seperti RSUP Persahabatan, RSPI Sulianti Saroso, hingga RS Polri.

Berdasarkan Laporan Pelayanan Pemakaman Jenazah Penyakit Menular Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta Tahun 2020, sejak 6 sampai 31 Maret terdapat 151 jenazah pasien virus corona COVID-19 yang telah dimakamkan di TPU Pondok Ranggon. Beberapa di antaranya adalah dokter atau petugas kesehatan.

Selain itu, sejak 1 sampai 3 April, ada 66 lainnya yang dimakamkan di sana. Dari data tersebut diketahui pada tanggal 13 Maret 2020, satu jenazah laki-laki yang merupakan pasien dari RSUP Persahabatan, Jakarta Timur, dimakamkan di TPU Pondok Ranggon.

10. Cara apa yang paling tepat untuk menghindari virus corona?

Marak Penolakan Jenazah COVID-19, Masalah Hati atau Kurang Edukasi?Yang perlu kamu perhatikan jika terpaksa keluar dari rumah. (IDN Times/Sukma Shakti)

Sebaik-baiknya cara menghindari virus corona, kata Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mohammad Adib Khumaidi, adalah dengan menjaga kesehatan diri sendiri. Salah satunya adalah mencuci tangan, jaga jarak, dan menggunakan masker. Penggunaan masker kini harus digalakkan bagi semua orang, bukan bagi yang sakit saja.

"Kalau dulu, mohon maaf ada informasi masker itu hanya untuk orang sakit. Saat ini kalau kami (dokter) menyampaikan semua harus pakai masker,” kata Adib melalui siaran langsung di akun Instagram IDN Times, Rabu (1/4).

Lima hari berselang, pernyataan yang lebih dahulu disebutkan Adib tersebut juga kembali dilontarkan oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Dia mengeluarkan imbauan agar masyarakat harus menggunakan masker saat keluar rumah.

"WHO menganjurkan agar semuanya memakai masker, saya minta penyiapan masker ini sekarang betul-betul disiapkan dan diberikan kepada masyarakat," ujar Jokowi dalam rapat terbatas, Senin (6/4).

Dia mengatakan, pada awalnya WHO menyarankan hanya orang yang sakit yang harus menggunakan masker. Namun, kini orang yang sehat juga sangat disarankan mengenakan masker. 

Sontak penggunaan masker kain semakin masif, namun penolakan jenazah juga masih  terjadi. Padahal sudah banyak cara yang dilakukan agar risiko terkena virus semakin menurun. Cara yang baru-baru ini dijalankan guna menahan laju penyebaran COVID-19 adalah melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), seperti yang telah diterapkan di DKI Jakarta sejak 10 April 2020, yang kemudian disusul beberapa daerah lainnya.

Baca Juga: Izin di TMP Sulit, Ganjar Usul Nakes Virus Corona Diberi Bintang Jasa

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya