Pandemik COVID-19 Lahirkan Orang Miskin Baru di Perkotaan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Pandemik COVID-19 menyebabkan banyak fenomena baru, laporan global baru-baru ini dari Bank Dunia pada 2020 memperkenalkan istilah “orang miskin baru” yang mengacu pada populasi miskin yang muncul sebagai akibat dari pandemik, dan istilahnya mungkin berbeda dari populasi yang sudah miskin sebelumnya.
“Orang miskin baru diperkirakan lebih cenderung tinggal di daerah perkotaan, tinggal di tempat tinggal dengan akses infrastruktur yang lebih baik, dan memiliki aset dasar yang sedikit lebih banyak daripada mereka yang miskin pada tahun 2019 dan 2020,” tulis Publikasi berjudul “Situasi anak-anak dan kamu muda di kota-kota di Indonesia” dikutip Rabu (4/5/2022).
1. Orang miskin baru punya pendidikan lebih baik
Dijelaskan bahwa orang miskin baru, berusia 15 tahun ke atas, juga cenderung bekerja di sektor non-pertanian, merupakan karyawan yang punya upah dan punya pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan orang miskin kronis.
Publikasi yang dikembangkan oleh UNICEF dan PUSKAPA, didukung oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini juga menjelaskan bahwa bukti dari Indonesia menunjukkan adalah peningkatan kemiskinan paling signifikan di pusat-pusat perkotaan di mana tingkat kemiskinan pra-pandemi paling rendah.
Baca Juga: Penduduk Miskin di Jakarta Berkurang 3.630 Orang di Tengah Pandemik
2. Paling parah melanda perkotaan, kawasan sesak tak bisa jaga jarak
Publikasi ini juga menjelaskan banyak bukti yang menunjukkan bahwa pandemik COVID-19 paling parah melanda daerah perkotaan. Di Indonesia, khususnya di Jakarta, Surabaya, dan Makassar, Bank Dunia memperkirakan bahwa 22 persen penduduk perkotaan di Indonesia tinggal di daerah kumuh, terhitung sekitar 29 juta orang
Editor’s picks
“Di Jakarta, sekitar sepertiga rumah tangga tinggal di ruang yang penuh sesak dengan akses air bersih dan sanitasi yang buruk, di hunian yang tidak layak, atau di ruang publik terbuka,” kata publikasi ini.
Di luar konteks upaya pemerintah menggalakkan jaga jarak, keluarga yang tinggal di permukiman padat tidak dapat mempraktikkan jaga jarak, kebersihan yang baik dan melakukan isolasi mandiri selama COVID-19.
3. Pandemik paksa pelajar beralih ke pendidikan sistem daring
Pandemik COVID-19 juga sudah memaksa sistem pendidikan beradaptasi dengan cepat dan beralih ke format pembelajaran daring, yang sangat bergantung pada akses internet dan ketersediaan perangkat digital. Hal ini menyebabkan banyak anak-anak harus mengubah pola belajarnya dan tak semua sesuai dengan kemampuan ekonomi mereka.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Bank Dunia pada tahun 2019 menunjukkan bahwa banyak siswa menghadapi kesulitan belajar di rumah karena beberapa daerah tidak memiliki jaringan internet yakni di luar jangkauan jaringan telepon seluler dan tidak semua orang mampu membayar kuota internet.
Meskipun sebagian besar rumah tangga baik di perkotaan maupun perdesaan sudah memiliki telepon seluler, hanya sebagian kecil yang memiliki akses ke komputer dan jaringan internet.
Baca Juga: [CEK FAKTA] MA Instruksikan Pemerintah Agar Pandemik COVID-19 Diakhiri
4. Penutupan sekolah tingkatkan angka putus sekolah
Dijelaskan juga bahwa penutupan sekolah turut meningkatkan risiko putus sekolah di kalangan siswa sekolah menengah dan perguruan tinggi, terutama bagi mereka yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah.
“Murid-murid ini lebih cenderung memasuki pasar tenaga kerja daripada kembali ke sekolah setelah situasinya membaik, terutama karena kebutuhan untuk membantu perekonomian keluarga,” tulis publikasi UNICEF.