Polemik Restitusi dalam Kasus Herry Wirawan, KemenPPPA Ogah Bayar

Dalam RUU TPKS, restitusi dibebankan pada pelaku

Jakarta, IDN Times - Herry Wirawan, pelaku pemerkosa 12 santriwati di Bandung, Jawa Barat akhirnya dipidana penjara seumur hidup dan wajib membayar biaya restitusi atau ganti rugi kepada korban-korbannya.

Herry Wirawan dinyatakan terbukti bersalah sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) dan (5) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

Total restitusi yang harus dibayar Herry Wirawan kepada para korbannya mencapai Rp331.527.186. Majelis Hakim memutuskan, restitusi ini dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Namun, KemenPPPA mengaku ogah menanggung biaya restitusi akibat ulah keji Herry. 

Restitusi diatur secara khusus pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan juga ada dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Baca Juga: LPSK Rekomendasikan Aset Herry Wirawan Disita untuk Bayar Restitusi

1. Negara enggan bayar restitusi tindak kriminal yang dilakukan Herry

Polemik Restitusi dalam Kasus Herry Wirawan, KemenPPPA Ogah BayarHerry Wirawan, pemerkosa 12 santriwati di Bandung (dokumen-humas Kejati Jabar)

Menteri PPPA Bintang Puspayoga mengatakan, putusan hakim tidak punya dasar hukum dan KemenPPPA tak bisa jadi pihak ketiga yang menanggung restitusi.

"Terhadap penetapan restitusi masih menunggu putusan yang incracht, dan saat ini KemenPPPA akan membahasnya dengan LPSK," kata Bintang, Selasa (15/2/2022).

Lebih lanjut, Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA Nahar mengatakan, restitusi anak korban persetubuhan tidak bisa dibebankan kepada pemerintah atau dalam hal ini KemenPPPA.

“Dalam putusannya, hakim menyatakan negara harus hadir untuk melindungi dan memenuhi hak korban dengan cara memberikan restitusi. Hanya saja restitusi itu kewajiban pelaku dan pihak ketiga, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait perlindungan saksi dan korban. Memperhatikan ketentuan tersebut, KemenPPPA tidak dapat dibebankan untuk membayar restitusi,” kata Nahar, Kamis (17/2/2022) lalu.

2. Restitusi di RUU TPKS dibebankan pada pelaku

Polemik Restitusi dalam Kasus Herry Wirawan, KemenPPPA Ogah BayarHerry Wirawan, pemerkosa 12 santriwati di Bandung (dokumen, humas Kajati Jabar)

Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan, penyelesaian kasus kekerasan seksual tanpa menggunakan keadilan restoratif diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Karena kasus kekerasan seksual yang terjadi, acap kali pelakunya menggunakan uang sebagai solusi damai dengan pihak korban.  Dalam RUU TPKS juga disebutkan bahwa selain pidana penjara atau pidana denda, hakim wajib menetapkan besarnya jumlah restitusi kepada korban.

Jika pelaku merupakan masyarakat ekonomi lemah atau menengah ke bawah dan tidak bisa membayar restitusi, maka polisi bisa menyita harta benda pelaku.

"Dalam RUU TPKS, begitu seseorang ditetapkan tersangka, polisi bisa melakukan sita jaminan untuk restitusi," ujarnya dikutip dari ANTARA, Selasa (22/2/2022).

Dia menjelaskan, RUU TPKS berperspektif memberikan perlindungan pada korban salah satunya adalah bentuk sita jaminan harta pelaku. Bila harta tidak cukup membayar restitusi, maka pelaku dikenakan subsider pidana penjara. Namun, jika pelaku sama sekali tak punya harta benda, maka negara akan berikan kompensasi bagi korban untuk rehabilitasi.

3. Pemerintah perlu hadir untuk beri kompensasi dan program pemulihan pada korban

Polemik Restitusi dalam Kasus Herry Wirawan, KemenPPPA Ogah BayarIlustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan, restitusi atau pembayaran ganti rugi oleh pelaku kekerasan seksual kepada korbannya adalah hal penting, untuk memastikan pemenuhan hak korban dan keluarganya.

Restitusi adalah kewajiban pelaku, dan pemerintah perlu hadir guna memberikan kompensasi dan program pemberdayaan serta pemulihan bagi korban.

Konsep restitusi dan sita restitusi perlu dipahami aparat penegak hukum, sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.

4. Mekanisme victim trust fund dalam restitusi korban kekerasan seksual

Polemik Restitusi dalam Kasus Herry Wirawan, KemenPPPA Ogah Bayar15 Bentuk Kekerasan Seksual Menurut Komnas Perempuan (IDN Times/Aditya Pratama)

Peneliti Indonesia Judicial Research Society (IJRS) , Marsha Maharani mengungkapkan, Jaksa Penuntut Umum biasanya harus menginformasikan soal restitusi pada korban kekerasan seksual. Hal ini sudah diatur dalam peraturan internal kejaksaan yaitu dalam Pedoman Nomor 1 Tahun 2022 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak.

“Selain penegasan edukasi soal eksekusi, perlu ada juga mekanisme victim trust fund atau dana bantuan korban tindak pidana," kata dia, Senin (7/3/2022).

Victim Trust Fund ini dinilai bisa jadi mekanisme pemulihan korban selain restitusi. Bantuan ini bisa menjadi pelengkap mekanisme restitusi, karena restitusi hanya bisa dieksekusi setelah perkara diputus.

"Sedangkan sebagai korban kekerasan seksual kadang ada dampak fisik dan psikis yang harus dipulihkan segera, dan mungkin butuh biaya serta tidak bisa menunggu selesainya proses pengadilan yang notabene rumit dan lama," ujar dia.

Misalnya, lanjut Marsha, adalah pengobatan atas luka-luka dan pemulihan psikis sesegera mungkin.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya