PRT Kerap Alami Kekerasan dan Diskriminasi, Perlu Payung Hukum

Jakarta, IDN Times - Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Ratna Susianawati mengatakan, pekerja domestik menjadi salah satu pihak yang sering mengalami kekerasan dan diskriminasi dalam bekerja.
Karena itu, bila RUU PPRT disahkan, hal ini bakal sejalan dengan satu dari mandat Kementerian PPPA, yakni penurunan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Kami juga dorong kampanye masif agar perempuan PRT berani bersuara ketika mengalami kasus-kasus seperti diskriminasi dan kekerasan. Kami juga dorong pemberdayaan melalui pelatihan supaya nantinya para pekerja rumah tangga yang tidak hanya bekerja di dalam negeri tapi juga di luar negeri untuk terhindar dari kekerasan," kata dia dalam dialog Forum Medan Merdeka Barat 9 bertajuk "Pentingnya RUU PPRT Disahkan" dikutip Selasa (31/1/2023).
1. Upah layak berdampak pada PDB
Sementara itu, Direktur Institut Sarinah, Eva Sundari mengungkapkan, pekerja rumah tangga (PRT) punya kesempatan mendapat haknya berupa upah yang layak. Dengan demikian, akan ada peningkatan daya beli yang berdampak pada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) US$180 juta.
"Bahwa para pekerja juga wajib mendapatkan pelatihan peningkatan kapasitas dan pengetahuan sehingga memiliki kemapuan yang diharapkan oleh pemberi kerja," kata dia.
2. UU PPRT dapat memberikan kepastian hukum
Editor’s picks
Dirjen Binwasnaker dan K3 Kemnaker Haiyani Rumondang Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) juga mengungkapkan, RUU PPRT dapat memberikan kepastian hukum serta kejelasan tugas dan tanggung jawab dari pekerja, pemberi kerja serta penyalur tenaga kerja.
"Perlu ada regulasi baru setingkat UU agar bisa melindungi para pekerja di sektor rumah tangga dan saat ini sudah menjadi prioritas legislasi nasional untuk 2023," katanya.
Baca Juga: RUU PPRT Bakal Atur Kompetensi Pekerja Rumah Tangga
3. Tak ada perlindungan mendasar bagi PRT seperti kepastian upah hingga keamanan
Dia mengaku, memang Undang-Undang (UU) No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum secara spesifik atau eksplisit menyebutkan perlindungan soal PRT.
Hingga akhirnya diterbitkan Peraturan Menteri No.2/2015, meski belum dinilai cukup.
"Selama ini, tidak ada perlindungan terhadap hak-hak yang mendasar bagi PRT, seperti kepastian upah, perlindungan sosial, perlindungan atas keamanan dan kenyamanan dalam bekerja, baik itu sisi kesehatan dan keselamatan dan perlindungan mendapatkan hak cuti," kata dia.
Hal-hal tersebut, menurutnya, perlu didorong agar dapat termuat dalam draft RUU tersebut.