Tantangan Saat Ibu Kota Tak Lagi di Jakarta

Jakarta tetap punya posisi strategis

Jakarta, IDN Times - Peneliti Pusat Studi Perkotaan, Nirwono Yoga, mengatakan Dewan Kawasan Aglomerasi yang dipimpin oleh Wapres memiliki tiga tantangan utama menyusul akan dipindahkannya Ibu Kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur.

Tantangan itu salah satunya adalah mindset soal otonomi daerah. Menurut dia, otonomi daerah menjadi faktor krusial dalam kepemimpinan daerah di Jabodetabek, terutama saat kepala daerah berasal dari partai yang berbeda.

“Yang saya temukan juga tadi kepala daerahnya, karena beda partai, dia punya dua mindset. Pertama, kalau ada program di DKI Jakarta, dia akan berpikir itu kan programnya Jakarta. Gak ada untungnya buat saya, apalagi kalau dia periode pertama dan fokus program apa yang menguntungkan buat dia sehingga yang diutamakan di situ,” kata Nirwono di Forum Merdeka Barat 9, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2024).

Jika Ibu Kota pindah ke Kalimantan Timur, rencananya Jakarta akan diubah menjadi kawasan aglomerasi. Hal itu sesuai draf Rancangan Undang-Undang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). 

RUU tersebut menjelaskan kawasan aglomerasi sebagai wilayah perkotaan yang menggabungkan pengelolaan beberapa daerah kota dan kabupaten, meskipun berbeda administratif.

Baca Juga: Pengamat: Jakarta Lebih Baik Disebut Metropolitan daripada Aglomerasi

1. Fokus program kepala daerah hanya untuk pribadi

Tantangan Saat Ibu Kota Tak Lagi di JakartaPeneliti Pusat Studi Perkotaan Nirwono Yoga dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2024) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Menurut dia, saat kepala daerah tak dari satu partai, maka urusan program yang berkaitan dengan DKI Jakarta cenderung dianggap tidak memberikan keuntungan bagi daerahnya sendiri. Terutama pada periode pertama, fokus program lebih ditujukan untuk keuntungan pribadi ketimbang kepentingan bersama daerah.

“Baru program periode kedua mereka berakhir nothing to lose. Walaupun mereka itu program Jakarta, biasanya mereka tidak terlalu repot ya,” kata dia.

Dia mengatakan, selama dua dekade terakhir Jakarta dihadapkan pada tantangan besar, terutama soal banjir, kemacetan, air bersih, sampah, dan limbah. Hal ini akan jadi pekerjaan rumah jika kawasan aglomerasi berjalan.

Baca Juga: Pemprov DKI Dorong BUMD untuk Wujudkan Jakarta Global City

2. Jakarta tetap punya posisi strategis sebagai pusat pertumbuhan

Tantangan Saat Ibu Kota Tak Lagi di JakartaKejutan di Halte Transjakarta Bundaran HI Astra, Temukan Semangat Barumu Bersama RAN (Dok. Istimewa)

Menurut dia, meskipun bukan lagi ibu kota, tetapi Jakarta tetap memiliki posisi strategis sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Urbanisasi di Jakarta diprediksi tetap tinggi, terutama dengan rencana Ibu Kota Negara baru yang hanya menargetkan 2,5 juta penduduk pada tahun 2045.

“Jadi tidak akan berpengaruh banyak,” ujarnya.

Baca Juga: Kang Emil Klarifikasi soal Baliho OTW Jakarta, Ternyata Bukan Nyagub

3. Pembangunan undang orang ke Jakarta

Tantangan Saat Ibu Kota Tak Lagi di JakartaSuasana Monas di Libur Natal 2023, Senin (25/12/2023) (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Dia pun optimistis pembangunan infrastruktur, seperti MRT yang menghubungkan berbagai daerah di Jabodetabek akan meningkatkan daya tarik Jakarta.

Fasilitas terbaik di Jakarta akan terus menjadi magnet bagi penduduk sekitarnya, meskipun lahan menjadi semakin mahal. Selain itu, ketergantungan ekonomi antara Jakarta dan sekitarnya, termasuk Bekasi, Depok, dan Bogor, semakin kuat.

“Pembangunan infrastruktur pasti akan mengundang orang untuk datang ke Jakarta. Fasilitas yang paling bagus di Jakarta, ya, mau apa pun yang di Jakarta tetap the best di seluruh Indonesia,” katanya.

Namun, dia juga mencatat adanya tantangan dalam integrasi wilayah Jakarta Raya. Dari segi transportasi, seperti kurangnya jalur TransJakarta yang menghubungkan Jakarta dengan daerah sekitarnya.

Baca Juga: 94 Ribu KTP Warga Jakarta Dinonaktifkan, DPRD Sebut Minim Sosialisasi

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya