UU TPKS Belum Lindungi Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik

Perlindungan hukum yang disediakan dinilai setengah hati

Jakarta, IDN Times - LBH APIK Jakarta bersama SAFEnet mengapresiasi pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang (UU) pada Selasa, 12 April 2022 lalu.

Namun, mereka menilai hukum yang disediakan untuk korban kekerasan seksual berbasis elektronik masih setengah hati. UU TPKS hadir dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini tidak pernah didapatkan.

"Demikian pun, kami mencatat ada persoalan lain yang perlu diperhatikan, yakni tidak diaturnya secara spesifik mengenai perkosaan dan pemaksaan aborsi, serta pelindungan dan jaminan hukum bagi korban kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE), atau yang biasa dikenal juga dengan istilah kekerasan berbasis gender online (KBGO)," kata LBH APIK Jakarta bersama SAFEnet dalam keterangannya, dilansir Jumat (22/4/2022).

Baca Juga: Reaksi Anak Penyintas Kekerasan Seksual soal UU TPKS yang Baru Disahkan

1. LBH APIK catat ada 783 kasus kekerasan seksual berbasis gender

UU TPKS Belum Lindungi Kasus Kekerasan Seksual Berbasis ElektronikIlustrasi pornografi. (IDN Times/Sukma Shakti)

LBH APIK Jakarta mencatat, setidaknya selama empat tahun terakhir dari 2018-2021, telah menangani 783 kasus kekerasan seksual berbasis online (KSBO). SAFEnet sendiri mendokumentasikan adanya 1.357 aduan kasus KBGO dari 2019-2021.

Sedangkan Komnas Perempuan mencatat 2.625 kasus KBGO dari 2017-2020. Sementara Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari 2018-2020 melaporkan, ada sebanyak 679 kasus kekerasan seksual berbasis online terhadap anak-anak, dan mayoritas perempuan.

"Data-data ini menegaskan bahwa fenomena kekerasan terhadap perempuan bukan saja terfasilitasi, tetapi beralih wujud dengan bantuan teknologi digital, mengingat pola patriarki dan relasi kuasa menjadi persoalan utama sesungguhnya," tulis dua lembaga itu.

2. KSBO di UU TPKS diatur dengan tindak pidana perekaman dan pemaksaan

UU TPKS Belum Lindungi Kasus Kekerasan Seksual Berbasis ElektronikIlustrasi kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Dampaknya, perempuan dan anak rentan menjadi korban, mengingat kecepatan transmisi dan distribusi dokumen elektronik yang tak terkendali sehingga membuat korban mengalami trauma berkepanjangan yang berdampak terhadap fisik, psikis, ekonomi, hingga hak-hak sipil dan politiknya, termasuk juga mendapatkan stigma sosial.

Di dalam UU TPKS, KSBO diatur di dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) yang terkait dengan tindak pidana berupa perekaman atau penggambilan gambar bernuansa seksual tanpa persetujuan, mentransmisikan informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual, juga penguntitan atau pelacakan yang menggunakan sistem elektronik pada orang yang menjadi obyek dalam informasi atau dokumen elektronik untuk tujuan seksual, baik dengan pemerasan, pengancaman, atau memaksa, juga menyesatkan atau memperdaya seseorang.

3. Banyak hal yang belum diakomodir di UU TPKS

UU TPKS Belum Lindungi Kasus Kekerasan Seksual Berbasis ElektronikPemerintah menggelar rapat dengan Panitia Kerja RUU TPKS, di Jakarta (1/4) (Dok. KemenPPPA)

Pengaturan KSBO, dianggap belum sepenuhnya mengakomodir peristiwa-peristiwa KBGO yang ditemukan oleh lembaga layanan. Dari sembilan bentuk KSBO yang pernah ditangani oleh LBH APIK Jakarta, masih ada tujuh bentuk yang belum bisa terakomodir melalui UU TPKS.

Ketujuh bentuk itu yakni pembuatan materi atau informasi elektronik yang bernuansa seksual tanpa dikehendaki, modifikasi materi atau informasi yang bernuansa seksual, penjualan materi atau informasi elektronik yang bernuansa seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan perundungan seksual berbasis elektronik.

Dari 14 bentuk KBGO yang diidentifikasi SAFEnet sepanjang 2021, bentuk morphing informasi atau dokumen elektronik menjadi yang bermuatan seksual, atau doxing dengan nuansa atau muatan seksual, atau phishing untuk tujuan melakukan kekerasan seksual belum terakomodir melalui pasal tersebut.

4. Dari kasus KSBO 2021 masih belum berpihak pada korban

UU TPKS Belum Lindungi Kasus Kekerasan Seksual Berbasis ElektronikIlustrasi Anti-Kekerasan Seksual (IDN Times/Galih Persiana)

Catatan refleksi kondisi penanganan kasus KSBO pada tahun 2021 oleh LBH APIK Jakarta, terlihat kerangka hukum yang ada masih belum berpihak kepada korban, terutama ditemukan pengaturan yang terbatas dalam perundang-undangan mengenai KSBO, yang cenderung berpotensi mengkriminalisasi korban, misalnya Pasal 27 ayat (1) Jo. 45 UU ITE tentang larangan distribusi, transmisi dan dapat membuat diakses muatan kesusilaan.

Belum adanya pasal pengakuan dalam UU TPKS yang menjamin tindak pidana KSBE wajib diproses dengan UU TPKS dan bukan pasal 27 ayat (1) UU ITE membuat pelindungan bagi kelompok rentan tidak akan optimal.

5. Dorongan beberapa hal dari LBH APIK Jakarta dan SAFEnet

UU TPKS Belum Lindungi Kasus Kekerasan Seksual Berbasis ElektronikIDN Times/Aldzah Fatimah

LBH APIK Jakarta dan SAFEnet mendorong beberapa hal terkait UU TPKS yang baru disahkan. Pertama, pemerintah pusat membuat aturan teknis pelaksana UU TPKS dengan memperhatikan upaya pelindungan korban dan atau pelapor dari tuntutan pidana atau gugatan perdata, atas Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang telah dilaporkan.

Pemerintah pusat juga harus membuat aturan teknis penghapusan dan/atau pemutusan akses informasi atau dokumen elektronik yang bermuatan TPKS melalui peraturan pemerintah, dengan melibatkan korban dan pendamping selama ini, serta pemerintah dan DPR dapat merevisi Pasal 27 ayat (1) Jo. 45 UU ITE ataupun pasal lainnya yang bisa mengkriminalisasi korban kekerasan seksual sebagai bentuk harmonisasi dalam UU TPKS.

"Pemerintah pusat dan DPR untuk merevisi Pasal 27 ayat (1) Jo. 45 UU ITE ataupun pasal UU ITE lainnya, yang dapat mengkriminalisasi korban kekerasan seksual sebagai bentuk harmonisasi dalam UU TPKS," ujar dua lembaga itu.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya